Penulis: Siti Nurhalizah, M.Pd., Gr. |
Pendidik
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Keterkaitan rencana evakuasi warga gaza ke Indonesia dengan arahan Trump untuk merelokasi warga Gaza tidak bisa ditutupi secara kronologis. Kekhawatiran keterkaitan upaya relokasi warga gaza dan diplomasi pasca kenaikan tarif Trump pun disinggung oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana Sabtu lalu.
Meskipun Presiden menggunakan istilah yang berbeda, akan tetapi keduanya serupa, yakni mengeluarkan warga gaza dari tanah airnya, apakah itu sementara atau permanen, sama-sama memudahkan Zionist mencaplok tanah Palestina. Sebab mereka tidak perlu mengeluarkan persenjataan dan upaya pengusiran secara paksa, namun cukup dengan iming-iming dievakuasi atau diobati.
Tentu upaya ini menguntungkan Israel, karena dinilai lebih “murah” untuk memindahkan rakyat Palestina dari tanah mereka, dibandingkan agenda perang yang memakan banyak dana dan korban yang selama ini mereka gencarkan.
Selain itu, tidak ada jaminan setelah evakuasi akan kembali. Meskipun Indonesia bersih kukuh akan mengembalikan warga Gaza, kemudian sekalipun rencana pengembalian ini disepakati oleh AS dan Israel, apakah ada jaminan bahwa upaya pengembalian akan dipermudah di kemudian hari?
Apakah kita telah buta dan tuli akan penghianatan demi pengkhianatan yang dilakukan oleh Israel dan didukung oleh AS selama ini?
Kepala kantor media pemerintah di Gaza mengumumkan pada hari Jumat bahwa lebih dari 350 pelanggaran dilakukan oleh Israel sejak ditandatanganinya gencatan senjata pada 15 Januari lalu (21-02-2025, aa.com).
Wajar jika umat sulit percaya, begitu pula warga Gaza melalui pernyataan yang dikeluarkan oleh MER-C, mereka tidak bersedia jika akan dievakuasi ke Indonesia dengan kondisi ketidakjelasan status pengembalian ke Gaza.
Maka umat perlu cerdas membaca fakta politik, bahwa segala bentuk upaya pragmatis merupakan upaya AS dan sekutunya perlahan menguasai Palestina, apakah itu gencatan senjata, relokasi, evakuasi, solusi dua negara, atau solusi praktis lainnya yang tidak mengangkat akar persoalan.
Mestinya Indonesia tidak terjebak oleh rencana jahat musuh-musuh Allah dan fokus kepada solusi tuntas, menghentikan penyerangan yang dilakukan oleh Israel.
Penyelesaian konflik Palestina-Israel telah diupayakan melalui berbagai cara, termasuk perang dan diplomasi. Beberapa perjanjian penting telah ditandatangani, seperti Perjanjian Camp David dan Oslo, untuk menciptakan negara Palestina merdeka. Namun, upaya ini terhambat oleh sikap Israel dan kebijakan Amerika Serikat yang pro-Israel, sehingga memperumit peluang untuk menyelesaikan konflik.
Ulama dunia pun telah memberikan fatwa untuk jihad menolong muslim palestina, akan tetapi fatwa bersifat tidak mengikat, sehingga tidak memberikan dampak apapun ketika para penguasa masih berada di bawah kendali AS.
Bagaimana tidak, mayoritas negeri-negeri muslim di dunia justru memiliki kerjasama militer dan keamanan dengan AS, tentu hal ini membatasi ruang gerak militer muslim dunia. Selain hubungan militer dan keamanan, negeri-negeri islam di dunia juga memiliki ketergantungan ekonomi terhadap AS, sehingga sulit mengeluarkan kebijakan domestik dan luar negeri tanpa pengaruh AS.
Demikian pula secara politik, mudah bagi AS membungkam negeri-negeri muslim misalnya melalui menyibukkan mereka dengan kebijakan kenaikan tarif baru-baru ini. Demikianlah jika masih bergantung secara militer, politik, dan ekonomi dengan AS, seruan jihad pun sulit direalisasi tanpa kekuatan independen dari internal muslim dunia.
Umat islam perlu bersatu dengan ikatan yang kuat agar mampu menandingi kekuatan Adidaya AS. Satu-satunya formasi persatuan yang terbukti mampu tegak dan ditakuti oleh Eropa adalah persatuan islam internasional di bawah satu kepemimpinan. Sehingga wajar jika saat ini AS melalui lembaga think tank nya fokus merencanakan berbagai program untuk menghambat kembalinya persatuan duni islam, dengan memberi stigma negatif terhadap konsep islam politik.
Melalui tegaknya persatuan dunia islam maka seruan fatwa ulama dunia akan terealisasi secara praktis, sebab jihad negara hanya akan maksimal terealisasi melalui persatuan umat islam dunia di bawah satu kepemimpinan.
Secara historis, kepemimpinan Islam sejak Rasulullah hingga para sahabat dan tabiin mampu menghapuskan berbagai penjajahan melalui sederet futuhat atau pembebasan di negeri-negeri terjajah, misalnya pembebasan Yerusalem dari penjajahan Romawi pada tahun 638 M, Pembebasan Spanyol dari penjajahan Visigoth pada tahun 711 M, dan sejumlah pembebasan lainnya.
Kendatipun jihad dan kesatuan umat merupakan solusi tuntas yang tidak diragukan lagi efektifitasnya mengusir penjajah karena telah terbukti secara historis maupun empiris, ironisnya umat islam hari ini masih belum satu suara.
Di kalangan umat islam sendiri masih ada yang terjebak dalam framing buruk barat tentang persatuan islam dunia. Padahal tegaknya persatuan dunia islam tak ubahnya serupa dengan perubahan evolusioner dunia lainnya, butuh dukungan dan kesadaran yang benar dari mayoritas umat, dalam hal ini umat islam.
Hadirnya persatuan umat dunia tidak hanya menyelesaikan tugas keummatan berupa pembebasan Palestina, persatuan islam duni menghilangkan batas-batas imajiner nation state, menghentikan genosida di berbagai belahan bumi lainnya, serta dimulainya jejak kemuliaan islam kembali melalui menerapkan syari’at islam secara utuh dan komprehensif.
Penerapan syari’at islam yang komprehensif akan mewujudkan penjagaan terhadap akidah, nasab, akal, jiwa, harta, kehormatan, keamanan, dan negara. Maka sudah sepatutnya persatuan Islam dunia mulai disuarakan dan menjadi fokus dalam setiap agenda dakwah ke tengah-tengah umat.
Dakwah menegakkan persatuan Islam duni di bawah satu kepemimpinan bukanlah agenda milik satu gerakan tertentu, akan tetapi merupakan agenda umat seluruh dunia dalam mengembalikan izzul islam wal muslimin.[]
Comment