Diskusi Paramadina Soroti Gen-Z dan Work Ethic Problem

Nasional10 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Gen-Z memiliki stereotype lebih suka hal instan, sulit mengikuti instruksi, terlalu idealis dan rentan terhadap tekanan. Tetapi juga memiliki hal positif didukung dengan kemajuan teknologi yaitu cepat dan adaptif, rasa ingin tahu yang tidak terbatas, kesadaran isu sosial yang tinggi dan memperhatikan work life balance.

Hal ini disampaikan Nila Marita, Director Corporate Affairs at GoTo dalam diskusi yang diadakan oleh Universitas Paramadina dengan tema “Gen-Z & Work Ethic Problem” pada Jumat (25/10/2024).

Hadir dalam diakusi tersebut antara lain; Prof. Didik J. Rachbini (Rektor Universitas Paramadina) sebagai pengantar diskusi dengan narasumber Coach Rene Suhardono (Career Coach & Penulis Buku), Nila Marita (Director Corporate Affairs at GoTo), Tia Rahmania, M.Psi (Psikolog, Dosen Universitas Paramadina)  Adrian Wijanarko, M.M (Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina) dan dimoderatori oleh Kanita Putri, S.Psi, M.M (Dosen Paramadina).

Dalam diskusi tersebut Nila menyoroti 6 hal yang menjadi insight para Gen-Z yaitu meningkatkan transparansi dalam berbagai informasi, peluang berkarir untuk menunjukkan kemampuan, setiap kontribusi individu penting dan berikan umpan balik, penting untuk merasa di percaya dalam melakukan task menggunakan cara masing-masing individu, membangun koneksi sangat penting dan memprioritaskan kesejahteraan mental.

Goto memberikan pelatihan dengan tujuan meningkatkan keterampilan karyawan untuk berbagai usia terutama gen z yaitu dengan enginering boothcamp, generasi gigih dan associate product manager boothcamp.

“Di GoTo sendiri, karyawannya merasa lebih bermakna dan memiliki direct impact” tutur Nila.

“Sebagai perusahaan teknologi, banyak hal yang tidak terduga di mana fleksibilitas dalam pekerjaan dengan mengadopsi sistem kerja berbasis hasil. Kemudian GoTo memiliki fun activities di mana kegiatan tersebut dilakukan dengan serius antara karyawan dan para leaders serta CEO” paparnya.

Hadir pula dalam diskusi ini, Tia Rahmania, M.Psi, Psikolog yang juga dosen Universitas Paramadina. Ia mengatakan, Gen-Z pada tahun 2025 akan menjadi populasi kerja sebanyak 27%, kemudian 9.9 juta Gen-Z menganggur karena ada mismatch skill dan kebutuhan pasar kerja.

“Banyak Gen-Z mengalami stres kerja karena tidak bisa menghargai proses dan menjadi bentuk masalah sehingga menjadikan Gen-Z punya ambisi dan ekspektasi tinggi” tutur Tia.

Tia memaparkan bahwa saat ini ada fenomena pekerja Gen-Z kurang disiplin dan terlalu banyak menuntut, berorientasi pada hasil, work life balance, anti lingkungan kerja toxic, kutu loncat dan cenderung pemilih. Jika menjadi atasan cenderung menjadikan bawahan partner tanpa melibatkan strata. Memanajemen keuangan sangat penting baginya dan berkembang kemudian fenomena YOLO, FOMO, FOPO dan Jam Koma.

Tia menambahkan, karakter Gen Z dalam konteks masa remaja atau awal dewasa, merasa krisis identitas, penting terkait teman dekat, moody, merasa orang tua terlalu ikut campur, terlalu kompetitif dan sebagainya.

“Saat ini, banyak yang mengadopsi istilah ATM di mana ATM ini sebuah proses amati, teliti dan modifikasi” ujarnya.

Gen Z menurutnya, memiliki tekanan internal tersendiri di mana banyak kasus menjadi tertekan misalnya karena orang tua telah pensiun, sementara harus juga memikirkan biaya kuliah adiknya.

Hadir dalam diskusi tersebut Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, Adrian Wijanarko, MM.

“Dari sisi tekanan sosial/eksternal, Gen-Z apalagi setelah Covid-19, Gen-Z merasa nasib mereka ke depan menjadi sangat suram, akibat kecemasan/tekanan ekonomi, ketidakpastian ekonomi global juga menambah sumber kecemasan Gen-Z” tuturnya.

Adrian menambahkan, dampak ekonomi dari ketidakpastian ekonomi global juga menyebabkan tekanan akibat ketersediaan lapangan kerja yang semakin sulit. Dari sisi literasi keuangan Gen Z yang kurang baik, sehingga Gen-Z kerepotan dalam pengelolaan keuangan pribadi.

Ia juga menekankan regulasi/kebijakan pemerintah dalam hal pengadaan perumahan bagi Gen-Z merupakan sebuah persoalan tersendiri.

“Harga rumah sudah terlalu mahal, sementara tabungan Gen Z mau tak mau kerap terpakai untuk menutupi kebutuhan keluarga” paparnya.

Berdasarkan hasil riset mengenai Gen-Z bersama Continuum, 62 % Gen Z mementingkan ‘pengakuan’ atas harga dirinya dalam mencari pekerjaan, misalnya utk soal gaji/kompensasi. Dalam lingkungan semisal hubungan personal jika tidak cocok dengan value perusahaan, mungkin dia akan keluar. Kecocokan dengan atasan dan rekan kerja dan culture juga turut berpengaruh.

“Gen-Z menginginkan pekerjaan yang shortterm maka shortwin atau kecepatan kompensasi setelah proyek berhasil dikerjakan. Pola pengupahan juga harus disesuaikan, karena Gen Z juga ingin memilih sendiri pilihan-pilihan benefit semisal tunjangan kendaraan, komunikasi dan lain sebagainya” tegas Adrian.

Sebagai Career Coach & Penulis Buku, Coach Rene Suhardono yang juga menjadi pembicara dalam sikusi tersebut melihat Gen-Z tidaklah monolitik sifatnya sehingga tidak bisa disamakan secara pukul rata semua sifat dan perilaku Gen-Z.

“Kalau ada yang harus disalahkan, maka yang salah adalah para orang tua yang tidak mampu mengelola pengaruh buruk dari perangkat komunikasi HP dengan berbagai macam aplikasi yang membuat penyakit adiktif” tegasnya.

“Kita harus menghormati semua generasi, tapi harus disadari ada perbedaan dan keunikan dari masing-masing generasi. Mengutip Ryan Jenkins ‘keunikan Gen Z sebenarnya sama saja dengan keunikan dari generasi-generasi sebelumnya. Tapi yang paling penting harus diingat dari mereka, mereka adalah pembawa harapan.” Imbuhnya.[]

Comment