Djoko Edhi Abdurrahman: Urus Tax Poverty Mister Presiden

Berita526 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA = Presiden
Jokowi dan rezimnya, mau-tak-mau harus melakukan focusing management
CSR (Corporates Social Responsibility). Jika tidak, orang miskin itu
akan menjadi jargon perlawanan Pribumi kepada Cina. Suara perlawanan
Pribumi kian kencang ketika pemihakan rezim Jokowi terus menerus ke
Cina, dan rezim umumnya terjungkal oleh jargon orang miskin.
CSR
itu bukan dari orang Cina untuk orang Cina, bukan dari orang Pribumi
untuk orang Pribumi. Melainkan dari Cina kepada orang miskin, dari
Pribumi kepada orang miskin. Hanya CSR satu-satunya instrumentalia yang
diwariskan sosialisme di dalam kapitalisme. 
Cina
mau selamat? Urus dengan benar CSR! Kalau Pribumi tak selamat, memang
sudah begitu sejak kemerdekaan. Pribumi perlu dimerdekakan, khususnya
orang miskin. Cina tak perlu diselamatkan karena Cina memang belum
pernah terjajah sejak 300 tahun silam hingga kini (kecuali Cina
Singkawang, Kalbar).
Koordinator pengerahan CSR
dari perusahaan Cina, adalah Tommy Winata. Tetapi yang datang ke Artha
Graha, Ormas, parpol, dan sejenisnya. Sejak kapan ormas, parpol, dan
sejenisnya menjadi orang miskin? Itu salah sasaran. Mereka kelas
menengah, bukan orang miskin.
Penyimpangan CSR Teman Ahok
Sebelumnya
saya menulis asal usul CSR. Saya sitir petikannya. Bahwa terbukti dana
CSR digunakan Teman Ahok untuk kampanye Ahok. Penggunaan CSR demikian
bukan saja korup, juga unusual behavior of the firm dalam disiplin
ekonomi.
CSR muncul tahun 1990 an di Indonesia
berasal dari dialog antara John Maynard Keyns (pengemuka Mazhab Ekonomi
Tangan Terlihat) dengan Milton Friedman (pengemuka Mazhab Ekonomi
Harapan Rasional). 
Keduanya bersumber dari
mazhab Neo Classic Adam Smith, pencipta Kapitalisme (hukum pasar).
Bertanya Keyns kepada Friedman, “Siapa yang bertanggung jawab terhadap
masyarakat yang tersingkir dari pembangunan oleh system kapitalisme?”
Menjawab
Friedman, “Kapitalisme itu sendiri”. Bertanya lagi Keyns, “Bagaimana
caranya?” Dijawab lagi oleh Friedman “Pajak Negatif”.
Pajak
Negatif inilah yang kini disebut CSR (pertanggung jawaban dampak sosial
dari korporasi atas pelaksanaan system kapitalisme).
Akhir
tahun 1980 Presiden Soeharto membuat ujicobanya mengumpulkan perusahaan
terbesar bernama Kelompok Jimbaran dan Prasetya untuk menerbitkan Pajak
Negatif.
Sasarannya adalah masyarakat yang tersingkir dari pembangunan yang dalam teori Ilmu Ekonomi 
Pembangunan
disebut “development trap”. Yakni masyarakat yang terjebak oleh
pembangunan. Yaitu masyarakat yang dimiskinkan oleh kegiatan pembangunan
oleh sistem kapitalisme. 
Mereka dibantu
dengan Pajak Negatif, yaitu laba perusahaan yang penerbitannya tidak
mempengaruhi harga (pasar) sehingga mampu menolong orang miskin
tersebut.
Pembahasan CSR meningkat di seluruh dunia sejak 1990 menjadi metodologi ekonomi pembangunan guna menanggulangi development trap.
CSR
untuk Yayasan Teman Ahok, adalah penyimpangan. Dana itu bukan untuk
orang kaya. Dana itu untuk orang miskin. Mestinya Menko Kesra dan Menko
Ekuin menertibkan CSR yang kini malah dinikmati orang kaya. Akibatnya,
yang kaya kian kaya, yang miskin kian melarat.
Pembangunan
pun hanya untuk orang kaya. Lalu kapitalisme dicaci maki. Padahal
Pemerintahnya yang tak becus menjalankan kapitalisme.
