RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Setelah penaklukan Konstantinopel yang terjadi pada tanggal 29 Mei 1453 M, Muhammad Al Fatih, berdialog dengan gurunya, Syaikh Aaq Syamsuddin. Muhammad Al Fatih menanyakan mengapa engkau memukul aku, pada satu kasus aku tidak layak dipukul keras?
Syaikh Aaq Syamsuddin (1389-1459), salah satu guru yang berkesan diantara guru lain. Ia berani memukul muridnya, anak sultan. Diantara guru-guru yang lain tidak ada yang berani. Bahkan, ketika dipukul oleh gurunya itu, ia mengatakan, “Berani-beraninya memukul aku! Akan aku sampaikan, apa yang kau lakukan padaku”.
Kata Syaikh Aaq Syamsuddin, “Panggil ayahmu. Mana Sultan?” Inilah yang sangat berkesan, sehingga ketika selesai penaklukan Konstantinopel, Muhammad Al Fatih bertanya seperti itu.
Syaikh Aaq Syamsuddin pun menjawab, “Aku ingin mengajarkan padamu, bagaimana sakitnya dizhalimi orang dan aku juga ingin mengajarkan kepadamu, bagaimana kezaliman itu menyesatkan”.
Sesuatu yang tidak nyaman. Lalu Sekarang aku bertanya kepadamu wahai Muhammad, tahukah kamu rasanya setelah menaklukan Konstantinopel?” Muhammad Al Fatih kemudian mengatakan, “Syeikh, aku baru merasakan, apa yang setiap pagi engkau lakukan pada diriku, mengajakku ke tepian pantai”.
Syeikh Aaq Syamsuddin setiap pagi selalu mengajak Muhammad Al Fatih ke tepian pantai di selat Bosporus. Sambil menatap Konstantinopel, sang Guru mengatakan kepada Muhammad. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Konstantinopel akan kita taklukan.
“Sungguh. Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin (yang menaklukkan) nya dan sebaik-baik tentara adalah tentaranya”. “Dan aku ingin, Engkaulah orangnya wahai Muhammad”.
Kalimat itulah yang selalu diucapkan oleh Syeikh Aaq Syamsuddin kepada Muhammad Al Fatih setiap pagi sambil menatap Konstantinopel. Sebuah benteng Bizantium yang berabad-abad menjadi kota besar bangsa Romawi.
Hadits ini terbukti 600 tahun kemudian pada tanggal 29 Mei 1453. Muhammad Al Fatih mengatakan, Aku merasakan setiap pagi di tepian pantai yang kau katakan itu menjadi Tummuhat, yaitu “ambisi yang besar”.
Sesungguhnya watak orang-orang beriman tidak pernah kehabisan tummuhat. Tidak pernah kehabisan Ambisi. Orang-orang yang beriman sangat yakin sekali bahwa apa yang terjadi di sekitarnya adalah karena kehendak Allah SWT.
Muhammad Al Fatih menyimpan apa yang didapatkan oleh gurunya, terabadikan dalam dirinya untuk bisa menyelesaikan keinginan yang kuat itu dilestarikan pada dirinya itu. Rasulullah SAW mengajarkan pada kita melalui perang Ahzab. Rasulullah SAW dikepung oleh koalisi musuh-musuh besarnya pada waktu itu. Yahudi, Quraisy dan kabilah-kabilah Arab.
Pada waktu itu dalam kondisi paceklik, sehingga Rasulullah SAW mengganjal perutnya dengan batu. Dalam keadaan seperti ini banyak orang akan berfikir, bagaimana menyelesaikan paceklik dan lapar.
Tapi Rasulullah SAW membangun ambisi kaum muslimin ketika ada sebuah batu besar yang dipukul kemudian memercikkan api lalu percikkan api itu ditampakkan istana putihnya Romawi, istana merahnya Persia, istana hijaunya Iskandariyah.
Rasulullah SAW memberikan kabar gembira, nanti kita akan menaklukan Romawi, Iskandariyah dan Persia. Barangkali kalau berpikir sehat, menurut logika kita, sudahlah tidak usah berpikir macam-macam, menaklukan negeri-negeri besar, sekarang berpikir realistis saja menyelesaikan urusan paceklik.
