ESA Mardiah: Nadzar (Sebuah catatan) 

Cerpen244 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Ustadz, tolong doakan saya, saya mau daftar umroh berenam dengan orang tua, tapi belum ada uang sama sekali. Saya mau nyicil nabung di ustadz, kalau sampai waktunya belum lunas, boleh gak kita tetap berangkat? Saya simpan SK PNS sebagai jaminan”

Itu adalah proposal saat kutemui Abi Al-Basyir. Pimpinan travel haji dan umroh di kampung kami. Cukup akrab karena beliau pemilik yayasan SDIT sulungku dan adiknya.

“Abi do’akan, pasti bisa.”
Beliau tersenyum mengangguk menenangkan.

Nekad kami lakukan, karena ini adalah nadzar.

Ya, sepulang dari haji, ujian datang bertubi-tubi. Yang paling berat suami kecelakaan dan tergeletak tak bisa berjalan lebih dari enam bulan. Saat di rumah sakit. Terucap keinginan, jika Allah memberikan kesembuhan dan bisa berjalan kembali, kita ingin mengajak orang tua ke tanah suci.

Tak ada tabungan. Butuh biaya pun lumayan. Untung bisa pinjam mobil salah satu kader posyandu setiap kali harus berangkat berobat, karena memang kita belum punya kendaraan.

Hari Jumat adalah waktu keberangkatan. Rabu sore kita baru bisa pelunasan saja. Belum bisa bayar ongkos bis berenam untuk ke Bandara.

Buku tabungan lecek dengan nominal recehan, menjadi saksi air mataku yang berderai. Kegelisahan belum usai.

Dari mana bisa kudapatkan bekal. Uang praktek? Seberapa banyak paling bisa? Sementara hanya tersisa hari kamis. Tanpa sadar aku menangis.

Allah Sebaik-baik Pengatur. Ada yang bayar utang lahiran padahal sudah lama kulupakan. Tiba-tiba sales obat memberi kabar, ada cashback dari pembelian walau tidak besar. Allahu Akbar.

Umroh pertama, nenek didorong kursi roda karena kambuh asmanya. 2O riyal, bagiku itu cukup mahal. Alhamdulillah, seakan mengerti keadaan, berikutnya nenek bisa berjalan walau pelan-pelan.

Bahagia melihat senyum mereka, tapi deg-degan saat melihat orang-orang belanja. Nenek terpesona memegang selimut belanjaan salah satu teman sekamar. Aku buru-buru mengatakan, “Terlalu tebal. Nanti koper kepenuhan.”
Padahal itu hanya alasan. Aku menyesal setiap teringat. Semoga di Syurga selimut itu engkau temukan.

Aku katakan pada suami untuk menjual saja cincin yang kupakai satu satunya. Dia bilang, “Umi orang itu ke sini untuk membeli, bukan menjual.”

Adalagi yang tak mungkin kulupakan. Saat kepulangan, kupikir tak ada lagi kegiatan. Ternyata rombongan berhenti di pasar. Kami berenam sengaja tidak turun dari bis. Uang bekal sudah benar-benar habis.

Tiba-tiba ibu mertuaku mengatakan ingin baso mang Udin seperti orang-orang.

Aku dan suami sontak berpandangan. Kita benar-benar tak ada uang. Seakan mengerti ibu menyodorkan uang ratusan ribu 2 lembar. Aku benar-benar bingung. Jika kutolak, aku tak bisa membelikan. Tapi jika kuterima, rasanya tak tega dan bukankah itu artinya memperjelas kondisi anaknya.

Ya Allah, ampuni kami, berani mengajak orang tua, tapi tak bisa menjamu dan memuaskan mereka. Aku merasa bersalah, kenapa tak kuberanikan saja sebelumnya meminjam uang jamaah.

Nek, ibu, bapak, tolong maafkan…!

Comment