Dina Dwi N, S.S, S.Pd: Defining The Real Happiness

Opini570 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sejumlah negara di Eropa seperti Finlandia, Denmark, Swiss, Islandia, Norwegia, Belanda dan Swedia dinobatkan sebagai negara-negara paling bahagia di tahun 2020 berdasarkan rilis dari World happiness Report.

Indikator yang digunakan untuk menjelaskan tingkat kebahagiaan suatu negara adalah aspek lingkungan sosial, rasa kebebasan untuk membuat keputusan penting dalam hidup, kepercayaan dan kemurahan hati.

Sedangkan menurut Ekonom Amerika Serikat (AS), Jeffrey Sachs, sejumlah negara itu menjadi negara paling bahagia karena beberapa faktor, yakni pemerintah yang jujur, kesejahteraan sosial yang baik, kepercayaan sosial, lingkungan yang aman, dan sehat. (finance.detik.com, 07/10/2020).

Itulah ciri-ciri negara yang bahagia menurut versi Barat. Rasanya setiap orang akan setuju dan bahagia bila negaranya memiliki pemerintah yang baik, hak-hak penduduknya terjamin, memiliki lingkungan yang aman dan sehat, tidak ada konflik dan kekerasan, rakyatnya hidup makmur, setiap orang bebas menentukan pilihan hidupnya, pajak yang rendah, bahkan kalau bisa nol.

Sebuah kehidupan impian yang terasa adem ayem, tentram, sejahtera dan makmur. Siapa yang tak menginginkan kehidupan demikian. Tapi, apakah benar itu merupakan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya?

Definisi tentang sesuatu dipengaruhi oleh cara pandang tentang kehidupan. Bangsa Barat yang menganut sekulerisme, memisahkan pandangan tentang kehidupan dari agama. Ini meniscayakan definisi kebahagiaan yang terlepas dari pokok-pokok agama.

Bagi pengikut sekulerisme, kebahagiaan adalah bila nilai-nilai materi terpenuhi, kenyamanan secara fisik dan psikis dirasakan dan kebebasan penuh didapatkan. Berbagai macam cara dilakukan untuk mewujudkan kebahagiaan tanpa memperhatikan aturan agama di dalamnya. Agama tidak dijadikan panduan dan standar dalam menentukan dan mewujudkan kebahagiaan.

Dengan prinsip kebebasannya (liberalisme), setiap orang akan memaknai kebahagiaan menurut pemahamannya masing-masing. Perbedaan pemahaman tentang kehidupan, latar belakang pribadi dan masyarakat akan memunculkan beragam versi kebahagiaan.

Apa yang menjadi kebahagiaan bagi seorang pelajar jelas beda bagi seorang pekerja. Kebahagiaan menurut kalangan atas akan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan masayarakat kalangan bawah yang terbiasa hidup dalam keterbatasan. Bahagia bagi mereka yang tinggal di desa kontras dengan mereka yang tinggal di kota.

Hidup bahagia sesungguhnya menurut mereka yang tak meyakini agama jelas tak sama dengan versi mereka yang beragama, apalagi dengan yang menganut keimanan sejati. Jelas sekali bertentangan. Tak ada titik temu yang pas bila dikembalikan pada masing-masing individu.

Dahulu kala, para filosof Yunani, seperti Epicurus dan Aristoteles telah mendefinisikan tentang kebahagiaan. Kebahagiaan versi Epicurus adalah terpenuhinya kebutuhan batin dan tercukupinya materi.

Kebahagiaan tertinggi adalah bila terhindar dari rasa sakit dan penderitaan. Namanya kemudian diabadikan dalam istilah Bahasa Inggris sebagai Epicurean Life, yakni ungkapan yang menggambarkan kehidupan yang nyaman.

Sedang menurut Aristoteles, kebahagiaan diwakilkan dengan sebuah istilah; Eudaimonia. Istilah ini dipakai dalam tulisan-tulisan filsafat yang merujuk pada kebahagiaan, kesenangan dan ketentraman.

Eudaemonia sendiri terdiri dari awalan ‘eu’ yang berarti ‘baik’ dan ‘daemonia’ yang terkait dengan kata ‘daemon’ yang berarti ‘ruh.’

