RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pada tahun 2023 mendatang, resesi global diperkirakan akan terjadi di banyak negara. Pertumbuhan ekonomi dunia yang semula diperkirakan akan tumbuh sebesar 3,6% akan berkurang menjadi 2,7%.
Hal ini disebabkan ketidakpastian perang Rusia-Ukraina serta tingginya harga energi dan harga pangan, hingga lockdown China. Belajar dari tahun 2022, sektor pertanian merupakan sektor kunci mengingat banyak komoditas yang mengalami Windfall, seperti CPO.
Namun demikian, tahun 2023, sektor pertanian akan dihadapkan pada situasi yang berbeda, baik dampak, tantangan serta upaya yang harus dilakukan menghadapi Resesi Global Tahun 2023.
Demikian preambule Indef dalam diskusi bertema Outlook Sektor Pertanian: Dampak, Tantangan, dan Upaya Hadapi Resepsi Global 2023 yang digelar di Hotel Aston Priority Simatupang & Conference Center, Jl. Let. Jend TB Simatupang kav 9, Kota Jakarta Selatan, Jumat (16/12/2022).
Menurut Prof Dr. Syahrul Yasin Limpo selaku Menteri Pertanian RI, yang hadir dalam diskusi ITU mengatakan, pertanian itu penting dalam 2-3 tahun terakhir menghadapi climate change, menghadapi kekacauan antara rusia dan ukraina.
Syahrul menambahkan, tak ada satupun negara yang firm terhadap kondisi saat ini, semua negara saat ini resah terhadap masalah pangan akibat kompleksifitas kondisi yang terjadi saat ini. Semua negara harus memberikan prioritas teratas pada sektor pertanian. Pangan adalah human right, tidak boleh ada negara yang menurut negaranya saat mengalami masalah pangan. Tidak boleh ada negara yang menutup negaranya yang menyebabkan kerusakan ekosistem pangan yang ada sekarang.
“Sepanjang rakyat bisa menangani sendiri maka berhentilah untuk impor”. Tegasnya.
Dia melanjutkan, kita perlu intervensi yang lebih serius dalam pertanian karena penduduk yang besar ini perlu makan. Bisa apa manusia tanpa makanan. Kekuatan negara ini berada di sektor pertanian, namun jika bergantung pada lahan yang tidak bisa bertambah tanpa adanya intervensi ini akan menjadi persoalan kedepan.
“Karena itu kebiasaan menanam di lahan pekarangan perlu didorong terutama di Pulau Jawa minimal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk mengurangi distorsi inflasi.” Ujarnya.
Menurut M. Rizal Taufiqurahman, Kepala Center Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF yang juga hadir dalam diskusi mengatakan, potensi dan kontribusi sektor pertanian jika dilihat dari trennya termasuk sektor yang tidak goyang saat krisis, jika pun turun lebih disebabkan oleh kondisi iklim.
Dia menambahkan, curah hujan yang ekstrim berpangaruh terhadap produksi sektor pertanian. Menurut BPS, komoditas cabai dan bawang merah serta ikan menyebabkan inflasi harga bergejolak hingga 11,47% sedangkan inflasi inti hanya sebesar 2,86%.
M. Rizal Taufiqurahman memaparkan bahwa peningkatan produktivitas ini menjadi tantangan untuk meningkatkan produksi. Pentingnya bantuan bibit karena menjadi input produksi di sektor pertanian. Bantuan benih yang bermutu hortikultura cabai rawit, cabai besar, dan bawang merah memberikan dorongan terhadap jumlah produksi.
Tahun 2023, sektor pertanian masih tetap optimis tetap berkembang dengan melihat trend produksi akan naik.
“Hasil penelitian INDEF dengan menggunakan data survei ongkos usaha hortikultura pada tahun 2018 menunjukkan bahwa program bantuan benih bermutu pemerntah mempunyai pengaruh positif terhadap produksi.” Ucapnya.
M. Rizal Taufiqurahman mempresentasikan Studi INDEF: studi kasus bawang merah dengan koefisien sebesar 0.268. Artinya: Jika bantuan benih bawang merah meningkat sebesar 1 persen maka akan meningkatkan produksi bawang merah sebesar 0.268 persen. Arah yang sama-sama positif untuk komoditas cabai besar dan cabai rawit). Ketika produksi naik maka harus diserap oleh pemerintah.
Meski demikian, tambahnya, pemerintah merevitalisasi kebijakan bantuan benih bermutu agar kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan termasuk jangkauan sasarannya, mengefektifkan alokasi anggaran dan jumlah bantuan benih bermutu, menjaga keseimbangan sistem ketahanan pangan, memperkuat kolaborasi antar-pelaku usaha pertanian, serta perlunya pembenahan tata kelola pangan nasional melalui pembaharuan regulasi.
