RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di tengah pandemi Covid-19, kaum Muslim di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha. Gema takbir, tahmid, tasbih terdengar di seantero penjuru negeri-negeri Islam. Kaum Muslim berbondong-bondong menunaikan salat Id dan mendengarkan khutbah, kemudian diteruskan dengan menyembelih dan membagi-bagikan hewan qurban.
Pada saat yang sama, di tanah Haram umat Islam memenuhi panggilan Allah, bersama-sama menunaikan ibadah haji dengan segala rangkaian manasiknya. Meskipun, tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, demi menjaga keselamatan jemaah dari bahaya pandemi Covid-19, pemerintah Arab Saudi memutuskan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1441 H digelar dengan jumlah terbatas.
Jumlah terbatas yang dimaksud adalah ibadah haji hanya diperuntukkan bagi warga negara Arab Saudi dan warga asing yang sudah berada atau berdomisili di sana. Itu pun dalam jumlah terbatas. Sementara yang berada di luar, tidak diperkenankan untuk memasuki tanah Haram, termasuk jemaah haji dari Indonesia.
Pandemi Covid-19 Membuka Mata Dunia, Sistem Kapitalisme Tak Layak Dipertahankan
Sebelum adanya pandemi Covid-19, kondisi dunia sudah memprihatinkan. Ancaman krisis multidimensi yang terus membayangi, membuktikan bahwa sistem kapitalisme sekularisme yang selama ini diterapkan nyatanya semakin membawa dunia pada kehancuran.
Tak ada beda kondisi dunia sekarang dengan zaman jahiliyah (sebelum Islam), bahkan sekarang lebih parah. Riba, zina, kezaliman dan kemaksiatan merajalela. Akan tetapi, setelah Muhammad bin Abdullah diutus menjadi Rasul terakhir, kemudian berdakwah di tengah-tengah kaum Kafir Quraisy, hingga berhasil mendirikan Daulah Islamiyyah di Madinah, maka pada saat itu cahaya Islam merubah kejahiliyahan menjadi kemuliaan.
Yang membuat mulia adalah ditegakkannya hukum-hukum Allah Swt. dalam seluruh aspek kehidupan. Artinya perintah Allah Swt. untuk menerapkan syariah-Nya dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan pidana benar-benar direalisasikan. Maka lihatlah dalam sejarah, tak butuh waktu lama kepemimpinan Islam mendunia.
Tatkala seluruh syariah-Nya ditegakkan, berdampak positif pada kemajuan di berbagai bidang. Sistem aturan kehidupannya, mampu mencegah dan mengantisipasi terjadinya krisis. Alhasil, kehidupan rakyat sejahtera.
Sebaliknya tatkala syariah-Nya diabaikan. Implementasinya hanya terbatas pada perkara ibadah ritual, sementara aturan kehidupan yang diterapkan buatan manusia. Maka, dapat dipastikan aturan tersebut hanya menghasilkan krisis di berbagai bidang.
Pandemi Covid-19 yang terjadi hampir lebih dari enam bulan semakin memperparah terjadinya krisis multidimensi.
Di antaranya krisis di sektor kesehatan, banyak negara maju dibuat tak berdaya dalam menghadapi Covid-19. Jumlah pasien yang terus meningkat, pastinya dibutuhkan fasilitas kesehatan lebih banyak, kebutuhan vaksin, dan lain-lain.
Krisis di sektor ekonomi, berakibat pada kemandegan hingga resesi. Pandemi Covid-19 memaksa roda perekonomian terhenti. Disamping itu krisis di sektor sosial tak kalah mengkhawatirkan. Meliputi pendidikan, ketahanan keluarga, dan kerusakan generasi. Jika ditelaah satu persatu, umat akan menyadari bahwa aturan buatan manusia tak akan membawa pada solusi hakiki.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa solusi yang ditawarkan hanya tambal sulam. Satu masalah terselesaikan, tapi muncul permasalahan baru yang kian pelik.
