RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Di tengah meningkatnya kesadaran muslimah berhijab, muncul pernyataan kontroversial dari seorang tokoh nasional. Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan bahwa muslimah tidak wajib untuk memakai jilbab dengan landasan ‘penafsiran kontekstual’ sebagaimana dicontohkan Gus Dur.
Sinta juga mengakui bahwa kaum muslim banyak yang keliru mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an karena sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi.
“Dipengaruhi oleh adat budaya setempat, cara berpikir dia juga itu mempengaruhi pemahaman terhadap ayat-ayat agama yang bukan menjadi bahasanya, yang sama bahasanya pun bisa salah juga mengartikannya,” kata Sinta (TEMPO.CO, 16/01/20).
Setali tiga uang Inayah Wulandari Wahid, Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid setuju dengan pendapat sang ibunda dan mengaku heran terhadap justifikasi bagi wanita muslimah yang tidak memakai hijab itu lantaran belum mendapatkan hidayah.
Padahal, kata dia, istri-istri ulama terdahulu (Nyai) atau istri pendiri Nahdlatul Ulama (NU) memakai kerudung. Bahkan, pejuang perempuan RA Kartini pun tidak berhijab. Inayah menyampaikan pernyataan tersebut saat acara bersama Deddy Cobuzier yang diunggah ke YouTube pada Rabu, 15 Januari 2020. Saat itu, Inayah bersama sang ibunda Sinta Nuriyah Wahid.
Wajib bagi Muslimah Menutup Aurat
Perlu dipahami bahwa Islam agama syamil wa kamil, tidak hanya mengatur soal ibadah saja namun mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya mengatur bagaimana muslimah berpakaian, diatur sangat detil, sebagaimana Islam mengatur dengan rinci tata cara ibadah-ibadah lainnya.
Wajibnya muslimah menutup aurat dimulai ketika sudah baligh. Menurut Imam Syafi’i dikatakan baligh adalah anak perempuan usia 9 tahun atau lebih sudah haid dan usia 15 tahun yang belum haid. Batasan aurat (bagian tubuh yang haram dilihat) bagi Muslimah adalah semua bagian tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangannya.
‘A’isyah r.a. meriwayatkan, suatu waktu Asma’ binti Abu Bakar datang menemui Rasulullah Saw. dengan pakaian tipis. Tatkala melihatnya Rasulullah Saw. memalingkan wajahnya dari Asma’, lalu bersabda:
“Wahai Asma’! Sesungguhnya wanita apabila sudah baligh, tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk ke muka dan telapak tangannya. (HR Abu Dawud)
Islam sangat menjaga dan memuliakan wanita, salah satunya dengan syariat Allah berupa kewajiban menutup aurat. Resiko bagi muslimah yang membuka aurat akan berdosa dan lelaki yang tidak halal melihat auratnya juga berdosa. Sebaliknya muslimah yang menutup aurat akan terhindar dari dosa. Dan yang paling utama sebagai wujud ketaatan, sehingga mendapatkan rida Allah Swt.
Islam Mengatur Pakaian Muslimah dalam Kehidupan Khusus dan Kehidupan Umum
Dikatakan kehidupan khusus adalah bila seseorang harus meminta izin untuk masuk ke dalamnya (rumah, kos, kamar pribadi, dan sejenisnya). Dalilnya ayat Allah yang mensyaratkan izin dan salam kepada penghuni rumah, saat memasukinya (lihat QS an-Nur 24: 27).
Dalam kehidupan khusus, muslimah bisa melakukan aktivitas bersama dengan mahramnya dan tidak ada kewajiban muslimah untuk menutup aurat secara lengkap, karena Allah Swt membolehkan mahram wanita muslimah untuk melihat bagian tubuh wanita sampai batas melekat perhiasannya.
Allah ta’ala berfirman:
Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yamg mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki tua (yang tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. (QS Al-Nur 24: 31)
Selain beraktivitas di kehidupan khusus, tentu saja muslimah tidak bisa menghindarkan dirinya beraktivitas di kehidupan umum. Kehidupan umum adalah bila seseorang tidak memerlukan izin untuk berada di dalamnya (pasar, taman, dan sebagainya). Aturan khusus bagi muslimah di kehidupan umum yaitu Allah tidak hanya mengharuskan muslimah menutup auratnya, tapi juga mengenakan pakaian syar’i. Pakaian syar’i inilah yang disebut dengan hijab, yang terdiri dari tiga komponen yaitu pakaian rumah (al-tsaub), kerudung (khimar) dan jilbab.
