Penulis: Dr H. J. Faisal | Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) | Pemerhati Pendidikan dan Sosial | Anggota PJMI
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dalam kehidupan yang manusia jalani, ada pasang dan surut, keberuntungan dan sebaliknya. Berikut pandangan terkait keberuntungan.
Keberuntungan Versi Materialisme
Banyak pihak yang mengatakan bahwa betapa beruntungnya menjadi sosok seorang anak Presiden, masih muda sudah jadi walikota dengan mudahnya, mempunyai ‘kekuasaan’ yang luas, dan sudah bisa menjadi calon wakil presiden sebesar negara Indonesia dalam usia muda, meskipun dengan cara-cara yang memalukan dan meskipun tanpa memiliki kemampuan akademis dan kemampuan pemikiran yang mumpuni.
Atau mungkin juga kita pernah menyaksikan kehidupan seseorang yang sepertinya selalu mudah dan ‘mulus-mulus’ saja, tanpa pernah mendapatkan ujian berat dalam hidupnya. Masa kecilnya bahagia, sampai kepada kehidupan dewasanya, bahkan sampai matinya pun selalu terlihat bahagia-bahagia saja.
Sementara itu, kita yang sudah merasa bersusahpayah untuk membuat hidup kita menjadi lebih baik, merasa kecerdasan intelektualitas kita sudah cukup, merasa bakat dan kemampuan kita sudah mumpuni, sekolah sampai tingkat akademik yang paling tinggi, ikut pelatihan sana-sini, kerja keras banting tulang setiap hari, rela dibentak-bentak oleh atasan demi tetap dapat bekerja, tetapi hidup kita terasa begitu-begitu saja.
Ya, itulah yang namanya keberuntungan (luck). Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita yang tidak seberuntung ‘si anak presiden’ atau tidak seberuntung orang lain, harus menyalahkan mereka yang beruntung tersebut, atau harus merasa iri kepadanya? Jawabannya pasti tentu tidak.
Mengapa demikian? Karena setiap manusia yang telah Allah Ta’alla hadirkan ke dunia, sudah memiliki garis takdir, garis nasib, termasuk garis keberuntungannya sendiri-sendiri.
Dan semua takdir, nasib, serta keberuntungan tersebut bukanlah sesuatu yang harus diperlombakan untuk mendapatkannya, karena hidup itu sendiri sejatinya bukanlah sebuah perlombaan. Namun tentu saja, takdir, nasib, dan keberuntungan hidup masing-masing manusia, tetap menjadi hal yang harus diperjuangkan dalam koridirnya masing-masing, agar kehidupan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut laporan penelitian yang dikeluarkan oleh Scientific American pada tahun 2018, orang yang punya bakat, keterampilan, sampai kecerdasan, tidak selalu menjamin untuk mendapatkan kesuksesan dalam kehidupannya. Bahkan para ilmuwan mempercayai kalau hal yang paling berperan paling besar dari itu semua adalah karena adanya faktor “keberuntungan” itu tadi.
Bahkan seorang psikolog dari University of Yale, Scott Barry Kaufman, dalam penelitiannya yang mempelajari karakteristik psikologis yang dapat memengaruhi kesuksesan seseorang, menyimpulkan bahwa keberuntungan mempunyai peran yang penting dalam mencapai kesuksesan.
Dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Talent vs Luck” (Antara Bakat ‘Melawan’ Keberuntungan): The Role of Randomness in Success and Failure (2010), Kaufman menyebutkan bahwa:
“Beberapa bakat memang diperlukan untuk sukses. Namun, banyak orang berbakat cenderung dikalahkan individu dengan bakat biasa saja tapi punya banyak keberuntungan,” tulisnya dalam abstrak penelitiannya.
Studi Kauffman tersebut juga menyimpulkan bahwa, bakat dan kecerdasan saja jelas tidak cukup untuk menjamin seseorang meraih kesuksesan. Secara umum, orang yang justru terlihat biasa-biasa aja, bahkan menurut kita ‘cupu’, tetapi mempunyai keberuntungan yang lebih dari kita, bisa jadi lebih sukses dibanding mereka atau kita yang memiliki bakat dan kecerdasan yang lebih, tetapi tidak memiliki keberuntungan.
