Esensi Pemberdayaan Perempuan

Opini603 Views

 

Oleh: Mala Oktavia, Mahasiswi

________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dalam aksi yang dilakukan oleh Aliansi Pejuang Kesetaraan Gender Malang Raya (Setara) di momen International Women’s Day (IWD) (8/3), tepatnya di depan Gedung Balai Kota Malang, mengundang sejumlah perhatian publik. Betapa tidak? Pasalnya banyak seruan-seruan yang disuarakan, setidaknya ada 14 tuntutan yang diajukan dengan membawa isu “Wujudkan Kesetaraan Gender: Sahkan RUU PKS dan Wujudkan Acces to Justice terhadap Perempuan”. Lantas, bagaimanakah sebetulnya kita perlu menyikapi perihal ini?

Dalam orasi Aliansi Setara, 14 tuntutan yang disuarakan di antaranya adalah: (1) Mendesak DPR RI untuk mengembalikan dan melakukan pembahasan terhadap RUU PKS; (2) Menuntut pemerintah untuk melakukan pengawalan terhadap instansi perguruan tinggi dalam penerapan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021; (3) Mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang berorientasi pada perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan seksual; (4) Mendorong segera pembahasan RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; (5) Ratifikasi Konvensi International Labour 5 Organization (ILO) No. 190 Tahun 2019; (6) Mewujudkan fasilitas layanan kesehatan dan bebas diskriminasi pada korban NAPZA ODHA, perempuan, difabel dan kelompok marjinal lainnya; (7) Menghentikan kriminalisasi aktivis buruh perempuan; (8) menuntut aparat tidak bersikap apatis dan menyalahkan korban kekerasan seksual serta mengusut Trafficking; (9) Menolak perkawinan anak dibawah umur dan kekerasan seksual terhadap anak; (10) Mendesak pemerintah memberikan perlindungan terhadap hak hak perempuan buruh migran; (11) Menghentikan stereotip masyarakat bias gender dalam ranah publik dan privat; (12) Mendesak pemerintah untuk memberikan ruang terbuka dan perluasan kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan yang sama; (13) Menghentikan praktik Mutilation (FGM); serta (14) Mengimbau pers untuk membuat isi berita yang ramah gender serta hentikan komoditas perempuan dalam bentuk apapun.

Di antara 14 tuntutan di atas, yang paling terlihat adalah upaya menekankan pentingnya kesetaraan gender dan keadilan bagi perempuan, serta mendesak pengesahan RUU PKS yang tak kunjung terwujud sejak lama.

Benarkah dengan adanya kesetaraan gender, nantinya perempuan akan betul-betul berdaya dan sejahtera? Ataukah itu hanya ilusi dan solusi sesaat yang timbul berdasarkan emosi manusia?

Inilah yang harus kita jawab dengan akal sehat dan jiwa yang tenang. Sebab, solusi berdasarkan emosi tidak akan mampu memberi penyelesaian yang berarti. Jika kesetaraan gender memang benar-benar solusi hakiki, seharusnya masalah perempuan ini sudah tuntas sejak dulu. Sebab kesetaraan gender sudah lama diserukan dan dielu-elukan.

Akan tetapi, semakin perempuan disetarakan degan laki-laki justru semakin banyak masalah yang semakin merajalela dalam banyak hal, misalnya keluarga yang tidak mau mempunyai keturuan, perempuan yang tidak mau mengurus rumah dan anak, generasi yang tertinggal, dan keruskaan moral serta peradaban.

Sesungguhnya, upaya kesetaraan gender ataupun tuntutan yang mengatasnamakan keadilan bagi perempuan, tidak lain hanya buah dari kejengahan pada sistem yang semakin mempersempit kehidupan perempuan. Kehidupan yang semakin tidak teratur dan menjadikan perempuan tidak terhormat. Inilah imbas sebuah sistem liberal dan sekular yang jauh dari moral agama dan bebas sekehendak manusia.

Dalam sistem ini, pandangan terhadap produktivitas dan kehormatan perempuan hanya diambil dari kacamata sejumlah nominal/materi. Makin produktif, makin tinggi insentifnya.

Makin besar penghasilannya, perempuan dianggap lebih mulia, lebih tinggi derajatnya. Lebih sejahtera, maka dinilai lebih adil dan setara. Sedangkan seorang ibu rumah tangga biasa jelas dipandang tidak produktif dan tertindas di dalam rumah di bawah aturan suami.

Padahal, jika orientasi kaum perempuan, sebagai calon ibu dan pendidik generasi, ini terpalingkan dari al-ummun wa rabbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga) dan ummu al-ajyal (ibu generasi), bagaimana dengan nasib institusi keluarga dan generasi kelak? Bagaimana wujud berdayanya seorang perempuan yang sejati?

Sejatinya, gambaran perempuan yang berdaya dan mampu membawa kebangkitan dalam peradaban generasi mendatang, bukanlah perempuan yang dididik dengan sistem kebebebasan dan jauh dari moral agama.

Akan tetapi, dalam perspektif Islam, pemberdayaan perempuan adalah upaya pencerdasan Muslimah hingga mampu berperan menyempurnakan seluruh perintah Allah Swt., baik sebagai al-ummun wa rabbatul bayt, sebagai ummu al-ajyal, maupun bagian dari masyarakat. Ke sanalah aktivitas pemberdayaan perempuan mengarah.

Islam tidak hanya memiliki konsep pemberdayaan perempuan secara rigid, melainkan juga memiliki jaminan pelaksanaan yang jelas dan terarah melalui sistem yang baku dan serangkaian hukum praktis. Khalifah sebagai raa’in (pengurus/pengatur) akan menjalankan tanggung jawabnya dan menjamin hak-hak serta kesejahteraan rakyat sesuai tuntunan syariat.

Harusnya dari sinilah perempuan meneropong dengan jelas arah pemberdayaan perempuan. Bukan malah melihat pada sistem liberal sekular yang sejatinya tidak memiliki konsep apapun soal menjaga dan memberdayakan perempuan.

Perempuan yang berdaya, ialah perempuan yang secara tepat dapat memaksimalkan potensinya untuk menjalankan kewajiban sesuai dengan fitrah dan akalnya.

Pada posisi di manapun ia berada, ia akan menjadikan dirinya sebagai sosok yang memiliki intelektualitas cemerlang, mampu menggerakkan suara kebaikan dan kebenaran, serta nantinya mampu menjadi ibu yang melahirkan generasi penakluk peradaban gemilang.

Semua itu, tentunya tidak akan pernah didapatkan dalam bingkai sistem liberal. Sebab, sistem liberal tidak akan sanggup mengantarkan dan menjamin perempuan untuk sekadar memahami konsep ini, atau bahkan mewujudkan dan menerapkannya dalam kehidupan.Wallahu ‘a’lam bii ash shawwab.[]

Comment