Encu Inqilabi*: Muslimah, Kenakan Jilbabmu!

Opini614 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah mengatakan bahwa perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab, Sinta juga mengakui bahwa kaum Muslim masih banyak yang keliru dalam mengartikan ayat-ayat Al Quran karena memang sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi.

“Dipengaruhi oleh adat budaya setempat, cara berpikir dia juga mempengaruhi pemahaman terhadap ayat-ayat agama yang bukan menjadi bahasanya, yang sama bahasanya pun bisa salah juga dalam mengartikannya,” kata Sinta dalam YouTube channel Deddy Corbuzier pada Rabu, 15 Januari 2020.

Menurut dia, hijab tidak sama pengertiannya dengan jilbab. “Hijab itu pembatas dari bahan-bahan yang keras seperti kayu, kalau jilbab bahan-bahan yang tipis seperti kain untuk menutup, Sinta mengakui bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di dalam Al Quran jika memaknainya dengan tepat.

“Enggak juga (semua muslimah harus memakai jilbab), kalau kita mengartikan ayat dalam Al Quran itu secara benar,” kata Sinta. 

Begitu juga dengan putrinya, Inayah Wulandari Wahid, ia juga memilih untuk tidak memakai jilbab, alasannya bukan karena dia belum dapat hidayah. Tapi, dia meyakini sebab masih ada dalil-dalil lain yang diikutinya. Menurut dia, soal itu juga masih terjadi perdebatan antara para imam besar.

Memang terdapat perbedaan antara kerudung dengan jilbab, dan masih banyak masyarakat Indonesia yang keliru dalam memahaminya. Al Qur`an menyebut kerudung dengan istilah “khumur” (plural dari khimaar) bukan dengan istilah ”jilbab”.

Kata “khumur” terdapat dalam firman Allah SWT (QS An-Nuur [24] : 31). Yang artinya “Dan hendaklah mereka (para wanita) menutupkan kain kerudung ke dada mereka.” (Arab : walyadhribna bi-khumurihinna ‘ala juyuubihinna).” Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud “khimaar” adalah apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar ras`su) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/227). Dengan kata lain, tafsir dari kata “khimaar” tersebut jika dialihkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah kerudung.

Inilah yang saat ini secara salah kaprah disebut “jilbab” oleh masyarakat umum Indonesia.

Adapun istilah “jilbab” itu sendiri dalam Al Qur`an, terdapat dalam bentuk pluralnya, yaitu “jalaabiib”. Ayat Al Qur`an yang menyebut kata “jalaabiib” adalah firman Allah SWT (artinya),”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuan mu, dan istri-istri orang-orang mukmin,’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Arab : yudniina ‘alaihinna min jalaabibihinna). (QS Al Ahzab [33] : 59).

Imam Al Qurthubi Menafsirkan ayat ini dengan berkata,”Kata jalaabiib  adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar).

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis).

Ada yang berpendapat jilbab adalah al qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Dari keterangan Imam Al Qurthubi di atas, jelaslah bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai arti “jilbab”.

Memang terdapat satu pendapat yang mengatakan “jilbab” artinya adalah “al qinaa’ ” yang dapat diindonesiakan sebagai “kudung kepala wanita” atau juga dapat diartikan sebagai “cadar” (sesuatu yang menutupi wajah, maa yasturu bihi al wajhu). (A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir, hlm. 1163; Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 283).

Mungkin pendapat inilah yang masyhur di Indonesia, sehingga kemudian jilbab lebih populer dimaknai sebagai kerudung.
Namun pendapat tersebut dianggap lemah oleh Imam Al Qurthubi, sehingga beliau menguatkan pendapat bahwa jilbab itu bukanlah kerudung atau cadar, melainkan baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Dalam kitab kamus Al Mu’jamul Wasith, juga disebutkan bahwa jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub al musytamil ‘ala al jasadi kullihi).

Jilbab juga diartikan apa-apa yang dipakai wanita di atas baju-bajunya seperti milhafah (mantel/baju kurung)).  (Al Mu’jamul Wasith, hlm. 126). Senada dengan itu, menurut Syekh Rawwas Qal’ah Jie, jilbab adalah suatu baju yang longgar yang dipakai wanita di atas baju-bajunya (baju kerja/rumah) (tsaub wasi’ talbasuhu al mar`ah fauqa tsiyaabiha) (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 126). Demikian juga menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya At Tafsir Al Munir fi Al ‘Aqidah wa Al Syari’ah wa Al Manhaj, beliau memberikan makna serupa untuk kata jilbab. Jilbab menurut Syekh Wahbah Zuhaili adalah baju panjang (al mula`ah) yang dipakai perempuan seperti gamis, atau baju yang menutup seluruh tubuh. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 22/114).

Jadi intinya, kerudung itu berbeda dengan jilbab. Jilbab artinya baju yang dikenakan di atas baju rumah meliputi seluruh tubuh tanpa potongan dan longgar atau bahasa sekarangnya adalah baju gamis/jubah. Sementara yang dikenakan di atas kepala adalah khimar atau kerudung.

Meski berbeda definisi antara khimar dan jilbab namun kedua duanya wajib dikenakan oleh perempuan Muslim dihadapan orang yang bukan mahramnya dimana pun keberadaanya.

Bagi muslimah yang tidak memiliki jilbab, maka muslimah tersebut harus berupaya untuk memiliki jilbab agar bisa dikenakan ketika keluar rumah, sebagaimana kisah Sahabiyah ketika hendak keluar rumah namun tidak mepunyai jilbab untuk dikenakan.

Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, baik gadis-gadis merdeka, yang sedang haidh, maupun yang sudah kawin.

Mereka yang sedang haidh tidak mengikuti shalat, dan mendengarkan kebaikan serta nasihat-nasihat kepada kaum Muslim. Maka Ummu ‘Athiyyah berkata:”Ya Rasulullah ada seseorang di antara kami yang tidak mempunyai jilbab.

“Maka Rasulullah bersabda: “Hendaknya dipinjamkan jilbab saudaranya atau memakai jilbab wanita lain (yang tidak dipakai)” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, TurmudzidanNasa’i)

Ini bermakna bahwa pada saat itu Rasulullah SAW sebagai kepala negara mengatur bagaimana keharusan berpakaian Muslimah, terlihat jelas bagaimana kemudian ketegasan Rasulullah untuk menyuruh meminjamkan jilbab kepada saudara yang tidak memiliki jilbab pada saat itu.

Karenanya masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim harus memiliki pemimpin yang paham akan Syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) dan menerapkan aturan kehidupan sesuai dengan Syari’at Islam.[]

*Pemerhati remaja Gayo

Comment