Tentu saja, keberuntungan yang dimaksud oleh Kauffman dalam hal ini, diartikan kepada keluarga yang kaya, kekuasaan yang besar, koneksi yang luas, lingkungan yang mendukung, atau hal lainnya, yang bersifat materialisme semata. Ya, seperti keberuntungan yang dimiliki oleh ‘si anak presiden’ itu tadi.
Tetapi yang menjadi permasalahan adalah, apakah kita harus melihat arti ‘keberuntungan’ itu dari kacamata materialisme saja? Sebagai pribadi yang masih memiliki agama dan Tuhan, tentunya kita tidak bisa melihat segala sesuatunya hanya dari sisi fisik dan materialisme saja. Masih ada sisi nilai yang terkandung di dalam setiap segala sesuatunya.
Keberuntungan Versi Langit
Tentu saja, memandang sesuatu hal dari sisi materialisme penting bagi kita sebagai manusia, karena kita sebagai manusia adalah makhluk yang berwujud secara materi. Namun jauh lebih penting jika kita sebagai manusia melihat segala sesuatunya dari sisi nilai yang terkandung di dalam segala sesuatunya, karena kita sebagai manusia, juga adalah makhluk yang memiliki jiwa dan perasaan.
Keberuntungan yang didapatkan oleh setiap manusia, tidak selamanya berwujud dalam bentuk kesuksesan materialisme duniawi, atau jabatan-jabatan tinggi, atau bentuk-bentuk fisik lainnya.
Allah Ta’alla telah memberikan petunjuk-Nya kepada kita sebagai muslim, dan sebagai manusia yang masih percaya kepada-Nya, tentang apa itu makna keberuntungan yang sebenarnya.
Ada beberapa kategori yang telah Allah Ta’alla jelaskan di dalam Al Qur’an tentang apa arti keberuntungan yang sebenarnya tersebut. Tentu saja, keberuntungan yang terbesar yang bisa didapatkan oleh manusia sebagai hamba-Nya adalah syurga-Nya kelak (Q.S. Al-Hasyr : 20).
Dalam sebuah rilis yang diturunkan oleh situs Qur’anpedia.org, sejatinya, ada 27 ayat di dalam Al Qur’an yang menerangkan tentang makna keberuntungan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat nanti, yang bisa diusahakan oleh manusia, yaitu:
1. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-Baqarah : 5)
2. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah : 189)
3. Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-A’raaf : 8)
4. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-A’raaf : 157)
5. Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Anfaal : 45).
6. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (Q.S. Al-Hasyr : 9)
7. Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-Hasyr : 20).
8. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu’ah : 10).
9. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (Q.S. Al-Mu’minuun : 1).
10. Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. (Q.S. Al-Mu’minuun : 117)
11. Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (Q.S. Al-Mujaadilah : 22)
12. Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang saleh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-Qashash : 67)
13. Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).” (Q.S. Al-Qashash : 82)
14. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran : 104)
15. Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran : 200)
16. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Q.S. An-Nahl : 116).
17. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An-Nuur : 31).
18. Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. An-Nuur : 51).
19. Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung. (Q.S. Ar-Ruum : 38).
20. Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. At-Taghaabun : 16)
21. Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. At-Taubah : 88).
22. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Luqman : 5).
23. Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayatNya? Sesungguhnya, tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa. (Q.S. Yunus : 17).
24. Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung.” (Q.S. Yunus : 69)
25. Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. (Q.S. Yusuf : 23)
26. Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. (Q.S. Al-Mu’minuun : 102).
27. Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maa’idah : 100)
Dengan demikian, setelah kita mengetahui perbedaan makna keberuntungan versi Barat atau makna keberuntungan versi paham materialisme, dengan makna keberuntungan versi Allah Ta’alla, maka sejatinya kita dapat menilai diri kita sendiri sebagai manusia, apakah kita sudah termasuk manusia yang beruntung atau manusia yang masih merugi?
Tetapi sebelum itu, yang pasti kita harus menilai diri kita terlebih dahulu, apakah kita manusia penyembah materialisme atau manusia penyembah Tuhan, Allah Ta’alla? Wallahu ’allam bisshowab.[]
Comment