RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Melalui tulisan ini aku ingin berbagi cerita dengan teman pembaca semua. Inilah kisahku. Dulu aku adalah penganut Kristen protestan dan alhamdulilah sejak 2012 lalu aku kembali kepada Islam.
Kisah kembali memeluk Islam berawal dari teman dan juga pasangan hidupku yang beragama Islam. Saat itu di hati kecilku mulai timbul benih dan rasa cinta kepada Islam.
Sebenarnya aku sendiri lahir dari kedua orang tua yang beragama Islam namun aku tidak tinggal dengan kedua orang tua tetapi dengan kakak dari ibu yang berbeda agama, protestan.
Karena itulah aku pun hidup dan mengikuti kepercayaan budheku yang protestan itu.
Sejujurnya aku akui sejak usia sekolah dasar sudah ada keraguan dan rasa bimbang menyelinap di dasar hati ku yang paling dalam dengan agamaku yang baru, protestan.
Mengapa demikian? Sebab mayoritas teman dan saudara sepupuku pun penganut Islam. Hanya aku saja yang kurang begitu paham jika Islam itu adalah agama yang benar dan satu-satunya agama yang diridhoi Allah Swt.
Ini mungkin disebabkan usiaku yang belum sampai pada taraf berpikir seperti itu. Selain itu, aku pun tidak mendapatkan informasi dan pembelajaran tentang Islam dari keluarga sehingga aku tidak tertarik dengan Islam.
Saat usiaku menginjak 13 tahun, saat itu aku sedang aktif-aktifnya mengikuti berbagai kegiatan di gereja. Bahkan sempat muncul di benak sebuah cita-cita untuk menjadi seorang hamba Tuhan, sering dikenal sebagai pendeta (biarawati).
Pada usia itu pula aku sudah memulai berbagai traning sebagai pendeta di Semarang. Hari-hariku disibukkan dengan menghafal ayat demi ayat alkitab (injil) dan belajar bagaimana menjalankan setiap tugas dengan baik dan benar.
Semua aku jalani dengan enjoy sampai akhirnya muncul rasa jenuh dan rindu dengan kehidupan luar dan ingin merasakannya sebagaimana kebanyakan anak-anak seusia aku saat itu.
Pada usiaku 16 tahun, aku mulai kenal seorang laki-laki beragama Islam dan terus menjalin hubungan yang kemudian diketahui oleh pendeta.
Aku pun dikeluarkan dari pembinaan dan tidak bisa masuk asrama kejuruan. Anehnya, aku justeru senang dengan hukuman yang diberikan pendeta. Semenjak itu aku jalani kehidupan layaknya anak-anak seusiaku yang sedang kasmaran tentunya. Masa masa indah kehidupan remaja dengan pergaulan dan jatuh cinta.
Aku berpikir untuk hidup normal tanpa banyak aturan yang membuat aku tertekan. Sebagai remaja aku ingin merasakan pacaran dan bebas seperti kebanyakan remaja seusiaku.
Karena tidak tinggal dan dalam pengawasan orang tua, menjadikan aku bebas menentukan hidup sendiri. Sampai akhirnya dipaksa untuk menikah muda daripada keluyuran yang tidak jelas.
Kebetulan ada seorang laki-laki muslim melamar dengan harapan agar aku masuk Islam dan dinikahkan secara Islam. Tapi, setelah menikah pun tetap saja kami menjalani kepercayaan masing-masing.
Karena perbedaan pandangan dalam biduk rumah tangga, muncul banyak percekcokan dan situasi yang tidak nyaman.
Akhirnya dengan kondisi tidak nyaman itu rumah tanggaku hanya bertahan seumur jagung dan kami pun berpisah.
Setelah perceraian itu kehidupan yang tidak menentu pun aku jalani tanpa ada arti, hidup sesuka hati dan nggak peduli, sampai akhirnya aku bertemu seorang teman satu kerjaan. Hubungan kami sangat dekat, ibarat kakak adik.
