Efisiensi, Kebijakan Penghematan yang Tidak Bijak

Opini37 Views

 

Penulis: Endang Rahayu | Aktivis Dakwah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kebijakan efisiensi yang ditetapkan pemerintahan masih menyisakan berbagai permasalahan. Meski kebijakana efisiensi anggaran ini melangkahi amanat konstitusi, yakni alokasi 20% APBN untuk sektor Pendidikan, nampaknya pemerintah masih keukeuh meneruskannya.

Seperti diketahui, kebijakan ini memicu reaksi kerasa dari masyarakat khususunya mahasiswa yang menganggap kebijakan ini merupakan upaya menarik peran negara dari tanggung jawab pengurusan masyarakat.

Kebijakan ini mendasari gerakan mahasiswa di jalan-jalan di Jakarta, memicu munculnya arus PHK di berbagai sektor pekerjaan terutama pada pegawai honor di lembaga yang bergantung pada pembiayaan negara, serta viralnya hashtag kaburajadulu.

Efisiensi anggaran dinilai harus dilakukan karena kebutuhan belanja negara di pemerintahan baru ini sangat besar, terutama untuk program-program unggulan seperti MBG dan cek kesehatan gratis.

Sementara itu, pemasukan negara sangat minim. Herannya, efisiensi ini tidak sejalan dengan kebijakan lainnya, seperti gendutnya kabinet dan pengangkatan staf khusus.

Di satu sisi rakyat diminta berhemat dengan berbagai efisiensi anggaran, di sisi lain pemerintah pusat tak melakukan diet kementrian. Jumlah kementrian hari ini adalah 46 kementrian dengan mentri dan wakli menteri serta staf yang begitu banyak. Seakan yang harus berhemat hanya masyrakat saja.Tak heran jika Masyarakat mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam melakukan efisiensi.

Keuangan Negara Kian Mengkhawatirkan

Pemangkasan anggaran hingga 306,69 T menurut pemerintah harus dlakukan untuk efisiensi terhadap berbagai anggaran yang sebelunya tidak efisien. Menurut Guru Besar UGM Bidang Manajemen Kebijakan Publik, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP, upaya efisiensi anggaran ini menjadi hal yang sulit dilakukan negara mengingat besarnya belanja birokrasi dalam pemerintahan. Jumlah kementrian yang besar beserta segala pola budaya birokrasi berupa ATK, unsur penunjang, rapat teknis, menjadi tantangan bagi upaya penghematan ini.

Di sisi lain, negara seakan buntu. Setelah prokontra kenaikan pajak 12% yang akhirnya dianulir di awal tahun 2025, negara kehabisan ide. APBN 2025 diproyeksikan pemerintah mengalami defisit hingga 616,42 T dengan total belanja negara 3.621,3 triliun.

Diperkirakan devisit ini akan melebar hingga 2,9 persen dari PDB atau sekitar Rp800 triliun. Sementara itu, penerimaan negara hanya dipatok Rp3.005,1 triliun. Rp1.353,2 triliun untuk membayar utang dalam bentuk cicilan pokok Rp800,3 triliun, dan bunga Rp552,9 triliun. Seperti peribahasa, besar pasak daripada tiang, kondisi keuangan negara sangat mengkhawatirkan (cnnindonesia.com, 18/2/2025)

Sayangnya, tidak berhenti sampai di sini, masyarakat dibuat bertanya-tanya dengan konsep investasi Danantara yang sumbernya diambil dari deviden SDA. Sekali lagi, di tengah efisiensi di segala lini, rakyat diminta mengencangkan ikat pinggang, negara justru menggelontorkan dana pada investasi berisiko.

Paradox Negara Kapitalis

Seperti yang diketahui bahwa sumber pendanaan APBN terbesar adalah dari pajak. Pendapatan negara dalam APBN tahun 2025 direncanakan sebesar Rp3.005,1 triliun, yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun.

PNBP dari sektor sumber daya alam lebih sedikit lagi, misalnya di tahun 2024 hanya mencapai 207.669 milyar rupiah. Tak mengherankan jika negara mengerahkan semua sektor untuk bisa menumpu program-program populis dari janji politik di pemilu sebelumnya (bps.go.id, 26/2/2025).

Demikianlah kondisi keungan negri ini. Negri gemah ripah loh jinawi dengan kekayaan alam yang luar biasa besar kebingungan mencari pemasukan. Ini merupakan paradoks ekonomi negara yang mengemban idelogi kapitalisme.

Sebesar apapun sumber daya yang dimiliki, negara tidak mengelolanya dan hanya mengambil keuntungan dari dana bagi hasil dan PNBP tadi. Pengelolaan yang diserahkan kepada swasta tentu mencegah negara untuk mendapatkan keuntungan besar dari sektor sumber daya alam.

Sebut saja pengelolaan tambang emas yang dikelola PTFI (PT Freeport Indonesia) di pegunungan Gresberg Papua. Saat wacana menambah saham pemerintah di PT FI menjadi 61% di masa Jokowi, pemerintah mengklaim bahwa rencana itu sepadan dengan penambahan waktu 20 tahun untuk hak pengelolaan lebih lama, yakni sampai 2061.

Pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi menjelaskan percuma jika saham pemerintah meningkat tetapi pengelolaan masih diserahkan pada asing. Perpanjangan izin pengelolaan hingga berpuluh tahun hanya akan mencegah negara untuk mengelola sendiri sumber daya tersebut.

Akibatnya, menjadi negara kaya nan sejahtera hanya menjadi ilusi. Selama kekayaan negara diatur atas asas kapitalisme, sumber pendapatan negara hanya bisa diperoleh dari pajak dan hutang.

Islam Menjawab Permasalahan Ekonomi

Efisiensi dianggap menjadi solusi, karena negara tidak memiliki konsep yang jelas dalam mengatur sumber pemasukan negara serta buruknya birokrasi yang menyebabkan kebocoran dana diberbagai sektor. Maka, Islam menyelesaikannya dalam dua konsep.

Pertama, dalam Islam, salah satu tugas negara adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Negara, dalam pandangan Islam, wajib memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan, dan kesehatan.

Sistem ekonomi Islam dibangun untuk mencegah agar harta tidak beredar hanya di sebagian kalangan saja.

Untuk itu, Islam mengatur berbagai syariat yang berkaitan dengan upaya memecahkan masalah ekonomi dalam kehidupan dan menatur hubungan manusia dengan harta ditinjau dari segi kepemilikannya, pemanfaatan harta, serta cara pemungutan harta tersebut oleh negara kepada rakyat dan mengembalikannya lagi kepada rakyat.

Syariat Islam berprinsip bahwa semua harta yang ada di muka bumi ini adalah milik Allah Swt. Maka, hak pengelolaannya diberikan oleh Allah Swt. kepada manusia berdasarkan syariat yang dijelaskan dalam nash syara’, berupa berbagai jenis kepemilikian. Manusia hanya bisa memiliki suatu harta hanya jika diizinkan oleh syariat.

Dalam Islam, ada tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikikan negara. Seorang individu tidak diperbolehkan memiliki kepemilikan umum dan memanfaakannya secara pribadi. Begitupun juga negara tidak diperbolehkan mengambil kepemilikan individu tanpa hak (semena-mena).

Sumber daya alam merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang diatur dalam syariat Islam. Rasulullah bersabda bahwa masyararakat berserikat dalam 3 hal, air, api (sumber energi) dan padang gembala. Artinya, pada ketiga hal tersebut terdapat larangan yang tegas bagi individu perseorangan yang memonopoli sumber daya itu dan menghalangi orang lain dari mengambil manfaatnya.

Sumber daya alam ini masuk dalam kategori kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Hasil dari pemanfaatan ini akan masuk ke dalam kas Baitul Mal sebagai pemasukan negara dan akan menjadi sumber dana bagi terpenuhinya segala kebutuhan masyarakat tadi.

Selain sumber daya alam, Islam juga mengatur sumber pemasukan lainnya berupa Al-anfal (rampasan perang), ganimah, dan fai’. Ada juga kharaj atas tanah, Jizyah dari nonmuslim, kepemilikan negara berupa tanah tak bertuan, 1/10 (al ‘usyur) dan al-jamarik (bea cukai), harta orang-orang yang tidak ada ahli warisnya, harta orang-orang yang murtad dari Islam, semua jenis zakat, serta 1/5 rikaz (barang temuan) dan barang tambang yang sedikit.

Semua sumber pendapatan di atas akan sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Terlebih lagi negeri seperti Indonesia yang sumber daya alamnnya melimpah ruah. Pengelolaan yang sesuai dengan syariat Islam akan bisa memastikan negeri ini tak perlu melakukan efisiensi sana-sini.

Konsep kedua adalah budaya birokrasi yang berbelit menjadi hal yang ditentang dalam Islam. Mekanisme birokrasi dari rakyat pada penguasa dan sebaliknya sangat efisien dan sederhana. Kesederhanaan ini akan memastikan tidak adanya kebocoran dana pada sektor-sektor yang tidak berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat.

Islam mendorong pejabat negara untuk berhati-hati dalam menggunakan fasiitas negara. Misalnya, kehati-hatian Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang mematikan lampu ruang kerjanya karena kedatangan anaknya yang ingin membahas masalah keluarga. Baginya saat itu, lampu merupakan fasilitas negara yang harusnya digunakan untuk kepentingan negara, bukan pribadi.

Kedua konsep tersebut merupakan bagian dari suprasistem politik Islam yang paripurna. Semua sistem ini akan saling terkait untuk bisa mewujudkan cita-cita kesejahteraan umat dan tercapainya ketakwaan hakiki di tengah-tengah umat manusia.

Maka, efisiensi tidak lagi dibutuhkan semata untuk menghemat sedikit harta. Akan tetapi, efisiens merupakan bagian dari tanggung jawab pejabat dan pegawai negara ketika menggunakan harta umat.[]

Comment