Kekecewaan
terhadap praktek kapitalisme oleh rezim dewasa ini menerbitkan gerakan
sosialisme yang beroleh sambutan hangat dari penguasa Beijing, di mana
rezim Jokowi menjadi proxynya.
Secara prinsip,
menurut Masdar Farid Mas’udi, negara sosialisme menitik beratkan kepada
hak sosial ekonomi rakyat. Sedangkan negara kapitalisme menitik beratkan
kewajiban negara (obligation) kepada HAM (hak azasi manusia). 
Karena
ruling party (partai berkuasa) kini adalah PDIP yang jelas sosialis,
logis jika kapitalisme diganti dengan sistem sosialisme. Titik berat itu
membedakan keduanya. Sosialisme lebih cocok bagi Indonesia karena
sosialisme komunal berakar pada Islam maupun adat di Indonesia. 
Mesin Ekonomi Soeharto
Sebagaimana
diketahui Presiden Soeharto mengelola pembangunan dengan cara Trilogi
Pembangunan Nasional. Setelah mengalami perubahan dalam GBHN, susunan
Trilogi itu adalah 1. Pertumbuhan Eonomi, 2. Pemeratan Ekonomi, 3.
Stabilitas Nasional. 
Sebelumnya, stabilitas
pada urutan kedua. Pada awalnya Stabilitas pada urutan pertama. Itulah
gunanya GBHN, negara memiliki blue print, apa yang sudah dicapai, apa
yang belum, sebagai target kerja kabinet.
Duit
pinjaman soft loan, dikelola dengan profesional oleh sebuah mesin
ekonomi yang berisi 166 perusahaan konglomerat. Hanya 14 perusahaan yang
pribumi. 
Lalu labanya, diaggrerator menjadi
tetesan untuk semua orang yang disebut metodologi trickledown effect
(menetes). Cina-cina ini sengaja dibesarkan oleh Soeharto.
Jadi
ada modal pembangunan diserahkan kepada Cina. Yaitu mesin ekonomi tadi.
Dana ini, intangible dan tangible sangat dilidungi oleh Soeharto. Tak
bisa dibawa kabur ke Cina karena hubungan diplomatik telah putus sejak
1965 oleh keterlibatan Cina Daratan dalam pemberontakan PKI. Cina juga
dilarang masuk ke birokrasi, militer, dan politik. Konsesi mereka hanya
ekonomi.
Ketika domino effect masuk Juli 1997,
mesin ekonomi terpukul. Sebagian bangkrut. Namun ketika Soeharto
terjungkal dari kekuasaan, tembok modal di mesin tadi ikut rubuh. Isinya
diibawa kabur Cina dan kepemilikannya menjadi milik Cina tadi. 
Pernyataan
ABRI 1998, ialah 82% kekayaan negara dikuasai kongmerat mesin ekonomi
tadi, dan 64% dari PDB. Bukan main besarnya. Pernyataan ini yang memicu
tragedi 13 Mei 1998 dan membuat Presiden Soeharto lengser 21 Mei 1998.
Tidak
satupun instrumen orang miskin yang dikelola Rezim Jokowi saat ini,
kecuali aggregat return to scale yang tak sukses tadi. Mestinya Menteri
Keuangan Sri Mulyani yang jagoan ekonomi pasar berusaha memahami orang
miskin. 
Yaitu menagih dan mengelola dengan
pruden tanggung jawab korporasi terhadap orang miskin (CSR). Selama ini
tidak dikelola, mau-maunya Tommy Winata kemana dana CSR itu mau ia
berikan. 
Terakhir yang heboh, dana CSR
digunakan oleh Teman Ahok, dan jika Ahok terpilih jadi gubernur akan
dibuat untuk membangun makam Mbah Priok. Gawat. Mau membangun orang
miskin malah membangun makam orang mati. Ngaco Ahok.
Dana CSR itu adalah dana di wilayah Dinas Perpajakan. Wilayah Menteri Keuangan. Namanya saja pajak negatif.  
Jadi,
selain nguber Rp 1.100 triliun di luar negeri, Tax Amnesty, sudah
masanya Dinas Pajak mengurus orang miskin, Tax Poverty. Sama toh.
