RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Setelah Gerakan Kebangkitan Indonesia yang dikomandoi Jenderal Djoko Santoso, termasuk tokoh legendaris Malari Hariman Siregar, dideklarasi 7 Januari 2018, issu hangat yang muncul adalah “Quo Vadis Amandemen Kelima?”. Itu menjawab “Kembali ke UUD 1945 asli” via Amandemen Kelima untuk menghambat penghancuran lebih lanjut NKRI oleh UUD 2002.
Segera terjadi keanehan di MPR. Yaitu, UU MD3 dirombak untuk menambah 5 wakil ketua menjadi 7 wakil ketua, 1 ketua. Yaitu Ahmad Basarah (F-PDIP), Muhaimin Iskandar (F-PKB), dan Achmad Muzani (F-Gerindra). Dengan sebelumnya, Zulkifli Hasan (F-PAN), EE Mangindaan (F-PD), Hidayat Nurwahid (F-PKS), Mahyudin (F-PG), dan Oesman Sapta Odang (F-DPD). Total 8 jabatan, 1 ketua, 7 wakil ketua.
Ini soal kinerja MPR atau semata kekuasaan? Kalau voting di MPR untuk impeachment jelas Presiden Jokowi bertambah vitaminnya. Sebab dari tiga yang masuk, dua ke Jokowi, yaitu Basarah dan Cak Imin. Sedang Muzani oposisi, ke Prabowo Subianto. Bisa jadi gejala impeachment menguat karena kegagalan systems rezim Presiden Jokowi menjadi-jadi belakangan selain tingkah Presiden yang kian aneh-aneh dan lucu-lucu, sementara kegagalan ekonomi semakin parah.
Janji-janji kampanye pilpres jelas tak mungkin lagi dipenuhi karena rezim selesai 2019. Masalahnya, jika janji contract social Hobbes itu luput, ia berubah dusta, dan Presiden Clinton diimpeach bukan karena spong dengan Monica Lewinsky, melainkan karena berdusta. Masalah dustanya Presiden Jokowi karena sambung menyambung, continuously itu melanggar sumpah presiden.
Atau, jika reposisi MPR bukan itu, untuk kepentingan publik. Yaitu melancarkan progress percepatan persiapan pelaksanaan Amandemen Kelima. Program tunggal yang gagal dilaksanakan oleh rezim Zulkifli Hasan.
Tentu berbiaya sangat mahal. Program sosialisasi 4 Pilar saja, memakan sekitar Rp 1 triliun per tahun. Hasilnya tak terasa. Sejak putusan MK yang membatalkan 4 pilar, karena mengacau konstitusi, program itu dijalankan antara ada tiada, tapi biayanya tak berkurang. Karena itu praktis MPR Zulhasan, hanya memiliki program tunggal. Ya itu, Amandemen Kelima. Habis, menunggu impeachment tak datang-datang, padahal Zulhas dijagai Amien Rais 24 jam agar tak menyeberang.
MPR membentuk tim pengkaji Amandemen Kelima, lebih realistik. Dari situ lahir istilah “perubahan terbatas”, istilah yang sesungguhnya ialah arti etimologis kata “amendemend”. Amandemen = perubahan terbatas! Sudah begitu dari sononya.
Dari tiga calon ketua baru MPR itu, hanya Ahmad Basarah yang cukup paham konstitusi. Tapi paradigmanya berbahaya. Lihat saja disertasi Basarah yang diuji hakim MK. Basarah penganut Pancasila 1 Juni 1945, bukan Pancasila 18 Agustus 1945 yang diabsah sehari setelah Proklamasi sebagai The Bill of Rights. Basarah juga tak menganut strukturalisme norma, sehingga urutan norma Pancasila tak penting.
Basarah harus diselundupkan ke MPR melalui perubahan UU MD3 yang kini in process. Akibat perubahan itu, wakil ketua DPR juga bertambah menjadi 5 dengan masuknya Utut Ardiyanto menjadi wakil ketua DPR. Grand master catur itu kini adalah ketua F-PDIP.
