Dua Kata Realistis dari Mahasiswa Indonesia

Opini65 Views

 

 

Penulis: DR. H. J. Faisal | Pemerhati Pendidikan dan Sosial | Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor | Anggota PJMI

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Akhirnya para mahasiswa melontarkan kata-kata yang memang sepatutnya diluapkan oleh rakyat Indonesia karena kekecewaan mendalam atas sekaratnya nilai-nilai demokrasi di tanah air.

Terbukti, dengan mata telanjang rakyat Indonesia pejabat negara dan lembaga kehakiman yang kini sedang berkuasa di negeri ini yang justru mematikan nilai-nilai demokrasi tersebut.

Seharusnya mereka memegang kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat Indonesia untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi yang luhur demi keberlangsungan kehidupan dan tegaknya harga diri bangsa dan negara.

Ya, keluar juga kata ‘jijik’ dan ‘najis’ yang dilontarkan oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM), Gielbran Mohammad.

Laman tempo.id Jum’at 1 Desember 2023, menulis bahwa Gielbran menolak narasi yang mengklaim bahwa Wali Kota Solo itu adalah perwakilan seluruh pemuda Indonesia dan merepresentasikan aspirasi suara pemuda.

Gibran Rakabuming Raka lolos pencalonan wakil presiden di tengah polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia calon presiden dan wakil presiden. Namun, anak sulung Presiden Jokowi itu lantas diklaim sebagai representasi anak muda dalam jalur politik.

“Kami jelas tidak mau, untuk seorang anak, yang bahkan anak seorang Presiden itu diklaim sebagai perwakilan seluruh pemuda di Indonesia,” kata Gielbran Mohammad di sela aksi, Rabu, 29 November 2023.

“Kami tidak terima atas klaim itu, sebagai anak muda kami justru jijik. Apa yang dijalankan Presiden Jokowi dengan Gibran itu bagi kami justru hal paling najis dalam sistem demokrasi yang kita anut,” ucap Gielbran menambahkan.

Aksi Mimbar Kerakyatan tersebut dilakukan oleh aktivis perwakilan BEM dari beberapa kampus. Diantaranya adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia (UI), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, hingga Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM).

Gielbran juga menjelaskan hal yang membuat kalangan mahasiswa jijik atas majunya Gibran sebagai cawapres, adalah karena di berbagai daerah dibanjiri dengan baliho-baliho ukuran besar namun dengan gagasan kecil.

Jadi, pemuda – kata Gielbran tetap bukan sebagai subyek tapi tetap objek dalam pemilu ini karena yang disasar mereka hanya jumlah suara saja

Selama ini saya mengira, jika saya menggunakan kata-kata ‘jijik’ dan ‘najis’ sebagai tanggapan saya atas tingkah laku ‘gerombolan’ pemerkosa konstitusi Indonesia yang sah tersebut, saya akan merendahkan harga diri saya sendiri.

Tetapi ternyata tidak demikian. Karena menurut saya kata ‘jijik’ dan ‘najis’ tersebut rasanya memang cukup sepadan diberikan atas tingkah laku para ‘gerombolan’ tersebut, sebagai tanggapan atas dinamika demokrasi yang sangat memalukan dan mencoreng nilai-nilai demokrasi yang selama ini dibangun dengan susah payah, bahkan dibayar dengan nyawa para mahasiswa itu sendiri ketika proses reformasi 25 tahun yang lalu.

Sejujurnya, saya bisa merasakan bagaimana rasa jijiknya para mahasiswa Indonesia tersebut menghadapi proses demokrasi bangsa yang saat ini memang menjijikan, apalagi ketika mereka menginjak awal usia dewasa saat ini.

Ya, demokrasi yang ada di alam reformasi selama 25 tahun terakhir ini, yang seharusnya sudah terbangun dengan kokoh dan berkualitas, sejak para mahasiswa tersebut masih di dalam kandungan ibu mereka, ternyata menjadi momok yang menakutkan bagi mereka ketika mereka lahir dan mulai beranjak dewasa saat ini.

Mereka yang kini menjadi ‘masa depan’ dari nilai-nilai reformasi yang terus dibangun sejak 25 tahun yang lalu tersebut, ternyata malah mendapatkan masa depan yang suram di waktu sekarang. Ya, waktu dimana bangsa ini seharusnya sudah selesai dengan urusan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Waktu di mana seharusnya rakyat Indonesia sudah dapat menikmati hasil dari gerakan reformasi yang ‘indah’.

Alih-alih mendapatkan masa depan yang cerah, ternyata yang mereka dapatkan adalah masa depan demokrasi bangsa Indonesia yang justru dinodai oleh para pemimpin dan pejabat negara, bahkan oleh para tokoh tua reformasi itu sendiri, sehingga para mahasiswa tersebut berani mengkategorikannya seperti najis yang menjijikkan atas praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme para ‘gerombolan’ tersebut.

Saya sebagai generasi yang mengalami langsung kejadian reformasi di tahun 1998 yang lalu, rasanya miris juga melihat adik-adik mahasiswa yang ada sekarang, karena mereka mendapatkan masa depan yang sangat tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh gerakan reformasi bangsa ini, sejak 25 tahun yang lalu.

Hidup memang selalu dihiasi dan penuh dengan perjuangan. Memang banyak penyesalan yang tersirat dan tersurat dari benak seluruh rakyat Indonesia atas kegagalan penanaman nilai-nilai reformasi dan nilai-nilai demokrasi dalam berbangsa dan bernegara selama ini. Tetapi ya itulah yang namanya penyesalan memang selalu ada di belakang, sebab jika adanya di depan, itu namanya pendaftaran.

Tetapi saya ingin berpesan kepada adik-adik mahasiswa Indonesia yang sekarang sedang berjuang untuk membuat nilai-nilai demokrasi Indonesia menjadi lebih baik ke depan. Teruslah berjuang dengan penuh keikhlasan, kecerdasan, dan kecerdikan strategi. Jangan sampai ‘masuk angin’ dengan segala macam godaan materi, ‘suap’. Jangan takut dengan segala ancaman yang pasti akan datang.

Perjuangkanlah nilai-nilai reformasi, nilai-nilai transformasi, dan nilai-nilai demokrasi bangsa yang sesuai dengan jalur sebenarnya, agar tidak menjadi momok yang menjijikkan bagi kalian, dan juga bagi anak-anak kalian, sebagai representasi masa depan kalian kelak, dan pastinya juga bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jangan sampai bangsa dan anak-anak kalian kelak, merasakan ‘najis’ yang sama, seperti yang kalian dan seluruh rakyat Indonesia rasakan saat ini. Wallahu’allam bisshowab.[]

 

Comment