Ukuran kesenjangan dari rasio gini, tidak memuaskan Faisal Basri. Yang benar menurut Basri, adalah ukuran dari pengeluaran. 
Jika
berangkat dari indikator pengeluaran, jauh lebih heboh daripada rasio
gini. Padahal rasio gini saja sudah di atas 47% untuk kategori 1. Tetapi
hal itu hanya berbasis pada pasal 33 UUD 45.
Bukan
langsung orang miskin. Sama dengan pertambahan nilai aggregasi
 ekuilibrium laju pertumbuhan – tabungan – dan investasi dalam return to
scale (efisiensi pembangunan).
Saat ini, 80%
ekonomi nasional dikuasai Cina. Walau mesin ekonomi Soeharto menguasai
82% kekayaan negara, jauh lebih bagus karena mesin itu sendiri milik
kekuasaan. Sekarang tidak. Tapi kekuasaan yang menjadi milik Cina.
Saya kutipkan tulisan Eddy Junaidi mengenai Cina dan CSR berikut.
Kiprah
China’s Overseas dimulai tahun 1991, dikoordinasi oleh Lee Kuan Yew.
Diadakannya ‘World Overseas China’s Conference’ di Singapura untuk
mengumpulkan pengusaha Cina, dihadiri oleh 800 taipan dari 30 negara
termasuk Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan konvensi Hong Kong 1993,
yang dihadiri 1000 pengusaha besar Cina, dan 40 orang dari Indonesia.
Tercatat
Liem Sioe Liong (Salim Group), Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group),
Mochtar Riady (Lippo), Tan Siong Kie (Rodamas), Ciputra (Ciputra Group),
Usman Admadjaja (Grup Danamon), Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal), Peter
Sondakh (Rajawali), Budi Hartono (Djarum), Sugianto Kusuma (Agung
Sedayu), Trihatma Haliman (Agung Podomoro), Sofyan Wanandi (Gemala), Bob
Hasan (Nusamba Group), William Soerjadjaja (Astra), Susilo Wonowidjojo
(Gudang Garam), Benyamin Setiawan (Kalbe Farma), Murdaya Poo (Berca
Retail Group), Soekanto Tanoto (RGM), Henry Pribadi (Napan Group),
Prayogo Pangestu (Barito Pacific Timber), Joko Tjandra (Mulia), Husein
Djojonegoro (ABC Group), Osbert Lyman (Lyman Group), Samadikun Hartono
(Modern Group), dan lain-lain.
Adapun tokoh
dari para taipan dunia yang paling disegani dari China’s Overseas,
adalah Li Ka-shing sebagai pengusaha terkaya Asia, yang juga investor
Pelindo bekerja sama dengan Grup Kalla.
Soeharto
setelah gagal dengan program ‘Ginandjar Boys’, lalu mencoba dengan
berbagai program UMKM dan Bapak Angkat, namun relatif dianggap tetap
kurang berhasil.
Pertemuan Tapos dan Jimbaran
24
September 1995, Soeharto mengundang puluhan pengusaha Cina di Tapos,
dimana substansi pertemuan adalah menghimbau para konglomerat agar
menyisihkan keuntungannya untuk pengentasan kemiskinan rakyat Indonesia.
Hal ini didasari dengan kekhawatiran dalam hal kesenjangan, karena
Soeharto sudah ingin di pembangunan Indonesia tahap II Orde Baru agar
dalam Trilogi pembangunan, yaitu: pemerataan pembangunan menjadi
prioritas disusul pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional.
Soeharto
sudah bertekad membawa Indonesia ‘lepas landas’ karena sudah menjadi
salah satu Macan Asia (1992), sebanding dengan Korea Selatan, Singapura,
India, Thailand, dan Malaysia, sehingga negara BRICS (Brazil, Rusia,
India, Cina, dan South Africa) sudah melihat. Jika berkembang, Indonesia
adalah target persekutuan berikutnya untuk mengimbangi keberadaan G20
dunia dengan negara berkembang.
Pada pertemuan
Tapos akhirnya Soeharto memaksakan 2,5% menjadi skema CSR (Corporate
Social Responsibility) yang kita kenal saat ini. Tercatat ada beberapa
konglomerat yang agak menolak saat itu, seperti Liem Sioe Liong, Sofyan
Wanandi, dan William Soeryadjaya, dengan alasan beban ekonomi
konglomerat sudah besar dengan sistem Bapak Angkat, sekarang disuruh
menyisihkan sebagian lagi hartanya.
