Duka Palestina, Duka Kita

Opini168 Views

 

Penulis: Devy Rikasari, S.Pd. | Anggota Komunitas Pena Dakwah Cikarang

 

RADARINDONESIANEWS.COM,JAKARTA– Palestina kembali membara. Setelah serangan Hamas pada Sabtu, 7 Oktober lalu ke Israel yang menewaskan 1300 orang, serangan balasan dari militer Israel ke Jalur Gaza makin membabi buta. Seperti dapat ditebak, jumlah korban tewas di Jalur Gaza jauh lebih banyak, yakni sekitar 2500 orang, belum lagi korban luka yang mencapai 5.334 orang. Angka yang sangat bombastis.

Ironisnya, para pejuang HAM bungkam, bahkan yang terjadi Amerika sebagai polisi dunia malah memberi dukungan kepada Israel. Kalau sudah begini, makin jelas siapa lawan dan siapa kawan. Lantas, kita ada di pihak mana?

Konflik Palestina adalah Penjajahan

Sebelum menyikapi konflik Palestina, sebaiknya dipahami dulu mengapa konflik ini bisa terjadi. Pada mulanya, Palestina adalah tanah kharajiyah. Kaum muslimin sudah tinggal di sana sejak tahun 637 M. Ini bermula dari futuhat yang dilakukan kaum muslimin di Perang Yarmuk, di mana kaum muslimin tampil sebagai pemenang perang. Karena melihat bagaimana Islam mengurus orang-orang yang berada di bawah kekuasannya, akhirnya membuat pemimpin gereja Kristen, Patriach Sophoroniy, menyerahkan kunci Al Quds kepada Khalifah Umar bin Khattab.

Sejak itulah, Palestina berada di bawah perlindungan Daulah Khilafah. Berbagai upaya dilakukan untuk mempertahankan tanah Palestina. Hingga pernah suatu kali Palestina jatuh ke tangan pasukan salib. Namun, pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan Shalahudin Al Ayyubi berhasil merebutnya kembali.

Namun, mimpi buruk yang berkepanjangan dialami oleh Palestina melalui Perjanjian Balfour yang ditandatangani Inggris pada tahun 1917. Perjanjian tersebut menjadi celah bagi Yahudi memasuki Palestina. Pasalnya, pasca Deklarasi Balfour, Inggris memfasilitasi migrasi kaum Yahudi ke Palestina.

Walhasil terjadi lonjakan populasi Yahudi di Palestina antara tahun 1922-1935, yakni hampir 27 persen dari total populasi di Palestina. Padahal awalnya mereka adalah kaum minoritas yang populasinya hanya 9 persen.

Setelah populasinya meningkat tajam, Yahudi semakin arogan terhadap penduduk pribumi Palestina. Kontak fisik pun tidak terhindarkan dan semakin membesar hingga tahun 1948. Pada 1948, orang-oarng Yahudi mendeklarasikan kemerdekaan Israel dan salah satu akibatnya adalah menyebabkan ratusan ribu penduduk pribumi Palestina terusir dari tanah kelahirannya.

Selama beberapa dekade, pendudukan Israel atas Palestina pun semakin meluas dan meningkatkan ketegangan di antara dua negara ini. Pencaplokan wilayah, pengusiran, dan pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi.

Keinginan Yahudi menduduki tanah suci Palestina rupanya telah dirancang jauh-jauh hari. Pimpinan gerakan zionisme, Theodore Herzl, berulang kali meminta tanah Palestina kepada Sultan Abdul Hamid II yang saat itu menjabat sebagai khalifah pada Kekhilafahan Turki Utsmani. Namun, Sultan dengan tegas menolak permintaan tersebut.

Jihad Solusi Konflik

Kita sering mendengar firman Allah SWT yang berbunyi, “Setiap muslim itu bersaudara”. Bahkan banyak hadits yang bernada serupa. Antara muslim yang satu dengan muslim yang lain disatukan dengan ikatan akidah, diibaratkan seperti satu tubuh-  jika ada satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lain merasakan hal yang sama.

Namun, hari ini sikap pemimpin negeri-negeri muslim hanya mengecam tindakan biadab Israel terhadap sauradaranya di Palestina. Sekat-sekat negara-bangsa sudah menjauhkan mereka dengan Palestina sejauh mungkin.

Mereka manut saja pada keputusan PBB menyelesaikan konflik dengan solusi dua negara. Ada kekhawatiran jika mendukung Hamas dan bersikap tegas kepada Israel akan mengancam keamanan negaranya. Selain itu, ternyata masih ada negeri-negeri muslim yang terikat hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini semakin menambah berat beban kaum muslim Palestina.

Lalu bagaimana seharusnya umat Islam bersikap?

Seperti dilansir voa.indonesia mengutip pernyataan pegiat kemanusiaan Indonesia, Bang Onim, bahwa Israel selalu melanggar hukum internasional dan berbagai perjanjian yang telah ditandatangani. Oleh karena itu perlawanan bersenjata kini menjadi satu-satunya cara menghadapi Israel. Ya, bahasa yang dipahami oleh Israel hanya bahasa perang. Mereka tidak peduli dengan beragam kesepakatan dan penderitaan ribuan manusia yang menjadi korban perang.

Allah SWT. berfirman:

وَقٰتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ لِلّٰهِ ۗ فَاِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ اِلَّا عَلَى الظّٰلِمِيْنَ

“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim.”_ (QS. Al Baqarah: 193)

Hanya saja, jihad yang efektif jika dilakukan oleh kekuatan yang besar dan dalam satu komando. Tanpa bermaksud mengecilkan perjuangan Hamas dan mujahid lainnya di Palestina. Sebagaimana dahulu, Palestina dapat dibebaskan dari kekuasaan Romawi yang menindas dan tetap dapat dipertahankan adalah dengan kekuatan negara. Palestina dan umat islam membutuhkan khilafah. Dengannya, bukan hanya Palestina yang dapat dibebaskan, tetapi juga negeri-negeri muslim lain yang saat ini tertindas pun dapat terbebas.

إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ

“Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).

Referensi:
https://news.detik.com
https://khazanah.republika.co.id
https://www.kompas.com
https://youtu.be
https://www.voaindonesia.com
https://www.sindonews.com

Comment