Eva Rahmawati*: Impor Sayur Di Negeri Agraris, Sebuah Ironi

Opini600 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Diapit dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudra (Hindia dan Pasifik), menjadikan Indonesia sangat subur. Bukan hanya subur, negeri ini juga mempunyai kekayaan alam berlimpah. Wajar jika sebagian besar penduduk Indonesia mempunyai pencaharian di bidang pertanian dan bercocok tanam. Sebutan negara agraris pun melekat untuk negeri ini.

Namun, semua itu tidak menjadikan negeri ini mampu menjaga ketahanan pangan. Buktinya, impor sayur dan buah-buahan masih tinggi.

Adalah Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri yang membukanya dalam diskusi daring, Jumat, 22 Mei 2020.

Menurut Faisal, adanya krisis akibat Covid-19 menunjukkan kurangnya ketahanan pangan di Tanah Air. Karena secara umum, impor pangan Indonesia selama ini tergolong tinggi. Apabila dikonversi ke rupiah, nilai impor sayur itu mencapai sekitar Rp 11,55 triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat.

Faisal mengatakan impor sayuran tersebut paling banyak didatangkan dari Cina dan trennya terus menanjak.

Selain sayuran, Indonesia juga tercatat sebagai importir buah-buahan. Berdasarkan data 2019, dalam setahun Indonesia bisa mendatangkan buah dengan total US$ 1,5 miliar atau senilai Rp 22,5 triliun. “Raja impor buah juga Indonesia, ini grafiknya naik seperti roket,” kata Faisal.

Hal ini sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat, impor komoditas sayuran asal China membanjiri Indonesia selama bulan lalu. Nilainya mencapai USD75,37 juta, melonjak 219,31% atau tiga kali lipat dibandingkan Maret 2020 yang hanya USD23,60 juta. (sindonews.com, 15/5/20).

Sistem Kapitalisme Membuka Peluang Impor Ugal-ugalan

Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan memperbesar keran impor gula, bawang putih dan bawang bombay. Agus Suparmanto Menteri Perdagangan beralasan saat ini terjadi kelangkaan dan kenaikan harga bawang putih mencapai lebih dari 60 persen. Langkah tersebut diklaim sebagai stabilisasi harga dalam rangka penanganan Covid-19.

Di samping itu, Kementerian Perdagangan juga mengeluarkan aturan relaksasi izin impor, tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2019.

Relaksasi yang dimaksud, mencakup penghapusan larangan dan pembatasan pada importasi berupa rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dan sSurat Persetujuan Impor (SPI).

Dengan relaksasi tersebut memberi keleluasaan bagi pedagang asing untuk penetrasi langsung ke pasar Indonesia, tanpa perlu menyertakan RIPH yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan).

Walau relaksasi izin impor berlaku sementara hingga akhir Mei 2020, tetap saja kebijakan tersebut berpotensi melanggar UU Hortikultura.

Menurut Anggota Komisi IV DPR, Azikin Solthan, RIPH dan SPI penting disertakan sebagai upaya mengembangkan produk hortikultura sekaligus melindungi petani dalam negeri. Jika tanpa syarat, ia khawatir importir luar negeri yang menguasai suplai bawang putih dengan leluasa masuk dan merugikan petani secara luas. (medcom.id, 29/5/20).

Demikianlah, seolah tidak ada solusi lain selain impor guna memenuhi kebutuhan pangan. Padahal sebelumnya, negeri ini pernah swasembada pada tahun 1994 dan mampu memenuhi kebutuhan bawang putih. Tapi, kini justru 95% kebutuhan bawang putih dipasok dari impor. Miris.

Kebijakan impor yang kian dahsyat nyatanya disokong pemerintah. Dengan aturan yang dibuat, berhasil menyuburkan impor. Bukan hanya bawang putih, negeri ini pun pengimpor komoditas pangan penting lainnya seperti gula, garam, jagung, cabai, kedelai, dan lain-lain.

