Di Balik Fenomena Citayam Fashion Week

Opini719 Views

 

Oleh: Eno Fadli, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Citayam Fashion Week (CFW), akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian dan bahan perbincangan. Gerakan subkultur yang digagas oleh anak-anak Sudirman-Citayam-Bojong gede-Depok yang dikenal dengan anak-anak SCBD, menjadikan kawasan Dukuh Atas sebagai kawasan berkumpul dan sarana adu outfit dengan memanfaatkan zebra cross sebagai catwalk mereka berlenggak-lenggok memamerkan gaya pakaian mereka yang nyentrik.

Tentu banyak ragam komentar yang timbul karena aksi mereka ini, ada yang berkomentar positif karena menganggap kegiatan ini sebagai kegiatan yang menonjolkan kreativitas.  Daripada mereka tawuran, memakai narkoba, minum-minuman keras mereka justru berkreasi dengan memadu-padankan pakaian, sehingga hal ini menarik para artis ikut berpartisipasi dalam CFW ini. Semenjak adanya CFW pendapatan UMKM setempat meningkat, hal ini dibenarkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno, lewat pernyataannya yang dikutip dari Kompas.com, (24/07.2022).

“Saya mendapat laporan, pendapatan para UMKM yang ada di sekitar daerah Citayam Fashion Week itu meningkat sampai dua kali lipat, mulai penjual kopi keliling sampai penjual makanan kering.

Namun tidak sedikit pula yang berkomentar negatif karena kegiatan ini mengganggu aktivitas jalan raya, serta membuka peluang kriminalitas dan maksiat, bahkan tempat ini dimanfaatkan oleh kaum pelangi untuk menunjukan eksistensi diri mereka.

Viralnya CFW menarik kalangan muda di luar kawasan SCBD untuk datang kesana dengan motif yang berbeda-beda, ada yang sekedar melihat-lihat, nongkrong bareng dengan teman, untuk pacaran atau cari pacar, untuk membuat konten bahkan ikut berpartisipasi dalam CFW.

Keadaan ini membuat kawasan Dukuh Atas ramai pengunjung sehingga menimbulkan kemacetan dan mengganggu pengguna jalan raya, pada akhirnya pemerintah membubarkan aktivitas ini dan mengusulkan untuk dipindahkan pada saat jadwal Car Free Day (CFD) berlangsung (Tribun-Medan.com, 01/08/2022).

Ternyata tidak hanya di kawasan Dukuh Atas Jakarta, aksi semisal juga meluas ke daerah-daerah lain yang ada di tanah air.

Pada dasarnya, generasi muda berada pada masa dimana mereka mencari identitas diri, sehingga mereka mencari referensi untuk menemukan identitas diri. Mereka menginginkan kebebasan dan mencari hal-hal baru yang menurut mereka memberikan kesenangan, sehingga pada masa ini para generasi muda menjadikan ruang digital sebagai referensi untuk menemukan jati dirinya, ruang digital ini pula yang menjadikan generasi muda latah terhadap tren global.

Hal ini menurut kacamata kapitalis tentunya sangat menguntungkan, mereka. Generasi muda dijadikan subjek dan objek ekonomi kapitalis. Mereka menjadi budak-budak industri baru di mana didesain menjadi pribadi yang konsumtif demi mendapatkan eksistensi diri. Fenomena CFW juga dijadikan sebagai sarana untuk menambah pundi-pundi pemasukan dengan membuat konten-konten agar viral dan banyak ditonton

Padahal fenomena yang ada dilihat dari kacamata Islam merupakan aktivitas yang melanggar hukum syara’. Bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan membuka aurat dan menonjolkan perhiasan, adanya aktivitas khalwat, semua ini merupakan aktivitas terlarang dalam Islam. Ditambah lagi menjadi sarana kaum pelangi menunjukkan eksistensi agar mereka diakui masyarakat.

Untuk itulah perlu peran keluarga, masyarakat dan negara untuk mengarahkan potensi-potensi yang ada pada mereka. Karena aktivitas ini bukannya menemukan identitas dan jati diri, justru malah kalangan muda ini kehilangan identitas diri.

Islam memberi petunjuk bagaimana keluarga diarahkan menjadi madrasah al-ula bagi anak-anaknya, dengan mengenalkan dan menanamkan prinsip-prinsip keimanan kepada mereka, sehingga diharapkan dapat membentuk pola sikap, dan pola pikir Islami. Keluarga menjadi tempat mereka mendapatkan kenyamanan, tempat mereka mengadu dan bercerita sehingga mereka tidak mencari identitas diri di luar tanpa arahan.

Masyarakat juga ikut andil dalam mengarahkan mereka. Dengan kontrol masyarakat diharapkan dapat menutup celah-celah penyimpangan yang mungkin terjadi, bukan malah ikutan latah mengapresiasi aktivitas yang akan menimbulkan penyimpangan bahkan mendukung kegiatan-kegiatan tersebut. Tidak kalah penting, adanya peran negara, di mana negara bisa menjadikan sarana pendidikan sebagai tempat generasi muda ini berkreasi menyalurkan bakat mereka, serta menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung dan menjadikan pendidikan sebagai penyelenggara untuk menanamkan akidah pada diri generasi muda, sehingga diharapkan dapat menciptakan generasi muda berkualitas, tidak alay, dan tidak latah dengan perkembangan digital yang ada.

Menjadi tugas kita bersama untuk menjadikan generasi muda sebagai tonggak peradaban, menjadikan mereka menjadi generasi berkualitas yang mendulang berjuta prestasi tanpa meninggalkan identitas diri mereka sebagai seorang muslim.Wallahu a’lam bishshawab.[]

Comment