Disfungsi Peran Pendidik dan Administrasi Platform Merdeka Mengajar?

Opini317 Views

 

Penulis: Fani Ratu Rahmani | Aktivis Dakwah dan Pendidik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Platform Merdeka Mengajar masih menjadi isu yang hangat di kalangan guru. Bukan hanya itu, media sosial yang berkaitan dengan guru tengah ramai membicarakan fenomena guru berburu sertifikat untuk diunggah ke platform Merdeka Mengajar (PMM). Sertifikat-sertifikat ini menjadi syarat pemenuhan penilaian kinerja guru.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui PMM mewajibkan guru untuk mengumpulkan poin dari berbagai kegiatan pengembangan kompetensi. Salah satu kegiatan tersebut adalah dengan menjadi partisipan seminar, lokakarya, konferensi, simposium, dan/atau studi banding lapangan.

Setiap guru wajib mengumpulkan minimal 32 poin dalam satu semester dari berbagai kegiatan pengembangan kompetensi tersebut. Kegiatan seminar dan pelatihan biasanya memberikan 4 poin per kegiatan. Oleh karena itu, banyak guru beramai-ramai mendaftar kegiatan seminar dan pelatihan guna memenuhi target poin.

Hanya saja, munculnya fenomena ini tentu menuai pro dan kontra. Sebagian pihak menilai kebijakan ini efektif mendorong guru meningkatkan kompetensinya. Sebab, para guru secara otomatis ‘dipaksa’ untuk mengembangkan dirinya melalui berbagai cara.

Namun, sebagian yang lain mengkritik karena guru hanya terpaku pada pengumpulan sertifikat tanpa benar-benar mengimplementasikan ilmu yang didapat.

Sebagian kalangan menilai, guru sibuk berburu sertifikat untuk memenuhi target poin. Padahal, tujuan utamanya adalah peningkatan kompetensi guru. Alih-alih kompetensi meningkat, justru yang terjadi berbeda.

Semua hanya sebatas memburu poin-poin formalitas dari platform yang ada. Belum lagi aktivitas ini mengalihkan guru yang seharusnya fokus untuk mendidik generasi di sekolah. Di tengah kompleksitas masalah yang dekat dengan generasi, bagaimana guru mampu hadapi semua ?

PMM dan Peran Utama Pendidik

Sejatinya pengisian PMM menguras banyak tenaga dan waktu para guru, sehingga mereka disibukkan dan kehilangan fokus atas salah satuanya yakni dalam mendidik dan mengajar siswa. Siswa hanya diberikan tugas akademik semata yang tidak cukup memberi pengaruh bagi moral dan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh para siswa saat ini.

Kemudian, Guru dituntut memperbaiki kualitas pendidikan dengan kompetensinya di tengah benturan kebijakan yang menjauhkan peran guru sebagai pendidik generasi. Sungguh, kondisi yang dilematis bagi para guru. Perlu diingat, bahwa persoalan generasi saat ini bukan hanya karna pendidik yang tidak kompeten, tetapi memang buah dari sistem sekuler yang fasad.

Perlu diakui, negara belum mampu memberikan penguatan paripurna bagi guru. Terutama ketika siswa saat ini harus hidup dalam sistem sekuler kapitalisme yang berdampak buruk bagi mereka. Maraknya kasus bullying, pacaran, hamil di luar nikah, kriminalitas pelajar, dan sebagainya bukan malah berkurang, justru meningkat. Mengapa guru tidak berdaya menghadapi itu semua?

Sebab, sejatinya guru tidak membutuhkan kurikulum yang mengikuti arus kapitalisme sehingga pendidikan didedikasikan semata untuk dunia kerja, bahkan perkembangan industri dan korporasi. Apabila ini yang menjadi acuan, betapa lelah dan beratnya peran guru. Mendidik agar moral semakin baik tapi kurikulumnya justru memfokuskan pada terserapnya siswa ke dalam dunia kerja.

Memang fungsi guru membutuhkan faktor pendukung lain. Faktor lingkungan berupa keluarga dan masyarakat haruslah mendukung tugas guru. Tidak seperti saat ini, guru berjalan sendirian. Bahkan, tidak jarang mereka mendapatkan ancaman dari orang tua yang kalap. Ini karena sekularisme kapitalisme tidak bisa membuat orang tua berpikir jernih tentang fungsi pendidikan di sekolah.

Jadi, apabila mengkebiri fungsi guru dengan menyibukkan pada persoalan administrasi, semakin beratlah tugas guru. Keberadaan administrasi tersebut justru tidak menyentuh akar masalah dari pendidikan kita saat ini. Dasar yang rusak, kurikulu menghasilkan pendidikan yang rusak. Na’udzubillah.

Sistem Shahih untuk Generasi Cemerlang

Generasi cemerlang hanya akan terwujud dari peradaban gemilang. Generasi cemerlang adalah generasi yang menjadikan Islam sebagai pembentuk kepribadian mereka. Generasi yang pemikirannya Islam dan nafasiyyah (jiwa) nya juga Islam. Ia berpikir dan bertindak sesuai Islam, bukan pincang di salah satunya.

Dengan kurikulum yang berlandaskan akidah Islam, bukan sebuah utopia lahir generasi yang tinggi akhlaknya, cerdas akalnya, dan kuat imannya. Ditopang dengan ekonomi Islam yang menyejahterakan dan kebijakan yang bersumber pada syariat Islam, seluruh elemen masyarakat dapat merasakan hak pendidikan secara gratis.

Negara berperan dalam menjamin hak pendidikan, menyusun kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam, dan menciptakan lingkungan dengan ketakwaan komunal melalui sistem pergaulan Islam.

Tidak kalah penting, orang tua harus memiliki bekal pemahaman Islam secara kafah agar tidak salah dalam mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Dengan begitu, anak-anak tumbuh dalam suasana kondusif dan tercipta kepribadian Islam yang unik dan khas.

Lalu, bagaimana posisi guru dalam Islam? Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, gaji guru mencapai 15 dinar (1 dinar setara 4,25 gram emas).

Jadi, guru pun akan berupaya sebaik mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan menjalankan amanahnya dengan baik. Pada saat yang sama, Islam juga mengajarkan murid untuk menghormati guru mereka.

Pada intinya, sistem pendidikan Islam merupakan bagian dari satu kesatuan sistem Islam yang wajib diterapkan. Dengan dukungan semua sistem Islam, generasi akan terjaga dari segala kerusakan. Gambaran generasi cemerlang ini dapat kita saksikan pada masa kejayaan Islam selama berabad-abad silam. Wallahu a’lam bish shawab.[]

Comment