Ervina Nurfiani*: Kenaikan Iuran BPJS Dibatalkan MA, Sudah Tepatkah Layanan Kesehatan Untuk Rakyat?

Opini543 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur kenaikan iuran BPJS. Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Jawa Timur, dr Dodo Anondo memastikan iuran BPJS batal naik tidak akan berdampak pada pelayanan rumah sakit. Dodo menjelaskan bila iuran BPJS naik, pihak rumah sakit akan senang karena utang akan cepat dibayar oleh BPJS.

Namun PERSI Jatim tak mempermasalahkan bila iuran BPJS batal naik. Mantan Dirut RSU dr Soetomo ini menjamin, standar pelayanan rumah sakit tetap baik, karena naik atau turunnya iuran BPJS tidak akan mengubah standar pelayanan rumah sakit.

Dodo berharap, BPJS segera membayar utang di rumah sakit. Karena, bila berbulan-bulan molor, bisa-bisa rumah sakit kolaps, khususnya rumah sakit swasta yang punya masalah keuangan.(kronologi Id, 10/3/2020).

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan keputusan tersebut, lantaran dapat memengaruhi ketahanan lembaga asuransi negara kita, Ia menjelaskan keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam perpres tersebut diambil pemerintah dengan mempertimbangkan seluruh aspek. Meski demikian, ia memahami keputusan tersebut tak dapat memuaskan seluruh pihak.

Adapun aspek tersebut, antara lain keberlangsungan program jaminan kesehatan nasional dan keadilan. Ia menyebut kini terdapat 96,8 juta masyarakat yang dianggap tidak mampu dan dibayar negara. Sehingga bagi yang mampu diminta untuk ikut bergotong-royong.

Agar bisa tetap memberi pelayanan, tetapi tetap memiliki ketahanan dan keberlangsungan.

Pemerintah juga akan meninjau kembali bagaimana dampak yang akan terjadi dari keputusan MA tersebut. Sri Mulyani pun menegaskan bahwa keputusan MA tersebut memiliki konsekuensi yang besar terhadap jaminan kesehatan Nasional (JKN). Namun ia yakin, pasti akan ada langkah-langkah pemerintah untuk mengamankan kembali JKN itu secara berkelanjutan.

Sebagai informasi, Perpres Nomor 5 Tahun 2019 menetapkan kenaikan iuran pada hampir seluruh peserta BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran peserta mandiri bahkan mencapai hingga dua kali lipat.

Besaran iuran tersebut sesuai dengan usulan yang sebelumnya disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. (katadata co, id 10/3/2020).

Pengurus Asosiasi Rumah Sakit Nahdlatul Ulama (ARSINU) dr Muhammad Makky Zamzami menuturkan, harus ada jalan tengah agar persoalan itu segera menemui kebijakan tepat untuk masyarakat. Karena pada prinsipnya ketika dibatalkan oleh MA, yang nampak nyata akan ada kerugian sebesar Rp13 triliun. Karena itu, keputusan pembatalan kenaikan oleh MA tetap bukanlah solusi bagi masyarakat Indonesia.

Ia menegaskan, pemerintah perlu menyambut keputusan MA ini dengan menyelamatkan Rumah Sakit yang tertunda pembayarannya. Kepada pihak BPJS, diminta untuk memiliki strategi aplikatif agar ribuan rumah sakit tidak merugi.(nur or, id 10/3/2020)

Menurut anggota Komisi IX DPR Nur Nadlifah, menurutnya penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS untuk peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) kelas III yang jumlahnya mencapai 19,9 juta orang itu sudah sangat memberatkan.

Apalagi keputusan ini tidak menaikkan iuran BPJS kelas III yang sudah disepakati dalam rapat gabungan antara Komisi IX DPR, Kemenkes, BPJS dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada November 2019 lalu (tribunnews, com 10/3/2020).

Sungguh hidup di negara kapitalis ini bukan saja membuat sakit kepala, tetapi mengakibatkan rakyat sesak dada. Bagaimana tidak, rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemimpin malah dianggap sebagai beban. Bahkan Pemerintah juga nampak kesulitan mencari solusi atas kerugian/defisit operasional BPJS tersebut.

Akibatnya rakyat yang menjadi sasaran dari kerugian yang terjadi akibat kebijakan pembatalan kenaikan iuran BPJS yang sebelumnya sudah dicekik dengan naiknya iuran BPJS dua kali lipat.

Kini beban rakyat bertambah lagi akibat pembatalan kenaikan iuran BPJS tersebut, yang berujung dicabutnya subsidi, naiknya BBM dan harga bahan pokok.

Dari fakta di atas terbukti bahwa layanan kesehatan BPJS yang selama ini digadang-gadang pemerintah sebagai layanan kesehatan masyarakat, ternyata hanya sebagai alat kapitalisme mengambil keuntungan belaka.

Karena layanan kesehatan masyarakat itu sejatinya ditanggung oleh pemerintah, namun anehnya,  sumber pemasukan operasional mengandalkan iuran dari rakyat.

Hal ini tentu hanya menambah beban masyarakat. Apa lagi jika masyarakat tersebut menunggak pembayaran iuran BPJS, maka akan terancam tidak dilayani pelayanan kesehatannya.

Berbeda sangat jauh sekali antara pelayanan kesehatan yang dikelola kapitalisme  dan layanan kesehatan yang dikelola secara islami.

Pelayanan kesehatan ala kapitaliame hanya menambah beban dan tidak memberikan solusi bagi kebutuhan rakyat. Sementara dalam sistem pelayanan kesehatan ala islam, Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya menjadi fasilitas publik yang dapat diakses secara gratis oleh rakyat.

Semua fasilitas dan layanan kesehatan yang meeupakan kebutuhan dasar itu disediakan oleh negara secara cuma cuma.

Selain itu, dalam sistem islam, negara pula yang menanggung kebutuhan sandang, pangan dan papan dan pendidikan.

Hal ini didasari peenyataan Rasulullah SAW bahwa pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).

Sehingga kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi dan menciptakan kesejahateraan kepada masyarakat tanpa membedakan suku, agama dan kebangsaan. Wallahu a’lam bis-shawab.[]

*Mahasiswi, Makassar

Comment