Sering juga aku bermalam dan menghabiskan waktu di rumah temanku yang satu ini karena merasa nyaman berada di sampingnya. Seakan aku memiliki sosok kakak perempuan yang penyayang dan juga ada budhe pakdhe yang sudah seperti orang tuaku sendiri.
Malam itu tepat di bulan ramadhan dan untuk pertamakalinya dia mengajak aku sholat. Aku diajaknya ke mushola yang tidak jauh dari rumahnya.
Sebelumnya memang sudah ada obrolan kecil yang mengajak aku bersyahadat. Entah bagaimana hatiku tergerak begitu saja dan aku pun berangkat menuju mushola untuk ikut sholat tarawih.
Selepas sholat tarawih, akupun di pertemukan dengan seorang ustad yang malam itu ada di mushola dan beliaulah yang membimbingku bersyahadat.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapat pekerjaan di luar kota dan akhirnya berpisah dengan temanku itu. Aku memang telah masuk Islam tapi tak tahu harus bagaimana.
Tibalah aku di kota tempat aku bekerja yang kini menjadi tempat aku tinggal. Tidak ada yang menyangka, 1 bulan di tempat itu aku kembali dipertemukan dengan laki-laki muslim, yang akhirnya menjadi suamiku hingga kini. Kami pun menikah dan dikaruniai 2 orang putra.
Setelah kelahiran putra ke 2 dari pernikaan ke 2 ini, aku baru belajar mengaji dan belajar mengenal apa itu Islam, yakni di tahun 2017, waktu yang cukup lama di mana aku baru bergerak mempelajari agama islam.
Namun tentu semua punya alasan kenapa, karena adanya ketidak- tahuan dan keterpaksaan dalam diri sehingga belum lahir keihklasan.
Setelah mempelajari Islam dan mengaji 2 tahun belakangan ini sungguh aku temukan hal-hal menarik yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata. Islam telah merubah segalanya.
Kebodohan, keangkuhan, dan segala hal yang dulu melekat perlahan terkikis oleh pemahaman.
Islam menjadikan aku lebih menghargai waktu dan usia, menghargai setiap peristiwa yang selalu bisa kita ambil hikmahnya.
Islam itu memang luar biasa, tak ada satu hal pun yang tidak bisa diterima oleh akal kita sebagai manusia yang berfikir, bahwa apa yang Rasulullah saw bawa ini benar agama yang sesuai dengan fitrah manusia.
Ternyata tak hanya membahas soal ibadah namun segala hal dibahas di dalam Islam, mulai dari bangun tidurnya seseorang hingga bangun negara.
Maka sungguh aneh ketika orang Islam itu hanya menjadi Islam yang biasa-biasa saja, sebab yang aku dapati Islam itu luar biasa. Ketika menjadi Islam yang biasa-biasa saja sebenarnya dia sedang berislam dengan alasan apa?
Padahal yang aku yakini Islam itu agama dan aturan hidup yang sangat sempurna.
Kesempatan itu pula yang menjadi alasan kenapa aku kini yakin dengan agama islam.
Sentuhan hidayah Islam itu memang sangat kita perlukan, karena hanya dengan kita mengenal Islam secara keseluruhannya akan terjadi sebuah perubahan besar mulai dari diri kita hingga alam semesta.
Sadar hidup tak sekedar cari makan, dan kebahagiaan itu bukanlah lahir dari kebebasan, namun kehidupan sekarang menentukan kebahagian yang kekal dan abadi di akhirat kelak.
Aku bersyukur jika di usia 29 tahun ini masih diberi kesempatan untuk mengkaji Islam lebih dalam, sebelum terlanjur tua dan tak mampu berbuat apa-apa.
Islam memang luar biasa. Semakin dikaji akan memberi dampak positif dan semakin membuat hati penasaran dengan banyak kebaikan.
Aku bersyukur, Allah masih memberiku hidayah. Sejatinya aku kini fokus untuk ngaji dan ngaji karena Islam memang harus dikaji agar sampai kehati.[]
Comment