Penulis: Nadiya Ramadhana Hayati, Mahasiswi Tazkia – CQC
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Film “Siapa di Atas Presiden?” adalah sebuah cermin yang memantulkan bayangan kelam politik modern, di mana kekuasaan menjadi medan pertempuran yang penuh tipu muslihat dan ambisi.
Dalam dunia ini, mereka yang bermimpi meraih tahta presiden seolah ingin memetik buah dari pohon yang berbuah manis, namun sering kali yang mereka dapat adalah buah yang dipenuhi racun kekuasaan.
Di satu sisi, ada tokoh yang bernama Bagas Notolegowo, seorang kesatria yang berjuang untuk menegakkan keadilan. Namun, perjuangannya bak perahu yang berlayar di tengah badai, dihantam gelombang fitnah yang mencoba menggulungnya ke dalam jurang kehancuran.
Di sisi lain, ada Faisal Abdul Hamid, seorang pion yang dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat, yang lebih tertarik mencari keuntungan pribadi daripada menegakkan kebenaran.
Di balik layar, dunia politik adalah panggung sandiwara yang dikuasai oleh mereka yang memiliki kedudukan dan kekuatan tak tampak. Mereka yang berkuasa berlayar dengan kapal besar, mengarungi lautan demokrasi dengan layar yang penuh angin kepentingan.
Tidak peduli betapa busuknya cara yang digunakan, mereka tetap mengarahkan kapal mereka ke tujuan yang mereka inginkan, dengan nyawa sebagai taruhan dan moral sebagai korban.
Namun, dalam kekelaman ini, ada satu kekuatan yang tak bisa dibendung yaitu opini publik. Seperti api yang menyulut bara, opini masyarakat mampu membakar tumpukan kebohongan dan ketidakadilan. Ketika kebenaran disembunyikan dalam peti besi, opini rakyat menjadi kunci yang membuka peti tersebut.
Seperti anak Bagas yang berjuang untuk membangkitkan kesadaran publik, masyarakat akhirnya bergerak, mengangkat suara mereka dalam bentuk demonstrasi, hingga akhirnya kebenaran pun kembali tercipta.
Namun, film ini mengingatkan kita bahwa meskipun wajah presiden yang terpilih mungkin terlihat cerah bagaikan mentari pagi, sistem yang salah akan tetap menjadi kabut yang menghalangi sinarnya.
Sistem ini meskipun dibalut janji manis, pada akhirnya hanya melahirkan lebih banyak bayangan, lebih banyak wajah yang tampaknya baik namun terjebak dalam permainan kekuasaan yang sesat. Seperti filosofi yang terkandung dalam film ini, “Sistem yang sama akan melahirkan orang-orang yang sama.”
Mereka yang berada di puncak kekuasaan tetaplah terikat oleh sistem yang korup, walau mereka tampak seperti malaikat di mata rakyat.
Di dunia yang penuh dengan permainan politik ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kekuasaan tak lagi bergantung pada siapa yang benar atau siapa yang salah, melainkan siapa yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan takdir.
Seperti yang digambarkan dalam film, “Siapapun yang punya kekuasaan, dia yang akan mendapatkannya.” Bahkan jika yang terpilih tampak seperti lambang kebaikan, jika ia tetap berada dalam sistem yang rusak, maka lambat laun ia akan tunduk pada sistem itu.
Sistem yang saya maksud di atas adalah system demokrasi yang sedang diterapkan kebanyakam negara-negara di dunia hari ini. Begitulah gambaran wajah demokrasi. Mungkin orang-orang mengatakan bahwa itu adalah sistem paripurna “Soekarno tidak bisa dibantah oleh siapapun”, tapi nampaknya mungkin banyak sekali hal-hal yang perlu kita pikirkan kembali, karna jangan sampai kita terjebak dengan sandiwara yang telah direncanakan ini.
Jadi teringat perkataan dari pak Mahfud MD tahun 2012 ketika beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, beliau berkata :
“Ketika kita masuk ke dalam sistem demokrasi, bahkan malaikat pun bisa menjadi iblis.”
Semua itu menegaskan bahwa sistem yang murni adalah sistem yang berdasar pada keadilan hakiki, sistem Islam. Sementara sistem demokrasi, dengan segala kekurangannya, tetaplah sistem yang penuh dengan penyelewengan dan ketidakadilan.[]
Comment