Dalil Kewajiban Muslimah Memakai Khimar dan Jilbab
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
Katakanlah kepada perempuan yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung hingga batas dadanya.” (QS Al-Nur 24: 31)
Dalam sebuah hadis dari Ummu Athiyah, Rasulullah Saw. bersabda:
“Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, baik gadis-gadis, wanita yang sedang haid, maupun wanita yang sudah menikah. Mereka yang sedang haid tidak mengikuti sholat, dan hanya mendengarkan kebaikan serta nasihat-nasihat kepada kaum muslimin.” Maka aku (Ummu Athiyah) berkata, “Ya Rasulullah, ada seseorang dari kami yang tidak memiliki jilbab. Maka Rasulullah Saw. bersabda hendaklah saudaranya meminjamkan jilbab kepadanya.” (HR Al-Bukhari Muslim)
Hadis ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa jilbab adalah pakaian luar, pakaian rangkap yang dipakai seorang Muslimah saat keluar rumah. Penegasan Rasulullah Saw. “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbab kepadanya” juga sekaligus perintah bahwa bagi Muslimah, keluar rumah dengan jilbabnya adalah wajib.
Perintah Allah untuk mengenakan jilbab ini juga difirmankan Allah dalam kitab-Nya yang mulia, Allah ta’ala berfirman:
Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri kaum mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab 33: 59).
Kritisi Pemikiran Liberal
Para pemikir liberal mempunyai pemahaman keliru dan cara berfikir yang dangkal. Tanpa ilmu mereka sesumbar, menolak syariat Allah terkait kewajiban muslimah dalam berhijab. Sandaran mereka hanya terpaku kepada praktik orang terdahulu atau tokoh-tokoh tertentu. Sejatinya, pemahaman yang benar bersumber dari rujukan shahih, bukan yang lain. Jika ada tokoh, pahlawan perempuan bahkan istrinya ulama tidak berhijab, itu bukanlah dalil syara’ yang bisa dipakai untuk membolehkan membuka aurat bagi Muslimah.
Para ulama sepakat bahwa hijab perempuan dalam pengertian umum merupakan syariat dan pedoman yang sifatnya baku, qath’i, dan mutawatir dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang mengingkari aturan syariat dalam pakaian dan hijab perempuan serta berkata, “Sungguh aturan berpakaian hanyalah budaya sehingga perempuan bisa membuka dan menutup badan semaunya,” dia telah mengingkari perkara qath’i yang wajib diketahui oleh setiap muslim, seperti shalat, zakat dan haji.
Tatkala Rasulullah Saw masih berada di tengah-tengah umatnya, Rasulullah sendiri memerintahkan setiap muslimah keluar rumah untuk memakai jilbab, bahkan bila seorang muslimah tidak memiliki maka sesama muslimah harus meminjamkan jilbabnya. Ini juga bisa bermakna bahwa Rasulullah sebagai kepala negara turut mengatur bagaimana agar setiap muslimah menjalankan kewajiban memakai jilbab.
Berbeda halnya dalam sistem kapitalisme yang menjadikan perempuan layaknya barang yang diperdagangkan hingga dieksploitasi. Parahnya negara dengan penduduk mayoritas muslim ini tidak mendorong pelaksanaan syariat, tapi malah membiarkan banyak opini nyeleneh yang diangkat melalui public figure untuk menyesatkan pemahaman umat.
Dengan demikian, hanya dalam penegakkan syariat Islam kafah perempuan-perempuan dimuliakan, dijauhkan dari bahaya fitnah, dan senantiasa dijaga dalam ketaatan. Sehingga, akan terlahirlah dari mereka generasi unggul pengukir peradaban mulia. Wallahu a’lam bishshowab.[]
*Anggota Akademi Menulis Kreatif (AMK)
Comment