Jadi, eudaemonia adalah suatu kebaikan ruhaniah. Dimana manusia tumbuh dan berguna bagi orang lain, sehingga ia menjalani hidupnya dengan melakukan tindakan-tindakan yang memiliki arti dan makna. Intinya, kebahagiaan adalah bagaimana bisa bermanfaat juga bagi manusia lainnya.

Jika kita pahami lebih dalam lagi, makna kebahagiaan yang dicetuskan oleh kedua tokoh di atas, akan nampak sekali kekurangannya. Dari situ kemudian memunculkan banyak pertanyaan, seperti; “Apakah ketenangan batin dan kepuasan jasmani pasti akan membuat bahagia? Apakah orang yang memberi manfaat pada orang lain pasti bahagia?

Bagaimana bila ia ‘terpaksa’ atau ‘dipaksa’ melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya? Lalu, kebaikan atau manfaat seperti apa yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya?”

Sementara kita tahu bahwa banyak dari manusia yang hidupnya serba berkecukupan, namun ternyata masih saja gelisah dan merasa ada yang kurang. Di sisi lain, kita melihat orang yang hidupnya sederhana bahkan kekurangan, namun tetap bisa merasa bahagia.

Standar kebaikan dan manfaat yang saling bertentangan karena memang tak ada kebakuan yang pasti. Bagaimana menyatukan persepsi tentang itu semua hingga bisa diterima oleh semuanya?

Islam, punya jawabannya. Sebagai sebuah agama yang bersumber dari wahyu Illahi, Islam mampu mendefinisikan makna kebahagiaan yang bisa diterima akal, memuaskan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Konsep yang jelas tentang kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan menjadikan mudah dalam mendefinisikan kebahagiaan.

Dalam Islam, kebahagiaan hakiki adalah teraihnya ridho Sang Khaliq. Kebahagiaan seorang hamba pastilah menurut perkataan tuannya, yaitu Allah SWT. Ia percaya dengan memenuhi segala perintahNya dan menjauhi laranganNya, ia akan mendapatkan pujian dan balasan dari Allah.

Dengan menerapkan aturanNya, manusia yakin akan mendapatkan kebaikan. Ini bukanlah keyakinan yang membabi-buta. Keyakinan ini sangatlah logis karena siapakah yang lebih paham apa yang terbaik bagi hamba selain penciptanya?

Begitu pula dengan standar kebaikan dan manfaat, sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta manusia, alam dan kehidupan. Manusia tinggal menjalani dengan sebaik mungkin. Semua sudah ada panduannya.

Bila perbuatan yang dilakukan adalah dalam rangka menjalankan perintahNya, maka itu disebut kebaikan. Sedang, keburukan adalah bila melakukan perbuatan yang melanggar aturanNya. Dengan melakukan kebaikan tersebut, manusia terhindar dari keburukan.

Terhindar dari segala keburukan dan mendapat pahala dariNya. Inilah ‘manfaat’ yang sesungguhnya. Bukan hanya dirasakan di dunia, tetapi jauh untuk di akhirat kelak. Karena manfaat dalam bentuk materi, memiliki batas masanya.

Ada yang lebih berharga dari sekadar materi, yakni ketenangan diri karena mendapatkan restu dan pahala dari Ilahi yang bisa menghantarkan manusia pada surgaNya. Oleh karenanya, manfaat adalah berada pada segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah, Sang Pemilik Kehidupan. Ini sekaligus menjadi kebahagiaan yang hakiki.

Dengan demikian, segala hal yang menegasikan kondisi kehidupan seperti di atas, bukanlah indikator kebahagiaan sejati. Bahagia itu adalah bila Dia ridho pada kita. Selain dari itu, maka bisa dipastikan bahagia hanyalah semu. Taati Allah, tanpa tapi, tanpa nanti, pastilah bahagia senantiasa melingkupi. As simple as that.

“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan meraka pun ridha kepadanya.” (QS al-Bayyinah: 8).
Wallahu a’lam bis shawab.[]

Comment