High cost politik tak bisa dihindari. Harus menambah sarana: ruang kerja, rumah dinas, mobil dinas, ajudan, aspri, tunjangan, etc, padahal tinggal dua tahun, efektifnya cuma setahun kekuasaan Jokowi. Publik biasanya ramai karena costing, bukan karena kegagalan MPR melaksanakan Amandemen Kelima.
Komen Ahmad Yani, Anggota Komisi Hukum DPR, 2009 – 2014, dengan fungsi dan kewenangan MPR yang sekarang mestinya wakil ketua MPR justru harus dikurangi, cukup 2 atau 3 orang saja Bukan malah ditambah. Kecuali MPR sebagai lembaga tinggi dan tertinggi negara, di mana MPR memiliki kekuasaan sebagaimana diatur UUD 1945 sebelum perubahan.
Quo Vadis Amandemen Kelima?
John P. Wheeler, Jr pada “Salient Issues of Constitutional Revision” dalam “Changing the Fundamental Law”, membedakan amandemen (amendmend) konstitusi dengan revisi (revision) konstitusi (Naskah Akademik, Perubahan Kelima UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kelompok DPD Di MPR RI, Februari 2011).
Ini harus dijelaskan berulangkali sebagaimana dimintakan Jenderal Prijanto, Ketua Pelaksana Gerakan Bangkit Indonesia ke saya.
Pada Metode Perubahan, Naskah Akademik DPD RI, Wheeler mendefinisikan, amendment adalah “perubahan dalam lingkup terbatas. Yaitu hanya “mencakup satu atau sejumlah terbatas aturan-aturan dalam sebuah konstitusi”, sedangkan revision didefinisikan sebagai “menimbang ulang” (reconsideration), keseluruhan atau sebagian besar dari sebuah konstitusi”.
Menurut Naskah Akademik DPD RI ini, konsep reformasi konstitusi yang disebut amandemen mengikuti Wheeler adalah representasi Amerika Serikat. Sedangkan cara revisi dilakukan oleh Perancis.
Indonesia menurut Naskah Akademik ini, Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat adalah cara revisi. Tapi dideklarasikan sebagai format amandemen. Yaitu mencampur adukkan model Amerika (amendment) dengan model Perancis (reconsideration) dalam definisi Wheeler.
Memang belum ada nama metodologi campurannya. Jadi salah di nama, yang memakai istilah amandemen, padahal yang dilakukan adalah reconsideration (revisi).
Dalam ilmu hukum, metodologi sangat penting. Model campuran (mixed model), jarang sukses. Yaitu mengoplos Civil Law (Eropa Continental Law – Perancis, Jerman, Belanda) dengan Common Law (Anglo Saxon Law – Amerika Serikat dan Inggris, British Law). Tercatat UNTOC (Palermo, 1999) dan UNCAC (Mexico, 2003) adalah mixed system model antara Civil Law dioplos dengan Common Law. Tak satupun yang sukses dilaksanakan dari 5 kasus korupsi kejahatan transnasional yang ditangani hukum Indonesia.
Menurut Naskah Akademik DPD RI, Amandemen Kelima masih akan memakai model campuran Amerika dengan Perancis. Penyebutan frasa Perubahan Kelima menunjukkan diadopsinya model Amerika, sedangkan subtansi perubahan komprehensif, menunjukkan model Perancis.
Alasannya, model opplosan dipilih karena sistem revisi untuk melahirkan UUD baru, sulit dilakukan karena masih kuatnya hubungan emosional dengan UUD 1945. Dengan demikian, kata Naskah Akademik ini, format metode perubahan tetap Addendum, melanjutkan pola sebelumnya. Untuk yang terakhir ini, menurut saya, tidak akurat. Sebab, pada Konstitusi 1999 – 2002, tak ada Addendum yang disyaratkan.
Ciri khas metodologi amandemen adalah adanya Addendum. Karena pentingnya, Addendum harus dibunyikan. Seluruh perubahan ditaruh dalam Addendum. Sedangkan naskah asli harus dilindungi, dan sepanjang Addendum tidak efektif, naskah asli berlaku efektif.[Nicholas]
Comment