RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dengan dalih untuk mendukung berbagai kegiatan penanggulangan pandemi Covid-19, Presiden Jokowi menambah utang dengan jumlah yang cukup besar yaitu Rp 24,5 triliun dalam waktu yang relatif berdekatan, tak sampai dua minggu.
Utang itu berasal dari pemerintah Australia sebesar 1,5 miliar dollar Australia atau setara dengan 15,45 triliun (kurs Rp 10.300). Dan dari pemerintah Jerman senilai 550 juta Euro atau setara dengan Rp 9,1 triliun.
Berkaitan dengan pinjaman dari Pemerintah Australia ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan “Dengan ini, kami tidak hanya bisa membantu masyarakat, menangani covid-19, membantu pelaku usaha, UMKM, namun juga yang terpenting menjaga keamanan dan keberlanjutan fiskal.” (KOMPAS.TV).
Berkaitan dengan hutang ini, Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Rizal Ramli berujar, Indonesia mulai kembali menumpuk utang dari pinjaman bilateral setelah sebelumnya banyak menarik utang dari obligasi. Nampaknya pemerintah telah gelap mata, apapun permasalahan keuangan, utang menjadi solusi pamungkasnya.
Pemerintah sudah tak mampu menggenjot penerimaan APBN dari pajak atau penerimaan non pajak semisal migas. Dan jika utang ini terus dibiarkan maka rakyat juga yang harus menanggung beban pembayarannya melalui berbagai macam pungutan pajak. Sebab utang yang ditumpuk adalah utang negara, bukan utang pribadi Pak Jokowi.
Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia terus meningkat. Hingga Agustus 2020 saja posisinya sudah mencapai 413,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 6.076,9 triliun (dengan kurs Rp 14.700).
Jika kita cermati, sesungguhnya utang yang menumpuk ini, bukan karena negara tidak memiliki sumber pemasukan lain. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam baik berupa migas, hutan, laut, dan berbagai macam barang tambang lainnya.
Tapi akibat dari salah kelola terhadap kekayaan tersebut, menjadikan Indonesia seolah tak memiliki solusi dalam menyelesaikan masalah keuangan kecuali dengan berutang.
Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatangan kontrak karya (KK) generasi 1 antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran.
Disusul dengan UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif.
Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemilik modal. Lahirnya UU Minerba atau OMNIBUSLAW beberapa waktu lalu membuktikan hal ini.
Dengan kemudahan regulasi yang diberikan negara, kekayaan alam Indonesia yang demikian melimpah jatuh pada para pemodal besar. Merekalah yang menikmati kekayaan yang berlimpah itu.
Sebagai contoh pada tahun 2009 saja keuntungan PT Freeport Indonesia adalah 4,074 miliar dolar AS, sedang penerimaan negara melalui pajak dan royalti hanya sekitar 1,7 miliar dollar AS, jauh lebih kecil dari keuntungan PT Freeport Indonesia. Saat ini meski pemerintah mengklaim telah mengambil alih 50% lebih saham Freport toh masih debatable.
Kesalahan pengelolaan kekayaan alam yang berlimpah karena Indonesia memilih sistem ekonomi kapitalis dan demokrasi yang telah pincang.
Pemerintah baik di masa orde baru, era reformasi hingga saat ini begitu mudah menyerahkan kekayaan alam Indonesia kepada pihak asing, melalui berbagai produk Undang-undang seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal Asing dll.
Semua produk Undang-undang tersebut membuka peluang kepada swasta dan asing untuk menguasa dan menikmati kekayaan alam Indonesia yang berlimpah.
Oleh sebab itu, perlu mencari formulasi pengelolaan kekayaan alam yang berlimpah ini agar bisa dioptimalkan untuk pembiayaan negara dan kesejahteraan masyarakat.
Islam meberikan solusi, bagaimana mengelola sumber daya alam yang melimpah. Secara empiris sistem ekonomi Islam terbukti mampu memberikan kesejahteraan, bukan hanya pada penduduk suatu negara tapi merata ke seluruh negara di dunia yang pernah menjalin hubungan dengan negara Islam saat itu.
Dalam pandangan Islam, hutan, air dan energi adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput dan api” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah).
Pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based mnagement) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya wajib dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk.
Pengelolaan negara terhadap sumber daya alam ini menghasilkan dua keuntungan sekaligus. Partama, hasil pengelolaannya menjadi sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Kedua, negara bisa berlepas diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Sebagai ilustrasi, dalam perubahan postur APBN 2020 diperkirakan pos belanja akan naik akibat pandemi covid-19 menjadi Rp 2.613.8 triliun. Ini seharusnya bisa ditutupi dengan kekayaan alam Indonesia.
Menurut pengamat energi, Kurtubi, diperkirakan nilai cadangan minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, perak dll, dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru lagi, nilainya sekitar Rp. 200.000 triliun (Kemenkeu, 30/1/2014).
Bila 5 % dari Rp.200.000 triliun itu diuangkan dan dikelola dengan baik dan terditribusi secara adil maka jumlahnya akan mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, baik sandang, pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan dan keamanan, sehingga tidak perlu menambah utang baru. Bahkan bisa melunasi hutang dan pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia.
Sistem ekonomi islam terbukti secara empiris mampu mensejahterakan rakyatnya pada masa lalu. Maka jika Indonesia ingin sejahtera dan terlepas dari jeratan hutang , tidak ada pilihan lain kecuali dengan meninggalkan sistem ekonomi kapitalis dan mengambil sistem ekonomi Islam dan sistem kenegaraan Islam sebagai gantinya.
Dengan politik ekonomi Islam, kekayaan alam Indonesia akan menjadi pos penerimaan negara yang sangat besar. Ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang di mana pos penerimaan APBN justru di dominasi oleh pajak dan utang. Hasil kekayaan alam justru dinikmati oelh swasta baik lokal atau asing, sedangkan rakyat tetap menderita. Negara pun terjebak dalam kubangan utang.
Lalu masihkah kita akan mempertahankan sistem ekonomi kapitalis yang terbukti tidak amanah dalam mengelola sumber daya alam, atau kita campakkan sistem yang rusak ini dan mengambil sistem islam yang shoheh? Wallahu a’alam bi showab.[]
Comment