RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dilansir oleh KOMPAS.com (17/9/19), DPR dan pemerintah akhirnya menyepakati seluruh poin revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Kesepakatan tersebut diambil dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).
“Ada beberapa hal-hal pokok yang mengemuka dan kemudian disepakati dalam rapat panja,” ujar Ketua Tim Panja DPR revisi UU KPK Totok Daryanto saat menyampaikan laporan hasil rapat.
Menurut Totok, ada tujuh poin perubahan yang telah disepakati dalam revisi UU KPK.
Pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen.
Kedua, terkait pembentukan dewan pengawas.
Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK.
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan.
Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.
Kesepakatan beberapa poin dalam revisi UU KPK menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Dalam pemberitaan berbagai media, mayoritas masyarakat cenderung menolaknya. Bahkan sejak awal proses revisi UU KPK bergulir, banyak kritik, dan kekhawatiran yang disampaikan berbagai pihak. Hal itu lantaran proses revisi terkesan dilakukan diam-diam, cepat dan pasal-pasal hasil revisi bermasalah serta dinilai berisiko melemahkan KPK. Hingga disahkan pun, kekhawatiran-kekhawatiran itu tetap ada mulai dari yang disampaikan pimpinan KPK saat ini, akademisi dan elemen masyarakat sipil lainnya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan, “Jika dokumen yang kami terima via ‘hamba Allah’, (karena KPK tidak diikutkan dalam pembahasan dan belum dikirimi secara resmi oleh DPR/pemerintah), banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK,” kata Laode dalam keterangan tertulis.
Di tengah derasnya penolakan tersebut, DPR dan pemerintah dinilai tidak mendengarkan dan abai terhadap aspirasi rakyat. Buktinya perubahan UU KPK tetap disahkan oleh DPR. Wajar jika muncul pertanyaan di benak rakyat. Mengapa revisi UU KPK terkesan dipaksakan untuk disahkan?
Menurut Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono menyebut revisi UU KPK dilakukan untuk melemahkan lembaga antirasuah sehingga memudahkan para oknum anggota legislatif dan eksekutif merampok uang negara. Dengan revisi ini, kemungkinan bocornya APBN bertambah besar.
“Nah, jika revisi UU KPK yang akan dilakukan DPR dan Pemerintah yang tujuannya akan melemahkan KPK dalam melakukan tindakan pemberantasan korupsi, maka akan berdampak pada tumbuhnya virus menjadi monster korup di Indonesia dan ini berbahaya. Bisa-bisa, APBN akan bocor hingga 50 persen karena dikorupsi para oknum anggota legislatif dan eksekutif,” sebut dia. (detik.com, 10/9/19)
Di samping itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai revisi UU KPK terjadi karena banyaknya anggota DPR yang jadi tersangka kasus korupsi. “Sepanjang lima tahun terakhir setidaknya 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Minggu (15/9). “Bahkan Ketua DPR RI, Setya Novanto, bersama Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniwan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” imbuh Kurnia. (Jawapos.com, 15/9/19)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak lama banyak oknum anggota DPR yang tersandung kasus korupsi. Bahkan lembaga tinggi negara pembuat undang-undang tersebut dinilai sebagai lembaga paling korup. Hal ini berdasarkan survei yang digelar Global Corruption Barometer (GBC) 2017, yang diadakan oleh Transparency International dengan jumlah 1.000 responden di 31 provinsi. Survei tersebut digelar sejak pertengahan 2015 hingga awal 2017 ini diperoleh hasil bahwa 54 persen responden menilai DPR sebagai lembaga paling korup.
Potensi praktik korupsi dalam lembaga legislatif terbuka lebar mengingat tingginya wewenang DPR dari mulai membuat undang-undang legislasi, menyetujui anggaran, hingga pengawasan. Peluang inilah yang dimanfaatkan para oknum anggota legislatif untuk merampok uang negara. Paradigma sekuler dan sistem demokrasi berbiaya tinggi menjadi dasar para oknum tersebut mengkhianati rakyat.
Untuk menjadi anggota dewan yang terhormat dibutuhkan modal yang sangat besar. Jika hitung-hitungan gaji dan tunjangan tiap bulan selama 5 tahun masa jabatan belum menutupi, maka tak ada jalan lain bagi para oknum anggota DPR “bermain” dalam anggaran. Mereka “bermain” tidak sendiri, melainkan korupsi berjamaah. Mereka menyalahgunakan wewenang jabatannya, mengkhianati amanah dari rakyat.
Alhasil, APBN bocor sehingga tidak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat. Bahkan, korupsi menghantui sejumlah proyek infrastruktur. Akibatnya, proyek tersebut mangkrak dan tak kunjung diselesaikan.
Penelitian ICW menunjukkan pada tahun 2017, sebanyak 27,4% korupsi terjadi pada sektor infrastruktur. Itulah sebabnya korupsi pada sektor infrastruktur menempati posisi teratas dalam ranking pengembangan kasus terbesar 2017. Dari sejumlah kasus itu, kasus suap proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menempati rangking teratas. Korupsi proyek transportasi menempati tempat pertama dengan 38 kasus dan membuat kerugian negara senilai Rp 575 miliar.
