![]() |
Dhita Nur Arifah |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Negara yang baik akan menjadikan kehidupan masyarakatnya baik pula. Dalam sebuah negara yang baik dalam arti sesungguhnya, kebutuhan hidup seluruh warga terjamin dan terpenuhi. Begitupun dalam persoalan keamanan, rakyat hidup tenang, aman dan tentram. Masyarakat hidup damai, jauh dari sikap permusuhan dan saling membenci. Mereka justru toleran dan saling memaafkan. Dengan kondisi seperti itu, ampunan Allah yang Maha Pengampun turun kepada mereka.
Namun, realita yang kita temukan sangat berbeda, Indonesia dengan kondisi centang perenang, justeru menjadi negeri yang jauh dari apa yang diharapkan. Negeri ini berlimpah sumber daya alamnya namun tak dapat menjamin kemakmuran penduduknya. Pasalnya, sebagian besar kekayaan itu justru diserahkan ke pihak asing. Sehingga, warga pun tidak mudah untuk memenuhi kebutuhan pokok, pelayanan kesehatan yang memadai, juga jaminan keamanan.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam tetapi keislaman tersebut tidak nampak dalam kehidupan bahkan aturan Islam yang kaffah tidak diimplementasikan secara ril dalam mengatur kehidupan masyarakat
Gambaran Al-Quran.
Baldatun thayyi-batun wa rabbun ghafur ada dalam firman Allah SWT. Frasa tersebut disematkan pada negri Saba’.
Sungguh bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), “Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Negeri kalian) adalah negeri yang baik dan (Tuhan kalian) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (QS Saba’ [34]:15).
Imam Ibnu Katsir rahi-mahulLah, menafsirkan ayat ini, “Saba’ adalah (sebutan) raja-raja Negeri Yaman dan penduduknya…” inti dari tafsir tersebut yaitu Saba’ pada awalnya berada didalam kenikmatan dan kebahagiaan yang mengisi negeri mereka, keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga masa yang Allah kehendaki. Lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka. Akibatnya, mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka di banyak negeri. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/445). Adapun makna “rabbun ghafur”, menurut Imam ath-Thabari rahimahulLah, bermakna “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun jika kalian menaati-Nya.” (Tafsir ath-Thabari, 6/215).
Belajar dari kaum Saba’, seharusnya umat Islam dapat mengambil hikmahnya, seperti: kemakmuran dan kejayaan suatu kaum semata-mata adalah karunia Allah SWT. Hal itu bisa diraih dengan cara mentauhidkan Allah SWT, mengimani dan mengikuti ajaran rasul-Nya serta menerapkan syariah-Nya.
Allah SWT berfirman, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu kami menyiksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka itu. (QS Al-A’raf [7]:96)
Dalam konteks Indonesia, bagaimana mungkin aneka kebaikan dan ampunan Allah SWT akan datang bila bangsa ini terus melakukan berbagai kemaksiatan. Ekonomi ribawi terus dipraktikan. Kehidupan sosial liberal-hedonis terus dipertahankan. Syariah Allah SWT tetap di campakkan. Para penguasa terus berdusta. Para penista agama justru dibela.
Jika bangsa ini tidak segera melakukan tawbat(an) nashuha, dengan meninggalkan semua kemungkaran dan kembali ke jalan Allah SWT, pasti negeri ini pun akan mengalami kehancuran. Oleh karena itu, jika bangsa ini mengehendaki negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, semestinya mereka berusaha keras mengubah kondisi fasad ini agar sesuai dengan tuntunan Allah SWT.
Caranya adalah dengan melaksanakan syariah-Nya secara kaffah. Itulah tuntunan hakiki untuk kaum muslim yang mengharapkan keberkahan dan ampunan Ilahi. Bukankah ironi jika kita mengharapkan kebaikan datang tetapi justru kita menjauh dari Allah SWT sebagai pemilik segala kebaikan?[]
Penulis adalah mahasiswi UPI Cibiru, Bandung – Fakultas Pendidikan, PGSD semester 1
Comment