Oleh: Kartiara Rizkina Murni, Aktivis Muslimah Aceh
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sebagai negara kepulauan dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah, Indonesia sering kali diperkirakan bakal menjadi salah satu negara maju di masa mendatang. Ini sangat balasan karena semua hal ada di indonesia, mulai dari minyak, gas, batubara, emas, tembaga, ikan, hutan, bahkan hewan-hewannya.
Namun sayang sekali bahwa menjadi negara maju yang diimpikan sepertinya hanya menjadi angan-angan. Bagaimana bisa indonesia maju jika seluruh kepemilikan dari SDA nya justru malah dikuasai asing?
Sebagaimana dikutip republika (28/4/2023), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memberikan perpanjangan waktu kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk mengekspor konsentrat tembaga sampai dengan Mei 2024 dari rencana sebelumnya yang akan distop Juni 2023. Perpanjangan izin ekspor itu diberikan merespons proyek pembangunan fasilitas pemurnian smelter PTFI di Gresik, Jawa Timur yang juga molor hingga tahun depan dari target selesai Desember 2023.
Perpanjangan ekpor Freeport ini tentu berpotensi kerugian. Bahkan kerugian negara karena adanya perusahaan asing yang menambang jauh lebih besar dari sekedar distopnya kegiatan ekspor kosentrat.
Freeport saat ini mengantongi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan perpanjangan masa operasi 2×10 tahun hingga 2041.
Walaupun pemerintah memberi syarat atas perpanjangan tersebut di antaranya, seperti yang disampaikan oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk bisa mendapatkan perpanjangan izin beroperasi setelah 2041.
Pertama, Erick Thohir meminta adanya tambahan direktur Freeport Indonesia yang berasal dari Papua. Menurutnya, banyak sumber daya manusia di Papua yang kompeten untuk menjabat sebagai direktur perusahaan tambang tersebut.
Syarat kedua, PTFI harus mendukung program hilirisasi di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan menyelesaikan pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur, serta ke depannya membangun smelter tambahan di Papua.
Syarat ketiga, pemerintah ingin menambah porsi kepemilikan saham di PTFI sebesar 10 persen, yakni menjadi 61 persen dari saat ini sebesar 51 persen. Hal ini sebagai upaya untuk mendorong pendapatan negara.
Dari ketiga syarat tersebut, tidak satupun yang menguntungkan rakyat, terkhusus rakyat papua. Syarat pertama, penambahan direktur dari orang Papua sebenarnya tidak merubah sedikitpun bagaimana pihak asing mengendalikan Freeport.
Adapun UU yang dibuat juga pada akhirnya hanya menguntungkan para korporasi. UU Minerba dianggap prokorporasi dan akan terus berubah sesuai kepentingan korporasi. Lalu apalah guna penambahan direktur dari orang Papua, kalau pada akhirnya tidak bisa dinikmati oleh rakyat Papua?
Adapun syarat kedua, hilirisasi. Faktanya pembangunan smelter membutuhkan investor, terutama investor asing dalam hal pembangunan. Lalu apa keuntungannya untuk rakyat Indonesia?
Syarat ketiga, menilik dari kepemilikan 51% saham Freeport masih dipertanyakan apakah benar menjadikan aliran keuntungan besar pada pemerintah? Mengingat sumber dana yang dipakai untuk membeli saham ternyata berasal dari obligasi Internasional alias “utang”. Bahkan tercatat sebagai akuisisi terbesar yang pernah dilakukan perusahaan negara selama Indonesia berdiri.
Jikapun ditambah 10 persen lagi, kalau modalnya berasal dari utang tidak akan memberikan keuntungan yang besar lantaran sama-sama mengalir pada asing.
Belum lagi kerusakan alam yang dihasilkan dari tambang Freeport. Sungguh miris, kekayaan Indonesia justru dinikmati asing.
Penguasaan SDA oleh perusahaan asing di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme telah membebaskan SDA dikelola siapa pun, termasuk asing. Sementar rakyat terus menjadi tumbal atas ketamakan pengusaha.
Berbeda dengan Islam. Dalam syari’at, penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) adalah kaum muslim dan pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara untuk rakyat. Artinya negara secara mandiri mengelola SDA tanpa campur tangan korporasi asing apa lagi diswastanisasikan.
Rasulullah SAW bersabda,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api; dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah).
Standar hukumnya jelas yakni hukum syariat, bukan UU yang bisa diotak-atik sesuai kepentingan. Sehingga Islam tidak akan memberikan celah kepada siapapun menguasai SDA atau kepemilikan umum.
Maka untuk terlepas dari jeratan korporasi adalah dengan mencari sistem alternatif pengganti kapitalisme yang merugikan rakyat. Hanya Islam yang akan menjamin pengelolaan kekayaan alam untuk rakyat. Wallohua’alam.[]
Comment