RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, Ervina Yana dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya _swab test_ sebesar Rp 2,4 juta. Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan.
Alita Karen, aktivis perempuan yang juga mendampingi Ervina menyatakan, ceritanya bermula pada beberapa hari lalu ketika Ervina mengalami kontraksi di perutnya. Ervina yang merupakan peserta BPJS penerima bantuan iuran (PBI) dan rutin melakukan pemeriksaan di puskesmas memutuskan operasi kehamilan ke sebuah rumah sakit swasta. Namun, menurut Alita, Ervina ditolak dengan alasan RS tidak memiliki alat operasi kelahiran lengkap dan alat uji tes virus corona. (bbcindonesia.com, 18/6/2020)
Munculnya tudingan komersialisasi tes virus corona tidak lepas dari pemberlakuan new normal. Tak hanya mewajibkan ibu hamil melakukan tes Covid-19 sebelum melahirkan.
Pemerintah juga menerapkan aturan baru bagi masyarakat yang bepergian ke luar daerah dengan transportasi umum yakni mewajibkan menyertakan hasil tes PCR yang negatif, ataupun memiliki surat uji rapid test dengan hasil non reaktif corona.
Selain menyertakan hasil tes Covid-19, masyarakat juga wajib memiliki surat keterangan bebas penyakit seperti influenza yang bisa didapatkan dari dokter rumah sakit atau puskesmas. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Covid-19 nomor 7 tahun 2020. (detik.com, 13/6/2020)
Aturan inilah yang disinyalir menjadi salah satu penyebab permintaan tes Covid-19 menjadi tinggi. Sebab masyarakat “dipaksa” melakukan tes Covid-19 secara swadaya. Komersialisasi tes Corona disaat masyarakat sedang susah, hanya menambah beban hidup masyarakat.
Disaat ekonomi sedang sulit justru masyarakat dihadapkan dengan masalah baru, mahalnya tes virus Corona. BPJS kesehatan tidak bisa memberikan solusi apapun. Faktanya masyarakat masih harus membayar dan menghadapi ruwetnya birokrasi kesehatan.
Komersialisasi tes virus Corona tidak hanya menunjukkan lemahnya peran negara dalam menangani wabah ini. Namun juga menunjukkan kegagalan negara dalam bertanggungjawab mengurus rakyat saat pandemi. Negara harusnya hadir sebagai penjaga dan pengurus rakyat, bukan sekadar regulator. Inilah ketika kapitalisme bercokol di negeri ini, untung rugi dijadikan standar dalam pengurusan rakyat.
Kesehatan dalam Islam
Sistem Islam memandang bahwa kesehatan merupakan bagian dari hak dasar yang wajib diselenggarakan oleh negara. Penguasa dan negara adalah pelayan bagi terpenuhinya semua hajat hidup rakyat. Islam mewajibkan negara menyelamatkan manusia dibawah naungannya.
Jika memberlakukan aturan tes virus Corona, maka wajib bagi negara untuk memfasilitasinya, gratis dan merata bagi seluruh rakyat. Negara akan menjadikan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat tanpa diskriminasi.
Adapun sumber dana untuk kesehatan bisa diambil dari hasil kekayaan alam milik rakyat. Negara bertugas memenej pengelolaannya sesuai syariah. Dalam pandangan syariah Islam, air (kekayaan sungai, laut), padang rumput (hutan), migas dan barang tambang (energi) yang jumlahnya sangat banyak adalah milik umum atau rakyat.
Rasulullah SAW bersabda: “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal, yaitu air, hutan, dan energi.” (HR. Ibnu Majah)
Semua ini hanya mungkin terjadi jika sistem ekonomi Islam diterapkan oleh negara. Termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat. Wallahu’alam bishowab.[]
Comment