RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA Upaya pemerintah untuk memoderasi ajaran Islam semakin kentara terjadi.
Demi dalih menangkal radikalisme yang katanya bersumber dari ajaran Islam yang intoleran seperti khilafah dan jihad yang tercantum dalam KMA 165/2014 dinyatakan tidak berlaku dan telah diperbaharui dalam KMA 183/2019.
Alasannya setiap materi yang tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan, dan toleransi akan dihilangkan untuk mengedepankan Islam wasathiyah.
Dikutip laman Republika.co.id, Sabtu (7/12) Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin menjelaskan bahwa Kemenag hanya merevisi konten ajaran khilafah dan jihad bukan dihapus sepenuhnya dalam buku yang akan diterbitkan. Makna khilafah dan jihad akan diberi perspektif yang lebih produktif dan kontekstual.
Kebijakan ini pun mendapat tanggapan dari Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI), melalui Ketua Umum DPP PGMI Syamsuddin, menolak rencana penghapusan seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten khilafah dan jihad.
Menurutnya penghapusan konten khilafah dan jihad bukan cara terbaik menangkal paham radikal. Sebab jika materi itu dihilangkan akan menutupi sejarah yang terjadi dalam Islam.
Bahayanya Kurikulum Moderasi
Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan adalah pembentukan syakhsiyah (kepribadian) Islamiyah siswa. Ini tentu akan berpengaruh pada generasi. Sangat berbahaya jika ajaran Islam diubah atau bahkan dihapuskan.
Generasi terancam tidak lagi mengenal syariat Islam secara utuh. Moderasi ajaran Islam menjadikan Islam tidak seutuhnya dipahami. Hakikatnya adalah mengubah ajaran Islam itu sendiri. Seperti ajaran tentang jihad, maknanya adalah perang di jalan Allah.
“…dan berjihad di jalan Allah…” (QS Al Baqarah: 218)
Lafaz “Al-Jihad” secara bahasa maknanya mengerahkan segala kemampuan (بذل وسعه). Pengertian secara syar’i adalah perang (القتال). Sehingga Al-Jihad adalah mengerahkan segala kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung maupun memberikan bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak logistik, atau yang lainnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah al Islamiyyah jilid 2, 147)
Imam Ath Thabari pun memaknai jaahaduu dalam ayat ini, dengan قاتلوا dan حاربوا (mereka berperang). Dilanjutkan oleh Imam Ath Thabari memaknai في سبيل الله adalah طريقته و دينه (jalan dan agama Allah). Juga Imam Al Khazin dan Imam Al Samarqandi memaknai dengan في طاعة الله (dalam ketaatan kepada Allah).
Lantas bagaimana bisa dengan alasan moderasi, jihad hanya diambil makna bahasanya semata? Kalaulah demikian, sah mengamalkan salat hanya aktivitas doa, karena الصلاة secara bahasa maknanya adalah الدعاء (doa)? Tentu tidak sah salat hanya dengan doa. Begitu pula dengan jihad. Bisa kita bayangkan nasib generasi mendatang yang tidak lagi mengenal perang dalam Islam. Generasi semacam ini tidak siap memerangi penjajah yang masuk ke dalam negerinya. Sehingga musuh pun akan dianggap teman.
Proyek deradikalisasi terus melaju di negeri mayoritas muslim, salah satunya berupa kurikulum moderasi. Napas keduanya sama, yakni sekularisasi (pemisahan) Islam politik dengan kehidupan bernegara dan berbangsa. Kurikulum moderasi memosisikan ajaran Islam (fikih Islam) terutama fikih siyasi (fikih politik) sebagai sumber masalah serta memunculkan permusuhan dan perpecahan, sehingga perlu diberikan perspektif baru yang moderat (liberal).