Tetapi tidak yang dibangun oleh Rasulullah SAW. Semangat yang kemudian mewariskan penaklukan-penaklukan yang dilakukan kaum muslimin dan para sahabat. Sama halnya ketika Muhammad Al Fatih belajar dari gurunya Syeikh Aaq Syamsuddin dan dari seorang sahabat Abu Ayyub Al-Anshari.
Benteng Konstantinopel adalah benteng besar dengan ketinggian 19 meter dengan ketebalan 2.5 meter. Banyak orang berkesimpulan bisa menembus benteng ini dan membukanya secara paksa. Cara yang harus dilakukan adalah cara-cara di luar kebiasaan. Yaitu mengirimkan orang ke dalam benteng itu melalui meriam besar.
Dilontarkan dari luar supaya ia berada dalam benteng kemudian ia lari membuka benteng. Kemudian kita yang berada di luar benteng bisa masuk berbondong-bondong ke dalam benteng. Ketika proyek ini akan digulirkan ada seseorang yang mengkritisinya dengan membaca QS Al Baqarah: 195.
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [195]”
Jangan lakukan itu karena ini adalah program bunuh diri. Bunuh diri dilarang dalam Islam. Ayub Al Anshari yang waktu itu berusia 93 tahun mengungkapkan bahwa surah tersebut bukanlah program tentang kita.
Ayat itu berkaitan dengan permintaan orang-orang Madinah cuti dari dakwah. Mereka minta diberikan waktu menyelesaikan pertanian dan perekonomian mereka setelah sekian lama mengikuti perjuangan bersama Rasulullah SAW. Lalu mereka berharap mendapatkan sebagian waktu untuk cuti mengurusi ekonominya.
Allah dan Rasul mendengarkan paparan permintaan mereka untuk cuti. Allah SWT memberikan jawabannya. Minta cuti berdakwah sama dengan bunuh diri. Itu adalah yang dipahami oleh Ayub Al Anshari, kemudian ia mengatakan kalau begitu program melontarkan orang ke dalam benteng ini harus dilanjutkan dan akulah orang yang pertama.
Kemudian ayub dimasukkan ke dalam meriam besar dan dilontarkan ke dalam benteng dan ternyata Ayub jatuh ke tengah barisan musuh dan terbunuh. Islam mengajarkan kepada kita membangun Ambisi.
Selama ini kita dihadapkan pada situasi pesimis dan putus asa yang menyebabkan Ambisi kita tidak tumbuh dengan subur bahkan ada orang yang berpikir realistis saja tidak usah berpikir lebih daripada itu.
Padahal Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa ketika kita menanamkan harapan besar harus menjadi bangunan yang besar. Bangunan Ambisi yang abadi. Yang mengantarkan kita bisa merealisasikan cita-cita yang besar.
Karena itu, Muhammad Al Fatih sangat berkesan, apa yang diajarkan oleh gurunya untuk setiap pagi melihat di sebelah sana benteng Konstantinopel yang akan ditaklukan itu. Dirawat keabadian Ambisinya sampai kemudian mewujudkan hadits yang disampaikan oleh Imam Ahmad dan Tarmidi dan ternyata menyeleasikan apa yang diinginkan oleh Rasulullah SAW dalam kurun waktu yang cukup lama, 600 tahun.
Karena itu, menjaga sebuah Ambisi ini seperti yang disebutkan dalam QS Al Ahzab: 22. Allah SWT mengingatkan ketika orang-orang mukmin itu menghadapi pasukan Ahzab. Mereka tidak gentar, mereka tidak berpikir tentang paceklik.
Mereka juga tidak memikirkan apa yang harus mereka lakukan keluar dari konspirasi tapi mereka kemudian yakin sekali mereka bisa menyelesaikan apa yang diberikan oleh Allah SWT pada saat itu dengan mengatakan inilah yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya. Tidak menambah apapun dalam diri mereka kecuali keimanan dan kepasrahan kepada Allah SWT. (TJP)
sumber:mqapkpu
Comment