Setelah itu diikuti oleh sektor pendidikan dengan nilai kerugian negara Rp 43,4 miliar (14 kasus) dan korupsi pembangunan infrastruktur desa dengan nilai Rp 7,9 miliar dalam 23 kasus. (kontan.co.id, 18/7/18)
Salah satu tugas dan wewenang DPR yaitu menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat (www.dpr.go.id), kini aspirasi rakyat kebanyakan adalah menolak Revisi UU KPK. Semestinya DPR mengikuti apa kata rakyat, namun faktanya DPR justru bersebrangan dengan aspirasi rakyat. Yang terindera dengan jelas justru persekongkolan antara DPR dan pemerintah dalam menggolkan revisi UU KPK. Aspirasi siapa sebenarnya yang dijunjung? Aspirasi rakyat atau aspirasi pribadi/golongan? Siapa yang mereka bela, kepentingan rakyat atau kepentingan pribadi/golongan? Atas narasi tersebut maka wajar jika publik sampai pada kesimpulan bahwa DPR terlihat serampangan, tergesa-gesa, dan kental nuansa dugaan konflik kepentingan.
Lahirnya KPK dilatarbelakangi oleh hilangnya kepercayaan rakyat terhadap aparat keamanan dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Maka dibentuklah lembaga antirasuah yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Namun, revisi UU KPK justru memupuskan harapan rakyat dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan kuasanya rezim ini “mematikan” lembaga antirasuah tersebut.
Lantas siapa yang akan menyelamatkan uang negara dari para koruptor dan pengkhianat bangsa?
KPK sendiri dalam revisi UU KPK tidak dilibatkan dan dengan tegas menolaknya. Upaya pelemahan KPK bukan kali ini saja, sebelumnya juga pernah mencuat wacana pembubaran lembaga antirasuah. Melihat fakta kisruh KPK yang tidak selesai-selesai, hal ini mengindikasikan bukan orang-perorang atau lembaga yang bermasalah. Melainkan masalahnya ada pada sistemnya yaitu sistem demokrasi. Sistem demokrasi adalah sistem politik yang sarat berbagai kepentingan.
Oleh karena itu, selama paradigmanya sekuler dan sistem politik yang diterapkan adalah demokrasi maka pemberantasan korupsi hanya utopi. Pemberantasan korupsi hanya akan terwujud jika paradigma sekuler dihilangkan dan diganti dengan agama (Islam) untuk mengatur kehidupan manusia baik ranah pribadi, masyarakat dan negara. Hanya Islam lah satu-satunya agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Dalam pandangan Islam, fungsi kepemimpinan berperan penting dalam mewujudkan kemaslahatan umat. Tak hanya kemaslahatan dunia, seorang pemimpin juga memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur serta mengawasi tegaknya aturan Allah.
Berbeda dengan politik dalam demokrasi yang sarat dengan berbagai kepentingan dengan menghalalkan berbagai cara, lebih mementingkan pribadi dan golongan, politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi, juga bukan untuk menegakkan kepentingan golongan (‘ashabiyyah).
Dalam Islam, hanya dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama” dan “rakyat”. Sehingga, amanah kekuasaan benar-benar dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Dalam upaya pencegahan dan penanganan para aparatur negara yang berkhianat kepada agama dan rakyat, Islam mempunyai solusi melalui 3 pilar penegakan hukum-hukum Allah SWT.
Pilar yang pertama, ketakwaan individu. Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum syara’. Wajib menjalankan hukum-hukum Allah SWT secara kaffah tanpa terkecuali. Alhasil dengan landasan akidah yang kuat, lahirlah orang-orang yang bertakwa. Dengan ketakwaan tersebut mereka meyakini bahwa setiap aktivitas politik yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW:
Tiap kalian adalah pemimpin dan tiap kalian dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan urusan rakyatnya. (HR. Imam Bukhari)
Pilar kedua, kontrol masyarakat. Wajib bagi kaum muslimin menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. (TQS. Ali Imron :110).
Sabda Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam: Dari Abu Sa’id Al Khudri ra, ia berkata saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka ubahlah kemungkaran tersebut dengan tangannya jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah selamahnya iman.” (HR. Muslim).
Amar ma’ruf nahi mungkar dalam masalah korupsi ini masyarakat bertindak sebagai pengawas. Jika spirit ruhiah menjalankan semua hukum-hukum Allah tinggi, maka amar maruf nahi mungkar akan hidup dalam masyarakat.
Pilar ketiga, adanya negara yang menerapkan seluruh hukum Islam. Sehebat apapun ketakwaan individu dan ketatnya pengawasan masyarakat, tanpa peran nyata negara mustahil pemberantasan korupsi bisa berhasil.
Berbeda dengan sistem demokrasi yang berbiaya tinggi, dalam sistem politik Islam hampir tidak ada biaya, jikapun ada hanya sedikit, sehingga menutup peluang perilaku koruptif. Penguasa beserta aparatur negara akan fokus meri’ayah rakyat tanpa dipusingkan dengan pengembalian modal.
Di samping itu, negara hadir menjamin kebutuhan pokok individu (sandang, papan dan pangan) serta kebutuhan pokok masyarakat (kesehatan, pendidikan dan keamanan) baik untuk rakyat, para aparatur negara dan yang tak kalah penting adalah adanya sanksi yang berat dan tegas bagi para koruptor. Maka, negara terbebas dari para pelaku korupsi sehingga kesejahteraan rakyat pun tercapai. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment