Oleh: Linda Ariyanti, A.Md, Tenaga Pendidik dan Aktivis Dakwah
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam ternyata tak membuat rakyat sejahtera. Masyarakat baru saja mendapat kado pahit dengan naiknya harga LPG nonsubdisi. Duh, emak-emak makin pusing mengatur keuangan karena kebutuhan pokok makin hari makin melonjak tinggi, padahal pendapatan bulanan masih mengalami stagnasi, bahkan banyak masyarakat yang pendapatannya justru menurun akibat pandemi.
Tak hanya rumah tangga yang terdampak kebijakan ini, pengusaha/pedagang dibidang makanan/olahan pangan juga merasakan naiknya harga LPG non subsidi yang makin memperbesar ongkos produksi. Beberapa pemilik warung makan akhirnya beralih mencari LPG subsidi 3 kilogram agar keuntungan tetap mereka dapatkan, meski kita semua tahu gas melon ini keberadannya sulit dicari.
Harga Tinggi Dampak Liberalisasi
Mulai 27 Februari 2022, PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) menaikkan harga gas elpiji non subsidi. Dikutip laman resmi Pertamina, harga jual LPG nonsubsidi 5,5 kilogram berkisar antara Rp. 88.000 – Rp. 114.000. Sedangkan harga jual LPG nonsubsidi 12 kilogram berkisar anatar Rp. 187.000 – Rp. 243.000.
Diberitakan Kompas.com, Minggu (27/2/2022), Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina (Persero) Irto Ginting menjelaskan, kenaikan harga itu dilakukan mengikuti perkembangan terkini dari industri minyak dan gas. Tercatat, harga Contract Price Aramco (CPA) mencapai 775 dollar AS/metrik ton, naik sekitar 21 persen dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun 2021.
Dalam sistem demokrasi kapitalis, meski kenaikan harga LPG sangat membebani rakyat, namun hal ini tidak menjadi pertimbangan bagi penguasa dalam menetapkan kenaikan harga. Karena negeri ini memang telah merestui adanya liberalisasi migas.
UU No. 22 Tahun 2001 tentang migas adalah dasar privatisasi dan liberalisasi di tingkat hulu dan hilir industri migas di Indonesia. Karena UU tersebut, negara kehilangan kendali atau alat untuk menjamin keamanan pasokan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas, pengelolaan migas akhirnya diambil oleh pihak swasta/asing dengan meraup keuntungan yang sangat besar, tanpa memperdulikan masyarakat yang harus membayar mahal untuk mendapatkan bahan bakar migas.
Pengelolaan Migas dalam Islam
Islam sebagai agama sekaligus aturan kehidupan telah menetapkan adanya konsep kepemilikan yang terbagi menjadi tiga yakni kepemilikan individu, kepemilikan Negara dan kepemilikan umum. Syariat ini jika dijalankan tentu akan mengahsilkan maslahat bagi kehidupan manusia. Karena Allah swt adalah dzat yang maha mengetahui segalanya.
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu barang atau harta. Benda-benda yang termasuk kedalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Asy-Syari’ memang diperuntukan untuk suatu komunitas masyarakat.
Kepemilikan umum meliputi: (1) fasilitas umum, jika tidak ada dalam suatu negri atau suatu komunitas akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya, (2) barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, (3) sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah bersabda : “Kaum Muslimin bersekutu dalam tiga hal : air, padang dan api “. (HR. Abu Dawud). Anas meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan : wa samanuhu haram (dan harganya haram). Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda : “Ada tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun): air, padang dan api “. (HR.Ibnu Majah).
Dengan konsep kepemilikan ini, niscaya tidak akan ada kedzaliman yang dilakukan penguasa dengan memaksa rakyatnya membeli migas dengan harga tinggi. Negara mengelola sesuai tuntunan syariah dan manfaatnya dikembalikan untuk kemaslahatan masyarakat.[]
Comment