Di masa pandemi, antisipasi penanganan dan strategi mengurangi dampak buruk melalui agenda New Normal tidak mampu menjadi solusi. Bahkan, malah memperburuk keadaan. Hal ini, menjadi kebutuhan mendesak bagi umat untuk kembali pada sistem Illahi dengan tegaknya seluruh syariat sebagai solusi.
Wujud Ketaatan Sempurna dan Kesiapan Berkorban
Setiap Hari Raya Idul Adha, kita selalu diingatkan kisah tentang ketundukan, ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim as. dan putranya dalam menjalankan perintah Allah Swt tanpa ada keraguan sedikit pun bagi keduanya untuk melaksanakan perintah-Nya.
Padahal, jika dipikir secara logika, bahwa apa yang diperintahkan tak masuk akal. Bagaimana mungkin keturunan yang selama ini didambakan harus dikorbankan?
Namun, dengan ketaatan sempurna baik Nabi Ibrahim as. maupun putranya, Nabi Ismail as., dengan ikhlas menunaikan perintah Allah Swt. meski harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga dan dicintai. Ibrahim rela kehilangan putranya. Ismail pun tak keberatan kehilangan nyawanya (Lihat: QS ash-Shaffat [37]: 102-104).
Dari kisah tersebut semestinya menjadi ibrah bagi kaum Muslim untuk bisa mewujudkan ketaatan sempurna dan kesiapan berkorban meninggalkan seluruh orientasi individual dan materialistik menuju keinginan meraih rida Illahi Rabbi.
Hal tersebut dapat diwujudkan dengan menjalankan semua perintah Allah Swt. dan meninggalkan larangan-Nya. Takwa secara totalitas. Tidak pilih-pilih dalam menjalankan perintah-Nya. Siap mengorbankan apa saja yang bisa kita korbankan, tidak hanya berhenti pada berkorban dengan kambing, sapi atau unta.
Lebih dari itu, kita harus sanggup mengorbankan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi.
Pasca runtuhnya institusi negara yang menerapkan syariat Islam kafah pada tahun 1924. Kini telah 96 tahun umat Islam hidup di bawah kepemimpinan sistem kapitalisme sekularisme.
Dalam rentang waktu tersebut agama (Islam) dijauhkan dari kehidupan. Hukum-hukum Allah Swt. diabaikan. Ayat-ayat suci diletakkan di bawah ayat-ayat konstitusi.
Hukum yang dijunjung tinggi adalah produk dari akal manusia, yang lemah dan terbatas serta lebih memperturutkan hawa nafsu.
Apalagi dalam sistem kapitalisme asas manfaat lebih dikedepankan.
Maka, kebijakan yang dihasilkan berorientasi pada keuntungan semata. Soal kepentingan umat lebih banyak diabaikan.
Wajar jika kondisi dunia saat ini, sejahtera hanya milik segelintir orang. Sementara rakyat kebanyakan terus menerus menanggung beban penderitaan. Belum lagi harus menghadapi ancaman krisis multidimensi.
Persatuan umat Islam yang nampak dalam ritual ibadah haji, hanya sesaat dan terbatas dalam peristiwa tersebut. Di luar itu, kondisi kaum Muslim sangat memprihatinkan.
Pertikaian, konflik hingga pertumpahan darah sesama umat Islam masih menjadi problem serius yang belum teratasi. Ditambah dengan penindasan yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum Muslim. Semua itu terjadi karena hilangnya institusi negara yang meriayah dan melindungi mereka.
Refleksi Idul Adha 1441H, mengingatkan kembali kebutuhan untuk mendapatkan solusi atas umat dan krisis multidimensi. Dengan menguatkan kesadaran seluruh komponen umat untuk taat sempurna pada seluruh aturan Sang Pengatur, Allah Swt. dan menguatkan tekad untuk berkorban seluruh daya dan upaya untuk menegakkan aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment