Desi Yunise, S.TP*: BLT , Mengapa Harus Telat?

Opini619 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah resmi memberikan Bantuan Langsung Tunai atau BLT. BLT ini diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat miskin yang terdampak pandemi Covid-19. (CNBC Indonesia. 27/4/2020).

“Syarat penerimanya adalah keluarga miskin yang bukan termasuk penerima Program Keluarga Harapan (PKH), tidak memperoleh Kartu Sembako dan Kartu Prakerja,” demikian keterangan Kementerian Keuangan, Senin (27/4/2020).

Dikutip dari rilis Kemensos, Senin (27/4/2020), Juliari menjelaskan, bantuan yang diberikan pemerintah ini merupakan wujud negara hadir di masyarakat. Untuk itu, setiap warga yang sudah terverifikasi terdampak Covid-19 mendapatkan bantuan tunai sebesar Rp 600 ribu per keluarga per bulan.

Bantuan tersebut akan disalurkan selama tiga bulan berturut-turut yang akan dibagikan langsung ke rumah warga.

Masih di laman yang sama, Kemensos menyebutkan bahwa yang akan menerima BLT ini masing masing di wilayah Jakarta, Bogor- Depok- Tangerang- Bekasi (Bodetabek) dan di luar Jabodetabek.

Adapun Jakarta ada sejumlah 1, 22 juta Kepala Keluarga (KK). Untuk wilayah Bodetabek bantuan akan menyasar 576 ribu KK. Sementara di luar wilayah Jabodetabek , BLT akan menyasar 7, 46 juta KK. Berarti, total yang akan menerima BLT sebanyak 9,25 juta KK di seluruh Indonesia.

Apakah bantuan untuk tiap KK sejumlah Rp 600 ribu ini mencukupi kebutuhan keluarga miskin? Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2019, sesorang dinilai miskin dengan penghasilan di bawah Rp 440.538,-/ kapita/bulan.

Rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,58 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, secara kotor pengeluaran keluarga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp 2, 02 juta /rumah tangga/bulan. Sedangkan besarnya bantuan hanya Rp 600 ribu per KK.

Jumlah ini jauh dari yang dibutuhkan keluarga miskin. Karenanya, potensi kelaparan masih mengancam penduduk miskin.

Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah semua penduduk miskin menerimanya? Selayaknya yang menerima BLT adalah penduduk miskin, rentan miskin dan hampir miskin. Sebab semua kelompok inilah yang paling parah terdampak wabah Covid-19.

Baik karena pengangguran atau kelaparan. Jumlah penduduk miskin menurut BPS pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang. Jika asumsi per keluarga ada 4,58 orang , berarti ada sekitar 5,41 juta KK terkategori miskin. Hendry Saparini, Founder Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menyebutkan bahwa jumlah penduduk rentan miskin dan hampir miskin sebanyak 64,28 juta jiwa (vivanews, 9 Desember 2019).

Jadi, seandainya asumsi per KK ada sekitar 4,58 orang, berarti ada sekitar 14,03 juta KK terkategori rentan miskin dan hampir miskin. Sehingga total yang layak mendapat bantuan BLT baik dari keluarga miskin, rentan miskin dan hampir miskin ada sebanyak 19,44 juta KK.

Angka ini jauh lebih banyak dari penerima yang disiapkan pemerintah saat ini, yaitu sebanyak 9,25 juta KK.
Adanya penduduk miskin yang tak menerima bantuan ini dapat menimbulkan persoalan tersendiri di tengah masyarakat. Kecemburuan sosial tak bisa dihindari.

Dalam penyalurannya, BLT ini pun dinilai berbelit. Kewajiban administrasi dan keharusan memiliki rekening bagi warga membuat BLT tak mudah dicairkan. Sementara urusan perut tak bisa ditunda.

Inilah yang memicu Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, Sehan Salim geram. Ia menilai mekanisme pembagian BLT dari pemerintah pusat dianggap sulit.

Dikatakannya mekanisme pemberian BLT tersebut terbilang menyulitkan warga. Warga, menurutnya, tak bisa harus menunggu lama untuk mendapatkan bantuan itu. (DetikNews, 26/4/2020).

Keterlambatan pencairan dana BLT ini memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintah. Hal ini wajar sebab untuk urusan kebutuhan jasmani seputar perut memang tak bisa ditunda. Jika terlambat, kelaparan yang melanda rakyat bisa berujung pada kematian.

Seperti yang terjadi pada seorang ibu rumah tangga di Banten baru baru ini. Yuli, harus meninggal akibat terlambat mendapatkan bantuan.

Sistem politik demokrasi sekuler yang diterapkan di negeri inilah biangnya. Sekulerisme telah menyingkirkan agama dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pemimpin telah kehilangan nilai-nilai luhur dalam mengurus rakyatnya.

Padahal jabatan adalah amanah. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnyadi hari kiamat kelak. Pemenuhan hajat publik adalah tanggung-jawab penuh dari penguasa. Sesuai sabda Rasulullah SAW :
“sesungguhnya seorang penguasa adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR. Muslim dan Ahmad).

Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme menjadi pangkal kemiskinan rakyat. Kebebasan kepemilikan yang dipraktekkan di negeri ini menyebabkan kekayaan beredar pada segelintir individu atau perusahaan privat. Tata kelola kekayaan alam yang tidak adil dan eksploitatif menjadikan rakyat harus menanggung derita.

Padahal Allah SWT memberi karunia sumber daya alam yang sangat berlimpah di negeri zamrud khatulistiwa ini. Kekayaan alam yang berlimpah ini dijadikan oleh Allah sebagai milik umum. Sementara di negeri ini, ketimpangan yang terjadi.

Di Indonesia dalam hal kekayaan seperti yang dilaporkan dalam Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di tanah air. Sementara 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk..

Sudah semestinya, harta kepemilikan umum dapat menjadi sumber pemasukan negara yang berlimpah. Harta Hadits Rasulullah SAW :
“ Manusia berserikat dalam 3 hal, yaitu air, padang gembalaan dan api” (HR Abu Daud dan Ahmad).

Sehingga air, sungai, lautan, samudera dan segala isinya, hutan, energi dan sebagainya adalah milik umum. Rakyat boleh secara langsung memanfaatkannya. Tak boleh ada satu pihak pun menghalangi rakyat menggunakannya.

Adakalanya, kekayaan tersebut tak mudah dimanfaatkan secara langsung. Misalnya minyak bumi, gas alam, atau barang tambang lainnya. Hal ini dikarenakan eksplorasinya membutuhkan keahlian, teknologi tinggi atau biaya yang besar.

Pada kondisi ini, negara wajib mengelolanya dan hasilnya dimasukkan ke kas negara. Pemasukan ini menjadi sumber pemasukan negara yang luar biasa untuk kepentingan rakyat .

Adapun barang tambang yang tak dikonsumsi rakyat seperti emas , perak, tembaga , dan sebagainya bisa dijual ke luar negeri dan kebutuhan dalam negeri. Keuntungannya dibagikan ke seluruh rakyat dalam bentuk uang, sembako, barang, sekolah gratis, rumah sakit gratis dan pelayanan umum lainnya.

Sudah saatnya, negeri ini mengentaskan kemiskinan melalui sistem politik ekonomi berdasarkan syariah.[]

*Komunitas Rindu Islam

Comment