Euforia Coldplay: Fomo dengan Dalih Self Reward Hingga Kesenjangan Perekonomian Indonesia

Opini238 Views

 

 

Oleh : Siti Sarah Madani, S.E, Aktivis Dakwah

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Heboh! Masyarakat Indonesia tengah diboomingkan dengan rencana kedatangan band asal Inggris yang akan menggelar konsernya pada 15 November 2023 mendatang. Berbagai reaksi antusiasme terlihat dari banyaknya respon masyarakat Indonesia terutama pada kalangan anak muda bisa dilihat dari berbagai platform sosial media seperti Tiktok, Instagram, YouTube dan lain-lain. Mereka beramai-ramai membagikan bagaimana kehebohan saat War Tiket pada hari Jum’at 19 Mei kemarin.

Dilansir dari Detik.com tiket konser Coldplay di Jakarta resmi sudah terjual semua. “All ticketc for the Coldplay Music of The Spheres World Tour Jakarta are officially sold out!”–Begitu tulisan yang tertera dalam laman websitenya coldplayinjakarta.com. (Detik.com/19/05/2023)

Habisnya tiket Coldplay yang terhitung sejak presale pada 17 Mei 2023 ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia begitu antusias dalam menyambut penyelenggaraan Konser Coldplay pada November 2023 mendatang.

Padahal, untuk harga tiketnya sendiri dibandrol dengan harga yang mahal. Berdasarkan daftar yang dirilis pada Kompas.com, harga tiket termasuk pajak konser Coldplay termahal berjenis Ultimate Experience (CAT 1) senilai Rp.13,2 juta hingga yang paling murah di CAT 8 (Numbered Seating) senilai 960 ribu. (Kompas.com/19/05/2023) dengan totalan tiket yang dijual sebanyak lebih dari 50 ribu tiket.

Tentu saja, angka-angka diatas bukanlah angka yang kecil. Sebagian masyakarat bahkan rela berlomba-lomba mendapatkannya, meski dengan cara-cara yang tidak biasa. Seperti mengambil di tabungan, menjual barang berharga, meminjam uang ke pinjol bahkan meski disampaikan dengan nada bercanda ada juga yang katanya rela menjual ginjal mereka demi bisa mendapatkan tiket band asal Inggris tersebut.

Jika disoroti hal ini disebabkan dengan berkembangnya penggunaan media sosial yang pesat, sehingga memudahkannya penerimaan jutaan informasi dari berbagai platform sosial media. Dari sinilah pemicu munculnya perasaan cemas lalu mulai membandingkan kehidupan dirinya dengan orang lain.

Karena tak jarang, banyak sekali orang-orang yang takut tertinggal dengan trend yang sedang hipe sehingga rela melakukan berbagai macam cara untuk bisa berkecimpung menjadi bagian dari orang-orang yang sedang hipe dengan trend ataupun aktivitas tertentu.

Dalam istilah sekarang, fenomena ini disebut dengan sebutan ‘FOMO’ yang merupakan kepanjangan dari Fear of Missing Out yaitu semacam perasaan takut merasa tertinggal karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Karena takut dibilang engga keren, ketinggalan jaman dan sebagainya.

Sebagian lainnya merasa mengikuti konser merupakan ajang hiburan dari sekian banyaknya tekanan hidup yang menimpa. Sehingga mereka berfikir apa salah mengeluarkan uang untuk self reward dari setiap apa yang telah mereka lakukan selama ini. Mirisnya, uang yang mereka keluarkan untuk hiburan tersebut ujung-ujungnya akan lari kepada para kapitalis lagi.

Kondisi seperti ini sesungguhnya merupakan hal yang miris. Dalam sistem kapitalisme, kita, umat Islam, bekerja keras kepada para kapitalis pemilik perusahaan-perusahaan besar. Kemudian, kita mendapatkan gaji dan kita belanjakan lagi untuk membeli produk para kapitalis tersebut.

Maka para kapitalislah yang paling diuntungkan. Wajar saja mereka menjadi crazy rich. Sementara itu, selepas menonton konser, para penonton kembali pulang ke rutinitas penuh tekanan dan kembali stres. Bahkan, ada yang lebih stres karena harus membayar cicilan utang. Miris! Amat Miris!

Jika ada anggapan sebagian oknum dengan diselenggarakannya konser ini akan mendatangkan sejumlah manfaat untuk para UMKM dan membantu perekonomian masyarakat sekitar, bukankah itu hanya sekian persen yang amat tidak sebanding dengan ratusan juta yang para kapitalis dapatkan untuk sebuah hiburan.

Anehnya, masih banyak orang orang yang rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit tersebut untuk memenuhi kebutuhan ‘self reward nya’ ini.

Hal yang juga tidak habis fikir, ditengah kemelut kemiskinan yang terjadi di Indonesia, sebagian orang merasa fine-fine saja dan tidak merasa bersalah mengeluarkan belasan juta untuk sehari, disaat yang sama kebanyakan masyarakat Indonesia dengan uang sebanyak itu bisa untuk biaya makan berbulan-bulan.

Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi sudah sekian parahnya. Bahkan jika berbicara data yang standarisasinya Bank Dunia, ada sebanyak 110 juta jiwa atau 40% penduduk Indonesia terkategori miskin. (CNBC Indonesia/11/5/2023).

Padahal didalam Islam, Allah mengatur sedemikian rupa sendi sendi kehidupan. Terhadap perkara yang menjadi kebutuhan rakyatnya, termasuk dalam pengadaan sarana hiburan. Tentu lah semuanya diatur berdasarkan syariat Islam dimana ada persoalan halal-haram yang mengikat setiap diri-diri kaum Muslimin.

Persoalan konser yang lebih banyak mendatangkan mudharat seperti terjadinya ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan), belum lagi rentannya aktivitas maksiat lainnya yang bisa dilakukan saat konser seperti, meminum miras, perzinahan, perjudian hingga abainya kewajiban sholat tentu saja akan diatur berdasarkan persoalan nash yang terdapat pada Al-Qur’an dan As-sunah.

Demikian pula halnya dengan persoalan kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di tengah Masyarakat. Ketika Islam diterapkan tidak akan ada lagi istilah “Sarana hiburan hanya diperuntukkan bagi yang mampu membayar (red: orang kaya) saja”, tapi jelas semua kalangan kelak bisa mendapatkan fasilitas hiburan tersebut.

Beginilah gambaran kehidupan di tengah dekapan kapitalis, masyarakat terus menerus mengalami penekanan dari berbagai sisi, baik yang disadari ataupun yang tidak dirasakan. Semoga Islam kembali berjaya! Wallahu alam [].

Comment