RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Hari Anak Nasional diperingati tiap tanggal 23 Juli setiap tahun. Tema tahun ini adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju,” dengan tagline #AnakIndonesiaGembiradiRumah.
Namun sebelumnya, mari kita menilik fakta yang ada. Bagaimana sebenarnya kondisi anak Indonesia hingga hari ini? Apakah sudah aman, bahagia dan terlindungi?
Mengutip situs kemenpppa.go.id (23/06/2020), Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings menyatakan bahwa berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak. Di antaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, di mana angka ini tergolong tinggi.
Laman suara.com, (23/3/2020) menjelaskan, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2019 khususnya di satuan pendidikan, tercatat sebanyak 21 kasus pelecehan seksual dengan jumlah korban 123 anak. Dari 123 korban ini, terdapat 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki.
Betapa miris ternyata masih banyak sekali kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak dan generasi. Meski Hari Anak Nasional sudah diperingati di Indonesia sejak tahun 1984 dengan berbagai tema, namun kondisi anak Indonesia sampai dengan hari ini belum seperti yang diharapkan. Bahkan makin memprihatinkan, karena kekerasan pada anak justru terus meningkat.
Lantas apa yang salah dengan merebaknya kasus terhadap anak? Mungkinkah ada pemahaman yang salah? Atau sistem kehidupan yang tidak benar yang selama ini diadopsi oleh negeri ini?
Sebab tampak di masyarakat, termasuk para orang tua saat ini – yang tidak menjadikan keberadaan anak sebagai amanah Allah SWT yang harus dijaga dan dididik dengan baik. Bahkan, tak sedikit yang lalai dan lupa akan adanya pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak di akhirat.
Terlebih para ibu yang kini “terpaksa” harus bekerja di luar rumah akibat tuntutan dan tekanan ekonomi yang begitu besar sehingga anak-anak kehilangan sosok seorang ibu dalam kesehariannya. Fitrah mulia yang disematkan Allah pada seorang ibu menjadi tak utuh bahkan ada juga yang benar-benar hilang.
Tak jarang, akibat rasa lelah dan berbagai tekanan yang dirasakan seorang ibu, membuat emosi rawan tak terkendali hingga anak menjadi tempat meluapkan emosi.
Ini membuktikan bahwa anak negeri saat ini belum terlindungi bahkan oleh dan dari orang tuanya sendiri. Karena masih ditemukan kasus kekerasan terhadap anak di dalam rumah.
Kalau saja peran orang tua, terutama ibu sebagai madrasah, pendidik dan penjaga utama terhadap anak ini disadari oleh seluruh ibu di negeri ini dan didukung negara untuk mengembalikan kedudukan ibu yang mulia, maka kasus kekerasan terhadap anak akan terminimalisir.
Sistem kapitalisme sekular saat ini telah merenggut hak-hak anak karenak telah memaksa orang tua mereka bekerja dan disibukkan oleh kebutuhan hidup yang mencekik, biaya pendidikan, biaya kesehatan dan biaya lain yang membelenggu.
Dengan kondisi ini, anak-anak tidak dapat terkontrol dan terlindungi dari kerusakan. Justru anak-anak rentan menjadi korban luapan amarah orang tua.
Islam memiliki hukum tersendiri terhadap peran orang tua terkait kewajiban dirinya sebagai pemimpin sebuah rumah tangga untuk mencari nafkah dan bukan pada wanita (ibu).
Dalam Islam, perempuan bekerja adalah mubah selama tidak meninggalkan periayahan dan tanggung jawab terhadap anak.
Namun sistem saat ini menganggap bahwa perempuan bekerja adalah wajib sebab dan karena tuntutan ekonomi.
Dalam Islam, peran seorang ibu ditempatkan secara tepat dan proporsional sebagai warabbtul baith bukan sebagai pemangku dan atau penopang ekonomi keluarga.
Islam menjamin para kepala keluarga mendapat pekerjaan, pendidikan dan segala kebutuhan mendasar. Ini menjadi kewajiban negara demi memenuhi kebutuhan rakyat.
Dengan demikian, tanggung jawab ekonomi dan nafkah seorang suami dalam sebuah rumah tangga tidak hanya terbebani di pundak seorang suami dan seorang isteri pun tidak wajib dalam hal ini.Wallahu A’lam.[]
*Ibu Rumah Tangga, tinggal di Kaltim
Comment