Muhammad Saifulloh, selaku Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementrian Koordinator Perekonomian RI mengungkapkan bahwa Pandemi Covid-19, krisis pangan, dan energi memberikan dampak pada indeks ketahanan pangan Indonesia.
Dia menambahkan bahwa peringkat ketahanan pangan Indonesia Menurut GSFI meningkat dari skor 59,2 di tahun 2021 menjadi 60,2 di tahun 2022. Secara peringkat juga terjadi peningkatan dari posisi ke 69 (2021) menjadi ke 63 (2022) dari 113 negara.
“Pencapaian tersebut tidak lepas dari upaya Kementan melalui peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan local, penguatan dadangan dan sistem logistik pangan, pengembangan pertanian modern, dan gerakan tiga kali ekspor.” Ujarnya.
Hal lain tambahnya, untuk masa depan pertanian yakni membangun balancing trade and food meski ada perang Rusia-Ukraina tetap tidak boleh ada hambatan akses pangan, termasuk gas untuk pupuk. Namun perlu pengembangan bahan baku subsitusi pangan, seperti sagu, ketela hingga sorgum.
M. Habibullah, M.Si, Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik yang juga ikut dalam diskusi INDEF ini menyatakan bahwa sektor pertanian memiliki posisi di 3 terbesar dalam menopang ekonomi Indonesia dengan kontribusi 12,91% dan menyerap 28,61% tenaga kerja nasional. Meski demikin, aging farmer menjadi persoalan, dari sisi umur petani berada di atas usia 45 tahun. Selain itu, sebanyak 58,07% adalah petani gurem (< 0,5 Ha).
Habibullah menambahkan bahwa persentase petani yang menggunakan internet hanya 13,44%. Dari penggunaan mekanisasi ini hanya 47,29%. Dari sisi perdagangan, ekspor kita tidak lebih besar dari impor.
Indonesia, lanjutnya, menempati posisi ke-4 penghasil beras sekaligus pengkonsumsi besar di dunia. Di Indonesia, stok akhir beras tahun ini dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri selama 1-3 bulan. Jika dibandingkan dengan cina, beras di cina bertahan sampai 8 bulan. Luas panen padi di tahun 2022 meningkat 0,13 juta ha (1,22%) dan produksi padi meningkat sebanyak 0,94 juta ton (1,74%) serta produksi beras tumbuh 0,54 juta ton (1,74%). Sebelumnya pada Januari-Oktober 2022, terjadi surplus beras sebesar 3,45 juta ton namun November Desember 2022 terjadi deficit -1,75 juta ton. Sehingga surplus beras nasional 2022, potensinya adalah 1,7 juta ton yang terlihat dari pada pantauan Oktober 2022. Sumbangan surplus beras terbesar berasal dari Propinsi Sulawesi Selatan 2,08 juta ton.
Hadir pula dalam diskusi ini, Prof. Dr. Hermanto Siregar, Guru Besar Institut Pertanian Bogor sekaligus Rektor Perbanas. Dia mengatakan, sektor pertanian tahun 2023 menghadapi tantangan, pertama, inflasi tinggi ini disebabkan volatile food namun jika komoditas volatile food ini ditingkatkan produksinya maka tekanan inflasi bisa berkurang. Kedua, Kemiskinan tinggi di pedesaan yang identik pertanian sehingga perlu diintervensi pada sektor pertanian agar kemiskinan di pedesaan bisa ditekan. Ketiga, ada anggapan jika belum makan nasi maka belum makan sehingga perlu adanya diversifikasi pangan di masyarakat.
“Karena itu, teknologi adalah solusi dari persoalan sekarang ini, termasuk inflasi karena produktivitas yang meningkat membuat produksi akan meningkat sehingga inflasi volatile food akan turun.” Ujarnya.
Dia menambahkan, kenaikan Volatile food seperti cabai ini musiman, kunci untuk mengatasinya bisa menggunakan teknologi salah satunya dengan rumah kaca. Kita jadi bisa lebih mengontrol masa tanam. Terkait distribusi dan logistik jangan hanya ditangani oleh satu lembaga saja tetapi dapat meminta partisipasi swasta. Yang telah ada saat ini sudah baik namun kedepan dengan adanya partisipasi swasta dapat meningkatkan efisiensi.
Menurutnya, ektor pertanian tahun 2023, bagi Indonesia setiap bulan dapat melakukan penanaman sehingga produksi yang ada harus ditingkatkan lagi, baik lahan, bibit dan pupuk. Ekspor akan meningkat dan semuanya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian yang biasanya 3 % kemungkinan bisa lebih dari angka tersebut.
“Jika sektor pertanian dengan beragam 5 program dari Kementan maka pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5 %. Pertanian itu prospektif untuk mengendalikan inflasi dan mencegah pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.” Imbuhnya.[]
Comment