RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Virus Covid-19 yang diumumkan oleh WHO sebagai pandemi telah memengaruhi sektor perekonomian di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Tidak ketinggalan sektor pendidikan pun terkena dampaknya.
Sekolah dianggap sebagai salah satu tempat yang berpotensi penyebarkan virus karena terdapat banyak guru, peserta didik juga staf lainnya yang saling berinteraksi disana. Oleh Sebab itu, beberapa kepala daerah mengambil kebijakan untuk belajar dirumah bahkan baru-baru ini beredar surat yang isinya memperpanjang masa belajar dirumah untuk antisipasi penyebaran covid-19.
Seperti pemerintah Aceh yang telah mengambil kebijakan libur sekolah diperpanjang hingga 29 Mei 2020 dari jadwal semula yang hanya sampai 30 Maret. Keputusan itu pun berlaku untuk semua pendidikan, baik formal maupun informal. (http://aceh-tribunnews-com/pemko-perpanjang-libur-sekolah-hingga-29-mei-2020)
Sebagai gantinya, pembelajaran yang biasanya dilakukan di sekolah diubah menjadi belajar di rumah. Orang tua yang juga bekerja dari rumah diminta untuk mengawasi proses belajar anak selama berada di rumah. Meski terlihat menyenangkan, belajar di rumah bukanlah sesuatu yang mudah bagi para orang tua dan juga guru.
Para guru harus memutar otak agar proses belajar mengajar mencapai target, dengan menggunakan metode daring yang sebenarnya terdapat banyak kendala saat belajar, seperti quota yang terbatas, gadget yang apa adanya, keterbatasan jaringan, atau kurangnya kemampuan guru dalam menggunakan teknologi, yang pada akhirnya guru hanya memberi tugas kepada peserta didik, yang mengakibatkan kaum ibu kewalahan bahkan mengaku anaknya stress dan mengeluhkan situasi belajar dirumah dengan materi yang sangat banyak.
Banyak anak yang kemudian tidak nyaman belajar dirumah sebab ibunya tak mampu mengarahkan dan membimbing anak saat belajar dirumah.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan sejumlah orang tua siswa yang mengeluhkan anak-anak mereka menjadi stres karena mendapatkan berbagai tugas setiap hari dari para gurunya,” kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangan tertulis pada Rabu (18/3/2020). (https://news.detik.com/berita/d-4944071/siswa-belajar-dari-rumah-kpai-anak-anak-stres-dikasih-banyak-tugas)
Apakah sepenuhnya salah guru? Tidak demikian, bahwa guru yang mengajar juga mendidik dituntut untuk menuntaskan materi ajar, bukan berarti orang tua menyerahkan semua urusan pendidikan kepada guru disekolah, jadi tugas utama orang tua adalah mendidik buah hati di rumah, jadi suatu keharusan bagi sang ibu mendidik si buah hati di rumah.
Pandemi covid-19 secara tidak sadar telah mengembalikan peran ibu pada fitrahnya. Bagaimana tidak, mau tidak mau ibu harus mendampingi buah hatinya untuk belajar dirumah, dan memang sudah seharusnya demikian, peran ibu sebagai madrasatul ula dan teladan terbaik untuk anak-anaknya. Sungguh disayangkan, hari ini masih banyak kita dapati ibu-ibu yang tidak memiliki gambaran tentang fungsi keibuan yang disandang.
Mereka menikah dan punya anak seolah hanya sebagai menjalani skenario yang dijalani layaknya air mengalir begitu saja, tidak tau mau diarahkan kemana sang buah hati, tidak ada target bahkan tidak pula merasa bahwa kelak Allah SWT akan memintai pertanggungjawaban terhadap pedidikan kepribadian anak.
Kapitalisme liberal lah yang telah melencengkan fitrah seorang ibu dengan teori feminismenya, dengan jargon “kesetaraan dan keadilan gender” sebagai jalan pembebasan bagi perempuan. Perempuan diberi kebebasan memutar mesin produksi, oleh karenanya banyak kita dapati perempuan hanya mementingkan karir atau profesi dunia dari pada sibuk menghiasi diri dengan tsaqofah Islam, kapitalisme memprovokasi perempuan untuk keluar dari rumah mereka, memprovokasi kaum perempuan untuk menanggalkan kemulian dan keiffahan mereka, serta memprovokasi kaum perempuan untuk menanggalkan kebangaan menjadi ibu dan pengatur rumah tangga.
Penting untuk disadari oleh kaum perempuan atau ibu bahwa hidup berumah tangga adalah tempat berseminya calon pemimpin umat. karenanya ibu wajib memiliki pengetahuan luas tentang metode mendidik anak agar kelak sang buah hati terbentuk kepribadian Islam yang tidak hanya cerdas tapi juga bertaqwa. Ibulah yang membentuk kepribadian anak, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda “Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi (HR. Sahaih Muslim No.4803).
Mengingat perannya yang sentral ini, ibu harus melakukan aktivitasnya pada jalur yang benar dan berdasarkan parameter ketaqwaan dan memiliki keutamaan akhlak karena ia memiliki kewajiban yang sangat mulia, bahkan harus dikatakan bahwa tidak ada kewajiban yang paling mulia dan tinggi dari pada melaksanakan kewajiban sebagai seorang ibu.
Islam hadir dengan aturan yang menyeluruh, menetapkan bahwa peran utama kaum ibu adalah penjaga generasi, yakni sebagai ibu dan manajer rumahtangga. Sebuah peran yang sangat strategis dan politis bagi sebuah bangsa atau umat. Untuk itu, Allah SWT menetapkan berbagai aturan yang menjaga kaum perempuan dan menjaga kehormatan mereka sehingga posisi strategis itu bisa berjalan sebagaimana seharusnya.
Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagai kepala keluarga ada pada pundak suami, bukan pada perempuan. Sehingga ibu tidak usah bersusah payah bekerja ke luar rumah dengan menghadapi berbagai resiko sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan bekerja dalam sistem kapitalis sekarang ini.
Selama covid-19 masih mewabah di negeri ini, kaum ibu tak perlu khawatir, jadikan moment ini sebagai pendekatan terbaik dalam mendidik anak dirumah. Menantang diri untuk menjadi ibu yang tangguh dalam mendidik dan membentuk sang buah hati menjadi kesatria Islam, yang tidak hanya intelek tapi juga bertaqwa kepada Allah SWT. Cendikiawan, mujahid, dan ulama adalah kesatria yang lahir dari hasil didikan ibu yang tangguh terhadap ideologi Islam. []
*Pemerhati remaja Gayo
Comment