Penulis: Irohima | Guru
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Naik dan turunnya harga minyak mentah dunia dipastikan selalu berdampak pada harga BBM dalam negeri. Terbukti harga minyak mentah yang terus merangkak naik sampai di atas 90 dolar AS perbarel telah menyebabkan adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak saat ini. Bahkan PT Pertamina seperti digulis laman cnbc indonesia (30/9/2023) telah resmi mengubah harga BBM Non subsidi per tanggal 1 Oktober 2023.
Ada beberapa jenis BBM yang mengalami kenaikan harga yaitu Pertamax yang menjadi Rp14.000/liter dari harga Rp13.300, Pertamax turbo dari Rp15.900/liter menjadi Rp16.600/liter, Dexlite dari harga Rp 16.350 menjadi Rp 17.200/liter, Pertamina Dex dari harga Rp 16.900 menjadi Rp 17.900 /liter, dan Pertamax Green 95 dari harga Rp 15.000/liter menjadi Rp 16.000/liter.
Naiknya harga BBM dipicu oleh banyak hal, di antaranya adalah naiknya harga minyak mentah dunia dan ICP (Indonesian Crude Pride), nilai tukar dolar AS terhadap rupiah yang anjlok, biaya transportasi atau logistik dan ongkos operasional kilang.
Namun faktor terbesar kenaikan BBM adalah melambungnya harga minyak global. Harga minyak mentah yang tinggi akan membuat biaya operasional pengadaan BBM akan semakin membengkak dan akan berimbas pada harga jual BBM ke konsumen yang semakin meningkat.
Kenaikan harga BBM akan sangat berpengaruh dan berdampak besar bagi kehidupan mayoritas penduduk, seperti adanya penyesuaian harga di berbagai sektor. Hal ini mengingat bahwa kebutuhan akan BBM terkait dengan aspek lain sehingga harga-harga lain akan ikut naik.
Dampak selanjutnya adalah turunnya daya beli masyarakat dan munculnya ancaman inflasi yaitu terjadinya kenaikan harga barang dan jasa terus menerus hingga nilai mata uang akan semakin berkurang.
Biaya operasional yang besar sebagai imbas dari naiknya BBM akan membuat usaha kecil semakin terpuruk dan yang lebih miris lagi adalah kenaikan BBM berpotensi meningkatkan angka pengangguran yang tentu akan menambah tingkat kemiskinan di Indonesia.
Inflasi, harga kebutuhan hidup yang tinggi, usaha kecil yang mati serta pengangguran dan kemiskinan yang semakin menjadi-jadi adalah hal yang akan selalu ada jika negara tidak memiliki kemandirian dalam penyediaan BBM.
Selama ini kebutuhan minyak dalam negeri tidak bisa terpenuhi secara mandiri. Kita masih tergantung kepada impor padahal Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan migas yang melimpah.
Asosiasi Perusahaan Migas Nasional bahkan mencatat bahwa potensi minyak di Indonesia mencapai 4,2 miliar barel. Kondisi negara yang masih bergantung pada impor inilah yang menyebabkan pemerintah sulit mengendalikan harga BBM.
Diketahui komponen terbesar dalam pembentukan harga BBM adalah biaya perolehannya. Harga minyak dunia menjadi penentu pembentukan harga BBM yaitu sekitar 55-60%, sedangkan 40% ditentukan oleh biaya distribusi dan penyimpanan, mulai dari pengiriman, pengolahan hingga pajak baik PPN atau Pajak Bahan Bakar Bermotor.
Posisi Indonesia sebagai negara net importir membuat dampak dari kenaikan BBM nonsubsidi sangat besar, apalagi perdagangan minyak dunia yang menggunakan standar mata uang asing, makin membuat stabilitas harga akan sulit dikendalikan dan membuat pemerintah tidak berdaya menjaga stabilisasi harga BBM juga harga-harga lainnya.
Potensi minyak yang melimpah di Indonesia selama ini tidak diimbangi oleh kemandirian eksplorasi dan eksploitasi serta didukung oleh sistem ekonomi kapitalisme yang meniscayakan kekuasaan ada pada para pemilik modal besar merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya liberalisasi migas di negeri ini.
Adanya liberalisasi migas menjadikan hanya pihak swasta atau asing yang menguasai hulu hingga hilir pengelolaan migas. Keuntungan hanya mengalir ke pihak swasta bukan pada kas negara. Sejak UU Migas 2022 disahkan, sudah 80% perusahaan minyak negara dikuasai asing atau swasta. Sebut saja British Petroleum asal Inggris, Chevron, Petronas, Premiere Oil, dan ExxonMobil Cepu Ltd yang memiliki kapasitas produksi terbesar di Indonesia. Perusahaan perusahaan ini telah mengeksplorasi serta mengeksploitasi migas sejak tahun 1912.
Sangat miris membayangkan keuntungan besar yang seharusnya dinikmati oleh rakyat namun faktanya keuntungan melimpah hanya dinikmati oleh swasta.
Semua karena sistem kapitalisme yang lahir dari rahim demokrasi. Kekayaan sumber daya alam yang harusnya dikelola negara dan menjadi hak kepemilikan rakyat bebas dikuasai dan dimiliki swasta.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, kebebasan penuh akan diberikan pada semua orang untuk melakukan kegiatan ekonomi, dominasi satu pihak pun tak akan dipersoalkan selama memiliki modal besar.
Kapitalisme membuat negara-negara kecil yang seharusnya bisa mandiri menjadi tersandera oleh berbagai perjanjian yang berkedok kerja sama namun sesungguhnya hanya menguntungkan negara besar.
Dalam Islam, sumber daya alam berupa tambang seperti migas merupakan kekayaan negara yang wajib dikelola sendiri oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan bahkan kepemilikan kepada asing maupun swasta karena migas merupakan harta kepemilikan umum yang hasil pengelolaannya htus dikembalikan kepada rakyat.
Negara menjadi institusi yang paling bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan rakyat termasuk kebutuhan BBM. Sumber daya alam yang dikelola sendiri tentu menjadikan negara mandiri hingga tak perlu bergantung kepada negara lain dalam pengadaan BBM atau penentuan harga.
Hanya Islam solusi terbaik dalam persoalan ini dan hanya dengan menerapkan Islam saja kita bisa mewujudkan kemandirian dalam seluruh aspek. Maka dari itu bersegeralah kembali kepada Islam, kepada sebaik-baik aturan yang diturunkan Allah SWT. Wallahualam bis shawab.[]
Comment