Kurikulum moderasi jelas berbahaya dan menjauhkan generasi muda Islam dari ajaran agamanya yang agung. Lebih dari itu kurikulum moderasi menanamkan persepsi negatif terhadap ajaran Islam, bahkan bisa memunculkan kebencian terhadap hukum-hukum Islam dan permusuhan terhadap sesama muslim yang berbeda perspektif dengan perspektif pembaharuan Islam.
Jadi, dalih kurikulum moderasi bertujuan untuk mewujudkan persatuan dan mencegah perpecahan justru malah membuahkan generasi yang mudah curiga terhadap pihak lain yang berbeda. Sebaliknya, menjadi sangat toleran terhadap ide-ide seperti HAM, pergaulan bebas, LGBT, feminisme, dll.
Kurikulum moderasi menghakimi ajaran Islam sebagai ajaran yang tidak relevan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini, meski tidak berani secara lugas menyatakan fikih Islam sebagai sesuatu yang kuno dan terbelakang.
Perspektif moderat yang berintikan keadilan (wasathiyah) memandulkan kemampuan fikih Islam dalam problem solving beragam dinamika kehidupan umat.
Kurikulum moderasi juga melunakkan cara pandang umat dan bangsa terhadap praktik penjajahan modern. Perampokan sumber daya alam negeri Islam oleh korporasi asing melalui legitimasi UU Minerba misalnya, tidak perlu diberi solusi khilafah yang menetapkan keharaman kepemilikan umum dikuasai individu dan kelompok.
Juga konflik agraria (penguasaan lahan), dipandang tidak perlu diberi solusi Khilafah yang menetapkan keharaman sewa lahan produktif (pertanian) dan jelas melarang penguasaan hutan melalui HPH.
Hukum-hukum Islam diabaikan, praktik kezaliman dianggap praktik kesetaraan karena adanya saling memberikan manfaat antara investor dan negara. Semua ini akibat khilafah dan seluruh sistemnya hanya diposisikan sebagai romantisme historis, bukan sebagai bagian fikih Islam yang menuntut untuk diterapkan.
Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Mereduksi ajaran Islam, mengobok-obok ajaran Islam, jelas merupakan kelancangan dan layak mendapatkan azab dari Allah SWT bagi siapa saja yang enggan bertobat menghentikan perbuatannya. Allah SWT telah menetapkan kewajiban jihad di dalam Alquran dan pelaksanaan jihad di bawah perintah seorang Khalifah yang telah dibaiat secara syar’i.
“Diwajibkan atas kalian berperang sekalipun perang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” (TQS al-Baqarah [2]: 216).
Penegakan Khilafah sebagai kewajiban juga telah ditetapkan Islam. Terkait kewajiban mengangkat Khalifah, Imam an-Nawawi rahimahullâh di dalam Syarhu Shahîh Muslim menulis:
“Dan mereka (kaum muslimin) sepakat bahwa sesungguhnya wajib bagi kaum muslimin mengangkat Khalifah, dan kewajiban (mengangkat khalifah ini) ditetapkan dengan syara’ bukan dengan akal”.
Sebagai kewajiban yang tsabit, ajaran Khilafah dan jihad harus mendapatkan perhatian penuh generasi Islam. Upaya penegakannya bukan perkara remeh dan bisa diabaikan begitu saja. Di pundak generasi Islam inilah tanggung jawab dibebankan.
Adapun hasil dari upaya penegakannya, Allah SWT-lah yang akan menetapkan waktunya.
Narasi moderasi Islam yang diaruskan rezim harus dijawab generasi pengemban dakwah Islam. Maka, generasi Islam butuh seperangkat pemahaman sahih dan lengkap tentang Islam kaffah, agar upaya melawan arus moderasi Islam tidak menjatuhkan generasi pada sikap defensif apologetic.
Untuk itu, generasi Islam membutuhkan pembinaan intensif dalam gerbong sebuah jamaah dakwah yang konsisten dalam upaya pengimplementasian Islam secara kaffah. Wallaahu a’lam.[]
Comment