Soeharto
marah, khususnya ketika Bank Summa (milik putra William Soeryadjaya)
tidak ditolong, dan saham Astra dijual dengan hostile take over
(pengambilalihan paksa) oleh pengusaha Prasetiya Mulya. Kita mengetahui
bahwa Astra sahamnya blue chip dijual untuk komitmen William membantu
putra tertuanya, Edward Soeryadjaya yang bangkrut. Hal ini sempat dibela
oleh Prof. Soemitro Djojohadikusumo (besan Soeharto dan sahabat William
Soeryadjaya) yang konon membuat hubungan Soemitro dengan Soeharto
memburuk kala itu.
Jika melihat dasar 2,5%,
Soeharto berpikir waktu itu semacam zakat dalam Islam. Apapun, Soeharto
punya rekam jejak, sehingga CSR menjadi keharusan walau masih dari
kantong ke kantong, seperti CSR pendidikan, banyak konglomerat membentuk
yayasan pendidikan, seperti: Lippo (Universitas Pelita Harapan),
Ciputra (Universitas Pembangunan Jaya), Agung Podomoro (Podomoro
University), Bakrie (Universitas Bakrie). Memang konglomerat penuh
akal-akalan, bahkan konon skema CSR direkayasa sebagai sarana pengurang
pajak, seperti halnya biaya promosi bagi perusahaan rokok.
‘Pengusaha
Tapos’ adalah pengusaha-pengusaha yang juga hadir dalam pertemuan
China’s Overseas 1991 di Singapura dan 1993 di Hongkong, di Indonesia
dikenal dengan kelompok ‘Jimbaran’ dan ‘Prasetya Mulya’.
Langkah Strategis China’s Overseas
Substansi
dasar pertemuan China’s Overseas, adalah bagaimana mensinergikan
kekuatan ribuan taipan untuk penguasaan kawasan Asia. Seiring dengan
bangkitnya pemerintah Cina, khususnya setelah 2008 dengan terjadinya
Subprime-Mortgage (American Property Bubble) yang sempat membuat AS
‘oleng’, dan Cina berjaya dalam perdagangan dunia (pasca 2008).
Sindikasi
negara Cina dan taipan China’s Overseas memang unik dan sangat berbeda
dengan AS dan pengusaha Yahudi. Karena taipan Cina lebih guyub,
keperkasaan Cina di perdagangan dunia sangat ditunjang keberadaan
China’s Overseas, seperti keberhasilan Cina menguasai Afrika dengan
skema ‘Turnkey Porject Management’. Dengan skema satu paket: investasi
dengan SDM dari high level management sampai dengan buruh, bahan baku,
teknologi, dan pengelolaan manajemen menjadi satu syarat dalam investasi
dengan negara-negara Afrika, termasuk investasi sebagian proyek
infrastruktur dan properti di Indonesia.
Dalam
setiap peluang Cina akan manawarkan kepada pengusaha-pengusaha swasta
Cina jika BUMN Cina tidak tersedia perusahaan kompetitif di setiap
sektor yang dimasuki. Sebagai contoh, produk Wings (Indonesia) telah
menjadi raja ritel di Afrika. Perusahaan yang dimiliki taipan Indonesia
Eddy William Katuari yang juga salah satu dari 15 orang terkaya di
Indonesia, yang estimasi asetnya saat ini mencapai USD 1,73 miliar atau
setara Rp24 triliun. Saat ini produk-produk Wings di supermarket
negara-negara Afrika seperti produk Unilever di Indonesia.
Sindikasi
pengusaha China’s Overseas dengan keberhasilan Cina menjadi akseleratif
karena saling menunjang. Salah satu kesepakatan antara taipan pada
pertemuan China’s Overseas tahun 1991 adalah membahas disparitas harga
tanah dan properti di Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sesungguhnya tidak rasional karena
daratan Indonesia yang begitu luas tentu wajar saja harganya murah.
