RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — “Dokumen berjudul “Pakta Integritas” yang telah beredar di kalangan mahasiswa baru UI bukan merupakan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan Pimpinan UI,” kata Kepala Biro Humas dan Komunikasi Informasi Publik Universitas Indonesia (KIP UI) Amelita Lusia dalam keterangan resmi, Minggu (13/9/2020) malam.
Namun, di saat yang sama, beliau memberi keterangan yang membenarkan adanya berkas pakta integritas yang menjadi salah satu syarat wajib yang mesti dipenuhi oleh calon mahasiswa baru dimulai pada tahun ajaran kali ini.
Adanya sikap yang terkesan plin plan tersebut, membuat resah sebagian sivitas akademika UI di antaranya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI dan tentu saja masyarakat luas. Bagaimana tidak, jika kita telisik lebih jauh poin-poin yang ada dalam pakta integritas tersebut, maka terlihat bahwa ada tiga poin utama yang menjadi sorotan yakni poin 9, 10, dan 11 dari 13 poin yang ada.
Poin 9 berbunyi, “Siap menjaga kesehatan fisik dan mental serta bertanggung jawab secara pribadi jika di kemudian hari mengalami gangguan kesehatan fisik dan/atau mental.” Poin 10 berbunyi, “Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara.” Pasal 11 berbunyi, “Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasisiwaan yang tidak mendapat izin resmi pimpinan fakultas dan/atau pimpinan UI” (Jakarta, KOMPAS.com, 14/9/2020).
Menindaklanjuti kontroversi yang terus berkembang, terutama penolakan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, akhirnya pihak kampus merubah redaksi pakta integritas menjadi surat pernyataan.
Selanjutnya, merubah dari 13 poin menjadi 10 poin saja. Namun poin yang dikritisi banyak pihak, masih tetap tercantum, walau beberapa redaksi mengalami perubahan.
Apapun istilahnya, faktanya konten dalam dokumen tersebut adalah upaya memberangus kesadaran politik mahasiswa. Hal ini tentu sangat berbahaya, sebab akan menjadi alat legalitas dalam menindak mahasiswa sampai pada tahap pemberhentian atau Drop Out.
Jika dianalisis lebih jeli, akan kita temukan poin-poin yang terkesan multitafsir dan mengebiri kebebasan berpendapat di mimbar-mimbar akademik. Misal, larangan berpolitik praktis. Pun, tak ketinggalan isu radikalisme dan terorisme masih tetap menjadi “jualan” rezim hari ini. Kesemua perkara tersebut dikhawatirkan akan bermuara pada lahirnya generasi yang apatis, apolitis, dan berpikir pragmatis.
Padahal sejatinya, kebebasan berpendapat adalah salah satu kebebasan yang dilindungi oleh Undang-Undang di alam demokrasi. Terlebih di dunia kampus, tersebab insan kampus adalah insan intelektual yang sudah matang dari aspek akademis dan psikologis.
Namun kini, kondisi dunia pendidikan tak terkecuali dunia kampus, terlihat sangat dibatasi untuk mengekspresikan idealismenya. Bahkan, tak jarang dari mereka yang akhirnya dipidanakan dengan alasan yang tidak jelas atau dibuat-buat. Sungguh Ironi!
Mahasiswa, Agent of Change
Agen perubahan (Agent of Change) yang disematkan kepada mahasiswa, kini hanya sekadar istilah yang tak bermakna. Pasalnya, dunia kampus saat ini terkesan “tidak merdeka” lagi dan bahkan bisa dikatakan otoriter.
Fakta-fakta yang terjadi beberapa tahun belakangan, mengindikasikan akan hal tersebut. Pemberhentian dosen dan mahasiswa di beberapa Perguruan Tinggi terus terjadi hingga hari ini, dengan berlindung di balik narasi radikalisme yang berstandar ganda. Idealisme mahasiswa terpasung oleh aturan-aturan kampus yang seolah-olah dibuat untuk melindungi pihak-pihak tertentu.
Sangat disayangkan, kampus yang seyogianya steril dari berbagai kepentingan, kini dijadikan sasaran politik bernegara. Mahasiswa sebagai insan intelektual yang merdeka berpendapat, dimandulkan idealismenya dengan adanya pakta integritas atau surat pernyataan tersebut.
Inilah hasil pendidikan berbasis sekuler kapitalis, meniscayakan perkara tersebut berlaku. Olehnya itu, dibutuhkan sistem pendidikan alternatif yang bisa melahirkan generasi mumpuni dan mampu memimpin peradaban pada zamannya.
Mari menengok sejarah peradaban Islam dengan kegemilangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang tak terbantahkan. Terbukti selama 1300 tahun melahirkan generasi-generasi yang ahli dalam sains dan fakih dalam agama. Seperti kesaksian Briffault, seorang sejarawan berkebangsaan Amerika mengatakan, “Tidak satupun kemajuan peradaban di Eropa kecuali secara meyakinkan dan pasti telah mengambil dari kemajuan peradaban Islam.”
Keunikan sistem pendidikan Islam terletak pada asasnya yakni akidah Islam di mana negara sebagai pelaksana seluruh urusan rakyat, men-support penuh kebebasan berpendapat selama dalam koridor syariah.
Rakyat diberikan ruang untuk mengoreksi penguasa, termasuk dalam hal kebijakan pendidikan di kampus-kampus, bahkan merupakan suatu kewajiban.
Sungguh tak diragukan lagi, sistem yang berasal dari zat Yang Mahabaik adalah sistem terbaik untuk semua manusia, tak terkecuali sistem pendidikan. Wallahua’lam bishshowab.[]
*Dosen dan Pemerhati Sosial
Comment