Situasi wabah dijadikan alasan untuk melakukan pelonggaran syarat impor hanya akal-akalan. Siapa pun tahu bahwa dibalik impor ada sejumlah keuntungan yang didapat. Siapa yang tak tergiur. Maka, para kapital tak melewatkan kesempatan emas ini. Tak peduli dengan petani lokal yang dirugikan.

Ditambah watak rezim kapitalis neoliberal yang disetting tak memihak dan serius mengurusi rakyat. Rezim hanya memosisikan sebagai regulator yang melayani kepentingan pengusaha. Maka, lihatlah kebijakan dan aturan yang dibuat lebih berpihak ke para pengusaha atau rakyat?

Potensi tanah yang sangat subur, SDA berlimpah dan SDM yang memadai, ditambah sains dan teknologi mumpuni, tak cukupkah negeri ini mampu berdiri dikaki sendiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Janji kedaulatan pangan, hingga kini belum terealisasi. Kebijakan impor bukan hanya menyakiti petani lokal, melainkan menggerogoti swasembada pangan.

Islam Solusi Komprehensif Soal Impor dan Kedaulatan Pangan

Kegiatan ekspor impor menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kekurangan pasokan kebutuhan komoditas yang diperlukan. Dalam Islam kegiatan ini merupakan bentuk perdagangan (tijarah). Di dalamnya terdapat praktik jual beli dengan berbagai bentuk derivasinya.

Hukum jual beli boleh (mubah) baik domestik maupun luar negeri. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah 275 yang menjelaskan terkait hukum keumuman perdagangan. Dalam pandangan Islam kegiatan jual beli termasuk dalam wilayah habblumminannas (hubungan antar sesama manusia). Syariat Islam pun mengatur urusannya.

Oleh karena itu, jual beli tidak bisa dilepaskan dari hukum syariat yang mengaturnya. Jika tidak diatur dengan syariat pasti akan menimbulkan kemudharatan (kerugian). Maka wajar jika kegiatan ekspor impor saat ini justru merugikan petani lokal.

Sebab mekanisme untuk mengatur ini bukanlah berdasarkan sistem Islam. Melainkan sistem kapitalisme yang mencengkeram negeri ini. Sistem ini memberikan peluang besar bagi para kapitalis, menginterfensi kedaulatan negara inferior mereka.

Meskipun pihak penguasa mengklaim impor ini bertujuan memenuhi pasokan yang belum tercukupi. Namun, fakta di lapangan para petani lokal harus bersaing dengan barang impor. Tak jarang mereka harus merugi dengan kebijakan ini.

Dalam menjaga kedaulatan pangan, Khalifah, pemimpin dalam pemerintahan Islam menerapkan mekanisme agar tidak semua produk pangan di masa subur akan dikonsumsi tetapi ada yang disimpan untuk cadangan.

Oleh karena itu Khalifah mendukung berbagai teknik pengawetan pangan sistem sirkulasi, standar bangun, penyimpanan pangan serta pengaturan gaya hidup dan konsumsi masyarakat.

Optimalisasi produksi terus dilakukan. Upaya ini akan didukung dengan berbagai aplikasi sains dan teknologi. Mulai dari pemilihan lahan yang optimal untuk benih tanaman, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama, penanaman dan pengolahan pasca panen.

Dengan demikian, swasembada pangan dalam negeri terwujud. Kebutuhan rakyat akan komoditas pangan penting terpenuhi. Sehingga kebijakan impor yang hanya menguntungkan segelintir orang (baca : para kapital) bisa dihentikan. Alhasil, petani lokal tak perlu bersaing dengan produk impor. Kedaulatan pangan pun bukan hanya sekadar mimpi, jika berada dalam naungan Sistem Islam.Wallahu a’lam bishshowab.[]

*Penulis adalah anggota komunitas AMK

Comment