Tapi
sikap oportunistik pengusaha Cina dari Indonesia menanggapi positif hal
tersebut, tercatat Agung Podomoro (Trihatma Haliman), Muktar Widjaja
(Sinar Mas), Djan Faridz, Aguan Sugianto Kusuma (Agung Sedayu), Ciputra,
dan beberapa pengusaha properti lainnya, melihat sebagai peluang
memperoleh investasi dari rekan taipan China’s Overseas. Maka
diupayakanlah pemikiran untuk reklamasi pantai utara Jakarta, dan Land
Banking di Jabodetabek. Ciputra lebih dahulu dengan mengundang beberapa
pengusaha mewujudkan Pantai Indah Kapuk (PIK), Pantai Mutiara
(Podomoro), dan beberapa grup properti memenuhi properti mewah di pantai
utara Jakarta (1990-an).
Sebagian melobi
pemerintah untuk dapat diwujudkan reklamasi skala besar. Akhirnya
dorongan dan tekanan segala cara pada era Gubernur DKI Jakarta Fauzi
Bowo (1997–2012) lahirlah kebijakan reklamasi pantai utara, namun karena
ada gugatan, sempat terhenti.
Pada era Joko
Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta (2013), proyek itu terwujud karena
Ahok (Wakil Gubernur) bertindak sebagai operator. Dari rencana 17 pulau
pengembag yang diberi ijin adalah Aguan Sugianto Kusuma (Agung Sedayu)
dan Trihatma Haliman (Agung Podomoro), yang akhirnya diberhentikan
sementara karena melanggar Undang-Undang dan lingkungan hidup.
Dengan
proyek reklamasi ini, tidak satu meter pun rakyat dapat menikmati
pantai utara sepanjang 25,5 km secara gratis. Sungguh ini pelanggaran
konstitusi yang tidak diributkan oleh rakyat Indonesia.
Presiden
Joko Widodo ketika memanggil Rizal Ramli (Menko Maritim), dan Susi
Pudjiastuti (Kemen KKP), justru meminta para menterinya mengalah karena
Undang-Undang adalah buatan manusia, jadi bisa diubah. Berikutnya
seperti kita ketahui, Rizal Ramli mengundurkan diri, sehingga
terindikasi bahwa Joko Widodo terlalu membela Ahok dan taipan pengusaha
reklamasi. Konon, taipan-taipan tersebut yang mendukung finansial Joko
Widodo, baik untuk Pilkada DKI Jakarta 2012, maupun Pilpres 2014.
Hal
ini menjadi masalah bagi pemerintah Joko Widodo, ketika rakyat (Islam)
menolak Ahok sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta 2017–2022, karena
dianggap, dan saat ini menjadi terdakwa penista agama dan zalim terhadap
rakyat kecil.
Kondisi ini dikuatkan lagi
dengan ambisi Joko Widodo untuk membangun infrastruktur, yang disambut
baik oleh negara Cina, tentunya dengan skema Turnkey Project Management,
seperti yang dilakukan di negara-negara Afrika yang sudah mengalami hal
buruk, seperti: Zimbabwe dan Angola yang tidak mampu membayar utang
dari Cina, kemudian meminta kedua negara tersebut menggunakan Yuan
sebagai mata uangnya. Mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia, apalagi
ekonomi Cina sedang mengalami kontraksi negatif terhadap AS, cadangan
devisanya sudah di bawah ambang batas psikologi, di bawah USD 3 triliun
Penguatan China’s Overseas
Pengaturan
politik mulai masuk pada tahap kaderisasi etnis Cina sebagai pimpinan
politik. Tercatat  Ahok, dan di beberapa kabupaten kota di Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, dan Sulawesi Utara, etnis
Cina mulai “menancapkan kuku” sebagai pemimpin politik (Kepala Daerah).
Bahkan beberapa nama mulai menjadi pengurus parpol seperti: Djan Faridz
(PPP), Enggartiasto Lukito (Nasdem), Jan Darmadi (Wantimpres/Nasdem),
Rusdi Kirana (PKB) yang juga mendapat bonus menjadi anggota Wantimpres,
Moerdaya Poo (PDIP), Hartati Moerdaya (Demokrat), dan yang paling
spektakuler adalah Hary Tanoesoedibjo (MNC Group) yang dinilai bukan
kelompok China’s Overseas tapi karena lebih dekat dengan Amerika Serikat
(AS), yang karena bisnis investasinya membuat dia menjadi salah satu
partner bisnis Donald Trump di Indonesia, mendirikan Partai Perindo.
Kelembagaan
China’s Overseas Affairs Office (OCAO) dan China’s Overseas Exchange
AISC adalah organisasi yang dibentuk pemerintah Cina, yang pertama
menyelenggarakan “World Federation of Huaqiao Huaren Associations”,
menyerukan kepada taipan seluruh dunia dalam rangka memperkuat
identifikasi mereka dengan bangsa Cina (2012).
Pada
tanggal 2 September 2014 di Beijing, Kementerian Luar Negeri Cina
meresmikan “Global Emergency Call Center”, yaitu perlindungan warga Cina
dari bahaya di seluruh dunia. Indonesia termasuk yang diperingatkan
agar jangan terjadi lagi peristiwa seperti tahun 1998, penzaliman etnis
Cina sebagai kerusuhan sosial.
Jelas inilah
yang membuat pengusaha Cina sangat berharap terhadap Ahok untuk memulai
ekspansi Cina secara ekonomi dengan konsep lebih terstruktur, yakni
reklamasi. Jika reklamasi pantai utara Jakarta berhasil diselesaikan,
akan menghasilkan 20 juta apartemen yang sebagian ditujukan untuk etnis
Cina dari Taiwan, Macao, Beijing, dan Hong Kong, karena dianggap
berharga murah. Dengan biaya Rp 3 juta per meter persegi, bisa dijual
lagi seharga Rp 20 juta per meter persegi, seperti yang diiklankan Agung
Podomoro di kota-kota besar di Cina.
Lee Kuan
Yew bisa dikatakan tokoh panutan dari taipan China’s Overseas karena
menjadikan Singapura sebagai lambang negara berhasil di dunia, dengan
skema etnis Cina Singapura tidak hanya menjadi sentral taipan China’s
overseas, tapi juga telah menjadi channel link pengusaha dunia (Yahudi).
Keberhasilan Lee Kuan Yew menggeser etnis Melayu, penduduk pribumi pada
awal 1970-an,  membuat para taipan Cina berharap pada Ahok sebagai Lee
Kuan Yew muda saat ini. Hal ini didukung sepenuhnya oleh Joko Widodo
sebagai presiden Republik Indonesia. Konon jika berhasil menjadi
Gubernur DKI Jakarta pada 19 April 2017, mereka membuat skenario Ahok
menjadi Wakil Presiden mendampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019.
Namun,
dengan terdegradasinya citra Joko Widodo dan tersandung ‘kasus
Freeport’ yang tentu menyeret Donald Trump karena sebagian besar
pemegang sahamnya adalah karibnya, pengusaha pendukung partai Republik,
termasuk Carl Icahn (Staf Khusus) yang sangat dekat dengan Trump.
Kita
tunggu saja tanggapan AS mengenai kasus Freeport, karena kemesraan
Jakarta – Beijing membuat risih AS, dan kasus Freeport adalah pintu
masuknya.
Kematian Koppasus di Papua dan
demonstrasi HAM Papua di tingkat dunia oleh beberapa negara etnis
Melanesia, belakangan ini, tidak lepas dari sengketa kasus diversifikasi
saham Freeport Indonesia. Sementara, Cina yang dibesar-besarkan
pemerintahan Joko Widodo, investasi etnis ini di Indonesia baru
terealisir Rp 43 triliun. Sementara Arab Saudi dengan kunjungan Raja
Salman sudah ada komitmen investasi senilai USD 9,4 miliar. Cina baru
sekadar isu terkait Kereta Cepat Jakarta – Surabaya yang mencapai Rp
100-an triliun, pelabuhan peti kemas di Banten, apartemen, semuanya baru
proses ‘alias’ belum ‘riil’.
Akankah
Joko Widodo tetap berharap pada Cina yang sedang sulit ekonominya, baru
saja Xi Jinping merevisi pertumbuhan ekonominya, dari 6,7% menjadi
6,5%. AS justru dengan the Fed akan menaikkan suku bunga, tentu akan
berekses ke dunia, termasuk Cina dan Indonesia (Feb 2017).[]
 
Penulis adlah mantan Anggota DPR RI

Comment