RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Aksi penghinaan terhadap simbol-simbol Islam kembali terjadi. Adalah Rasmus Paludan, politikus asal Denmark yang memang dikenal sebagai seorang anti-Islam. Paludan diketahui sudah beberapa kali memimpin aksi pembakaran Al-Qur’an dan pernah terjerat hukum terkait kasus rasisme di Denmark.
Seperti dikutip BBC, Sabtu (29/8/2020), Paludan yang merupakan ketua partai sayap kanan Denmark, Stram Kurs (Garis Keras), telah dijatuhi hukuman satu bulan penjara karena serangkaian tindakan pelanggaran hukum, termasuk rasisme, pada Juni lalu.
Dia dihukum karena memposting video anti-Islam di saluran media sosial partainya. Paludan dijatuhi hukuman percobaan terkait tindak rasisme tahun 2019 lalu dan putusan itu mempengaruhi putusan terbaru yang dijatuhkan terhadapnya. Dia menyatakan banding atas hukumannya, yang mencakup hukuman percobaan selama dua bulan penjara.
Aksi penodaan simbol-simbol Islam berikutnya dilakukan oleh seorang wanita yang merupakan anggota Stop Islamisasi Norwegia (SIAN). Aksi yang dilakukannya yakni merobek halaman Al-Qur’an dan meludahinya. Wanita itu sebelumnya pernah didakwa kemudian dibebaskan atas ujaran kebencian. (viva.co.id, 30/08/20).
Jauh sebelum aksi-aksi tersebut penodaan dan penghinaan terhadap Islam sudah sering terjadi. Gerakan-gerakan anti-Islam bermunculan seiring dengan meningkatnya populasi Muslim di negara Barat dan Eropa. Rasa benci dan dendam terhadap Islam yang terus disuarakan, bukti bahwa islamophobia adalah penyakit sistematis masyarakat Barat yang sekuler.
Meski negara Barat menganggap tindakan anti-Islam bagian dari rasisme dan melawan hukum. Akan tetapi munculnya aksi sejenis ini menggambarkan kegagalan sistemik untuk menjamin keadilan dan kebebasan beragama.
Kebebasan yang diagung-agungkan Barat, nyatanya tidak bagi Islam. Sentimen Barat terhadap Islam, disebabkan framing jahat yang dilakukan musuh-musuh Islam melalui media.
Media merupakan alat yang bisa membentuk opini dan persepsi masyarakat. Ada sebuah istilah, masyarakat Barat lebih percaya pada media daripada kitab sucinya.
Hal ini diperparah pasca tragedi Menara Kembar World Trade Center di New York City, pada 09/11/01. Seruan “War on Terrorism” kian menggema. Pernyataan perang terhadap aksi-aksi teror nyatanya hanya menyasar kepada Islam. Islam menjadi pihak yang terus-menerus dipojokkan.
Fitnah-fitnah terhadap Islam bertebaran. Opini umum terus digencarkan bahwa Islam adalah agama yang merusak dan penuh kekerasan dilontarkan kepada masyarakat dunia agar tidak ada yang mengenal dan memeluk agama Islam.
Framing negatif terus diangkat media bahwa pelaku terorisme menggunakan cadar, peci, jubah, dan sebagainya. Buku-buku Islam, bendera tauhid bahkan Al-Qur’an dijadikan sebagai bukti dalam aksi terorisme tersebut. Hal ini membuktikan bahwa seakan-akan bahwa ajaran Islam yang menjadi biang munculnya aksi terorisme.
Padahal, apa yang mereka lakukan, hanyalah ketakutan yang tidak berdasar dan irasional. Sejatinya, Islam adalah agama rahmat. Nyatanya, islamophobia sengaja didesain Barat untuk menghancurkan Islam. Barat sadar bahwa meningkatnya populasi Muslim dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kebangkitan Islam.
Maka, Islamophobia terus dihidupkan. Dengan harapan mampu mencegah kebangkitan Islam.
Saat kondisi kaum Muslim kuat di bawah naungan Khilafah, tidak ada seorang pun yang berani menghina simbol-simbol Islam.
Terbukti dalam sejarah, Barat sekalipun tidak berani menghina Nabi Muhammad Saw. Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Hamid II (1876–1918), Prancis pernah merancang drama teater yang diambil dari karya Voltaire (seorang pemikir Eropa) yang berisikan hinaan terhadap Rasulullah Saw. Drama teater yang sudah dipersiapkan, akhirnya dibatalkan. Mengingat “gertakan” dari Khalifah Abdul Hamid II.
Kini, kondisi kaum Muslim tidak mempunyai perisai. Maka lihatlah, kemuliaan Islam dengan mudahnya dilecehkan. Saatnya umat mempunyai satu tujuan. Berjuang bersama-sama menegakkan syariat Islam kafah. Sehingga, kemuliaan Islam akan senantiasa terjaga. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment