Efektifitas Penghapusan Tenaga Honorer Dipertanyakan

Opini603 Views

 

Oleh: Mutiara Putri Wardana, Akuntan

__________

RADARINNDONESIANEWS.COM, JAKARTA Pemerintah memastikan akan menghapus tenaga honorer mulai 28 November 2023. Hal ini tertuang dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dengan adanya keputusan itu maka Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri atas dua jenis antara lain PNS dan PPPK. Tenaga honorer akan dihapuskan dan diganti dengan sistem outsourcing.

Meski begitu, masih ada kesempatan bagi tenaga honorer mengikuti tes CPNS. Tapi tentu tidak semua bisa lulus dalam tes tersebut. Pertanyaannya berapa jumlah honorer yang tersisa saat ini?

Melansir keterangan resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), pada tahun 2018-2020, sebanyak 438.590 THK-II (tenaga honorer kategori II) mengikuti seleksi CASN (CPNS dan PPPK). Per Juni 2021 (sebelum pelaksanaan seleksi CASN 2021), terdapat sisa THK-II sebanyak 410.010 orang.

Itu artinya masih ada sebanyak 410.010 tenaga honorer saat ini. Jumlah THK-II itu terdiri atas tenaga pendidik sebanyak 123.502, tenaga kesehatan 4.782, tenaga penyuluh 2.333, dan tenaga administrasi 279.393. (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6111375/ada-segini-banyak-tenaga-honorer-yang-statusnya-terancam-dihapus)

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyatakan, kebijakan penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR).

Tjahjo menjelaskan, selama ini, pekerja honorer bukan direkrut oleh pemerintah pusat, melainkan diangkat secara mandiri oleh masing-masing instansi. Karena itu, sistem perekrutan dan standar gaji pekerja honorer di setiap instansi itu berbeda-beda pula, tak ada satu standar yang sama.

Kini, ujar Tjahjo, seperti dikutip republican.co.id,  dengan penghapusan tenaga honorer pada 2023, maka keberadaan pekerja bisa ditata di setiap instansi. “Untuk mengatur bahwa honorer harus sesuai kebutuhan dan penghasilan layak sesuai UMR, maka model pengangkatannya melalui outsourcing,” kata politisi PDIP itu.

Penghapusan tenaga kerja honorer di lingkungan instansi pemerintahan dan akan digantikan dengan PPPK sekilas memberikan angin segar bagi para honorer untuk mendapat kejelasan statusnya. Apalagi sudah menjadi rahasia umum upah yang didapatkan para tenaga kerja honorer jauh dari kata layak.

Namun yang menjadi soal justru terkait efektifitas kebijakan ini untuk mengatasi angka pengangguran yang kian hari kian meningkat. Sebab baik menjadi PPPK apalagi ASN pastilah ada syarat dan ketentuan yang berarti tak semua tenaga honorer saat ini bisa menjadi pegawai pemerintah atau dengan kata lain tidak ada jaminan formasi PPPK akan sama jumlahnya dengan formasi tenaga honorer yang ada. Artinya mata pencaharian para tenaga honorer ini dipertaruhkan.

Kebijakan pemerintah ini hanya berfokus menyelesaikan masalah penumpukan tenaga honorer khususnya jumlah guru honorer, agar tidak memberatkan tanggungan keuangan pemerintah pusat. Padahal bila dipraktikkan kebijakan ini akan berdampak pada ratusan ribu tenaga kerja yang akan kehilangan pekerjaan, menimbulkan masalah sosial ekonomi, dan bahkan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah.

Hendaknya penghapusan ini dibarengi dengan pembukaan lapangan kerja lain yang secara nyata memberikan peluang besar kepada tenaga kerja lokal. Agar meskipun tidak lolos dalam lingkungan kerja instansi pemerintahan mereka memiliki jaminan pekerjaan lain di luar sana.

Kebijakan ini mengindikasikan kurang signifikan pemerintah dalam periayahan terhadap rakyatnya. Jangankan menyejahterakan rakyat, yang ada justru rakyat terus menerus dipersulit dengan berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Seharusnya kebijakan yang dibuat adalah solusi yang solutif bukan hanya menambah masalah baru.

Namun inilah watak sistem kapitalisme yang diagung-agungkan, sistem yang menjadikan kalkulasi untung rugi dalam suatu kebijakan sebagai acuan. Jadi wajar dalam sistem ini tenaga honorer dianggap beban negara karena jika memang benar tujuannya untuk membantu rakyat tentu akan disediakan alternatif lapangan pekerjaan lain sebagai solusi jikalau tenaga honorer yang ada tidak lolos seleksi menjadi PPPK atau ASN.

Hal ini tentu tidak akan terjadi dalam Islam, sebab dalam Islam ASN adalah pegawai negara yang akan mendapat upah dengan akad ijarah (kontrak kerja) dengan gaji layak sesuai jenis pekerjaannya. Pemerintah wajib untuk menyediakan lapangan pekerjaan untuk orang yang mau bekerja, seperti halnya sabda Rasulullah, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat); ia akan dimintai pertanggung jawabannya atas urusan rakyatnya.” (H.R al-Bukhari dan Muslim).

Sebagaimana gambaran kehidupan guru di masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari Al-Wadhiah bin Atha, bahwasanya pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab, ada tiga guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Setiap guru mendapat gaji 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas; 15 dinar=63,75 gram emas).

Bila saat ini 1 gram emas Rp850 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 54.187.500,-. Tentunya tidak memandang status guru tersebut ASN ataupun honorer, bersertifikasi atau tidak. Yang jelas, mereka adalah tenaga kerja.

Pemerintah mampu memberikan gaji sebesar itu karena sistem ekonominya pun berlandaskan akidah Islam yakni ekonomi yang sesuai syari’at Islam.

Oleh karena itu, penetapan upah menurut pada ahli fikih di dalam Islam didasarkan pada manfaat yang diberikan pekerja kepada pemberi kerja, baik manfaat itu lebih besar daripada kebutuhan hidup atau lebih rendah daripada kebutuhan hidup pekerja tersebut.

Dalam Islam pula tidak dikenal sistem honorer karena setiap tenaga kerja akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara. Seluruh pegawai di negara dengan sistem Islam diatur sepenuhnya di bawah hukum ijarah dengan gaji layak sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Dan negara akan menjamin para pekerja mendapat perlakuan adil sesuai hukum syariat.

Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, “Ada tiga golongan pada Hari Kiamat nanti yang akan menjadi musuh-Ku. Siapa yang menjadi musuh-Ku, Aku akan memusuhi dia. Pertama, seorang yang berjanji setia kepada-Ku, namun mengkhianatinya. Kedua, seorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya. Ketiga, seorang yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu setelah pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, orang tersebut tidak memberi dia upahnya.” (HR al-Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah).

Jadi ketika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh maka tidak akan lagi terjadi permasalahan yang demikian. Berbagai polemik ketenagakerjaan yang menyeruak di dalam sistem kapitalisme saat ini, ataupun yang pernah terjadi pada sistem sosialisme-komunisme, tidak akan terjadi di negara-negara Muslim.

Dengan menerapkan ekonomi Islam, maka pihak pekerja dan pengusaha akan sama-sama mendapatkan keuntungan, dan secara luas akan memberikan keberkahan pada seluruh aspek kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Wallahu’alam.[]

Comment