Didi Diah, S.Kom |
Tertunduk lesu
Tercabik hati mendayu
Dulu kau kupuja haru biru
Kini kau hancurkan hatiku
Hati sembilu
Diam terpaku
Gincumu terlalu merah jendral
Tersayat mengalirkan darah perselingkuhan
Runyam penuh pengkhianatan
Doa ulama kau biarkan menguap tanpa arti
Mengalir air mata dari jutaan kaum hawa
Kau campakkan semua itu tanpa kata
Tiada kata yang dapat diucap, manakala kita melihat dua hari ini diberbagai headline news baik elektronik, dunia maya, ataupun surat kabar, fenomena yang membuat jutaan pasang mata terperanjat hingga mengalirkan air mata karena ketidakpercayaan apa yang dilakukan Prabowo Subianto berakrab ria dengan Jokowi, sang petahana yang melaju menjadi pemenang pilpres 2019.
Sesungguhnya kabar ini bukanlah kabar yang terlalu mengejutkan bagi sebagian orang, atau kelompok. Deal-deal politik bisa saja terjadi di alam demokrasi, baik yang sifatnya lembut ataupun menyakitkan hati seperti yang diperlihatkan Prabowo Subianto.
Tak ayal bagi para pendukungnya, langkah ini dikatakan konyol dan menyesakkan, inilah perselingkuhan terbaik tahun ini, akibat demokrasi. Namun buat sebagian pendukung yang lain mengatakan Prabowo mempunyai jiwa yang besar mengakui kemenangan lawan politiknya.
Ah, rasanya mustahil di alam demokrasi akan terjadi kesetiaan abadi. Lobi sana lobi sini yang penting aman bagi diri dan kepentingan kelompoknya, sekalipun harus menyakiti dan mengkhianati kepercayaan rakyat. Yaaa, rakyat dijadikan korban keserakahan jiwa jiwa yang haus kekuasaan demi kepentingan politik.
*Gincu Demokrasi*
Apa yang telah dijanjikan oleh Prabowo dan rekannya Sandiaga Uno pada saat pilpres lalu seperti membawa angin segar bagi rakyat, terlebih kaum muslimin di Indonesia, janji mereka bak gincu merah nan merekah, membuat yang melihatnya terbuai dengan janji manisnya. Ulama dikumpulkan dari seluruh pelosok negeri untuk mendoakan dan memberikan kepercayaan penuh, namun janji tinggal janji. Semua diletakkan bagai mawar berduri. Gincumu terlalu merah jendral…, hingga menyayat luka dihati.
*Ilusi Demokrasi*
Apa yang diperlihatkan Prabowo Subianto, bukanlah tanpa maksud. Tak mungkin jika tak ada lobi-lobi politik berbagi kekuasaan dari sejumlah partai politik yang mendukungnya, mereka tidak mau kalah konyol tanpa mampu mengembalikan apa yang telah mereka keluarkan untuk biaya pilpres.
Indonesia, negeri yang berideologi kapitalis dengan mengadopsi demokrasi sebagai asasnya sudah pasti akan selalu menjalankan politik dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Namun demikian, kesalahan-kesalahan penguasa ini acapkali termaafkan manakala rakyat berdalih mereka adalah ulil amri yang harus ditaati.
Sistem ini bertumpu pada kepentingan para pemilik modal, sehingga keputusan-keputusan penguasa mayoritas berpihak kepada kepentingan para cukong-cukong yang menanamkan investasi di negeri ini. Hukum di Indonesia tak lagi bersahabat dengan rakyat. Rakyat selalu dibebani dengan sejuta permasalahan yang tak pernah usai, salah satunya hutang ribuan trilyunan yang dibebankan kepada rakyat. Aset-aset negeri begitu mudahnya digadaikan, negeri ini hancur tak berbentuk. Dan terlalu muluk berharap pada sistem yang carut marut ini. Sungguh tak berpihak sama sekali kepada hajat rakyat.
Menurut mereka yang terpenting adalah bagaimana caranya mendapatkan jatah di legislatif agar mampu menjadi orang yang berhak mengambil keputusan di titik-titik krusial pembangunan negeri, agar kecipratan sejumlah proyek dan mendapatkan materi. Mereka sudah tak ingat lagi bagaimana dulu mereka menjadikan rakyat sebagai batu lompatan mendapatkan suara. Kini, rakyat mereka lupakan begitu saja. Subhanallah
*Islam Rahmatan Lil Alamin*
Maka, lihatlah di dalam Al Qur’an, bahwa Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka dengan sesuatu yang diturunkan Allah”. [QS. Al-Maidah :49]
Allah menjelaskan bahwa hukum itu bukanlah milik rakyat, para anggota parlemen, ataupun penguasa. Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memutuskan perkara diantara manusia dengan wahyu yang Allah turunkan berupa Al-Qur’an dan Sunnah.
Demokrasi terbukti gagal mensejahterakan rakyatnya, dan bukan jalan untuk terjadinya perubahan yang hakiki.
Demokrasi hanya akan menambah luka rakyat semakin dalam dengan janji manisnya. Wallahu’alam bisshowwab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment