Penulis: Waryati | Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Perubahan dalam segala lini kehidupan sangat diharapkan masyarakat Indonesia dengan adanya pergantian seorang pemimpin. Melalui ajang pemilu, rakyat diberikan hak politik untuk memilih siapa calon terbaik dan layak memimpin untuk lima tahun ke depan.
Pemilu dianggap sebagai jembatan perubahan serta ajang kontestasi yang menjadi prosedur utama dalam demokrasi dan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Benarkah demikian? Benarkah tujuan penyelenggaraan pemilu untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib, serta dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat dan hak asasi warga negara?
Berikut fakta pemilu dalam demokrasi.
Pertama adanya kucuran dana luar negeri.
Tim khusus Analis Transaksi Keuangan (PPATK) seperti ditulis CNBCIndonesia (12/01/2024), mengungkapkan adanya aliran dana sebesar 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan ada 21 rekening bendahara yang terendus menerima aliran dana fantastis tersebut. Adapun jumlah transaksinya mencapai 9.164 transaksi.
Sebuah negara akan berdiri kokoh sekaligus memiliki kedaulatan penuh ketika negara tersebut bebas dari intervensi asing. Penyelenggaraan pemilihan pemimpin harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang benar dan memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin. Barulah keterpilihan pemimpin tersebut dapat mewujudkan perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan.
Namun kondisi perpolitikan saat ini ternyata tidak sejalan dengan keinginan rakyat dan tujuan dari politik itu sendiri. Adanya aliran dana luar negeri yang masuk ke rekening partai menunjukkan pemilu sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan.
Dengan fakta yang terungkap tersebut, rakyat harus mewaspadai adanya bahaya di balik itu, yaitu tergadainya kedaulatan negara. Betapa tidak, uang sebanyak itu diberikan secara cuma-cuma? Tentu sangat tidak mungkin, karena tidak ada makan siang gratis. Terbukti terjadi di setiap kepemimpinan begitu banyak Undang-undang digolkan atas campur tangan asing.
Politik demokrasi berbiaya tinggi.
Sudah menjadi rahasia umum dalam membentuk suatu parpol hingga parpol lolos terdaftar di parlemen dengan seperangkat alat penunjangnya membutuhkan biaya tak sedikit. Sehingga rawan adanya kucuran dana berbagai pihak yang ingin mendapatkan bagian. Akibatnya parpol dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya, bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Sehingga siapa pun terpilih maka oligarki lah pemenangnya.
Imbasnya, karena landasan politik demokrasi tegak atas dasar manfaat dan juga kepentingan, maka berlakulah politik balas budi. Siapa menyokong keterpilihan partai politik sampai di tampuk kekuasaan, dialah yang akan mendapatkan prioritas kebijakan. Sekalipun harus mengkhianati janji-janji kepada rakyat. Meskipun kebijakan yang mereka buat akan berpotensi membahayakan juga merugikan rakyat.
Namun apa boleh buat, kepentingan di atas segalanya. Apa pun bisa dilakukan demi eksistensi tegaknya parpol. Hal demikian lumrah terjadi dalam politik demokrasi, karena dalam politik ini selalu memperhitungkan untung rugi di setiap kebijakannya.
Realita demokrasi menunjukkan siapa kuat dialah pemenangnya. Pada akhirnya kepemimpinan dalam sistem ini hanya sebatas memperpanjang kepentingan diri dan kelompok, sekaligus menjadi kepanjangan tangan oligarki.
Ketiga perubahan hanya sebatas khayalan
Jika melihat pemilu sebelumnya perubahan yang dijanjikan oleh paslon manapun tak semuanya terbukti. Realita ini selalu berulang. Manis madu dijanjikan, tetapi pahit didapatkan rakyat.
Semestinya kejadian pemilu tahun 2019 memberikan pelajaran bahwa agenda lima tahunan tidak lebih dari pesta rakyat berbiaya tinggi dan menguras anggaran APBN yang tidak berdampak maksimal terhadap kesejahteraan rakyat. Tidak sedikit pula dengan pesta demokrasi ini justru menimbulkan keretakan antar saudara dan kawan.
Perubahan yang dijanjikan pemilu hanya omong kosong belaka, bak api jauh dari panggang. Rakyat tetap dengan segudang problematika hidup dan berusaha berjuang sendiri menanggulangi penderitaan dan kesulitan.
Saat berlangsung pesta demokrasi itu akyat mengalami polarisasi sedemikian tajam hingga mengoyak kohesi sosial. Rakyat makin tenggelam. Para caleg dari parpol yang mereka dukung mati-matian tak lagi bersama mereka, rakyat sendiri lagi.
Para pemimpin yang sebelumnya memanfaatkan fanatisme golongan, namun saat sudah sampai di pucuk kepemimpinan malah sibuk bagi-bagi kue kekuasaan. Mereka tertawa bersama, saling berjabat tangan, duduk mesra, meski sebelumnya seteru yang saling menyerang dan menjatuhkan, namun justru terlihat seperti sahabat karib yang saling merindu. Begitulah realitasnya, dalam demokrasi tak ada lawan abadi yang ada hanya kepentingan abadi.
Sekalipun demikian, narasi perubahan yang dikemas apik melalui kata-kata indah tentang keadilan dan kesejahteraan mampu membius masyarakat. Mereka lupa dan kembali lupa dengan fakta yang dirasakan di setiap kepemimpinan.
Tentu narasi tersebut masih menyisakan harapan besar mengingat kehidupan sebagian masyarakat kini jauh dari kata layak. Baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, politik, kesehatan, pangan, masih dilingkupi segudang permasalahan.
Mereka cukup merasa baik dan terhibur ketika mendapatkan bantuan sosial, padahal sejatinya, kebijakan tersebut hanya bersifat sementara, tetapi tidak menyejahterakan kehidupan mereka dalam jangka panjang. Mirisnya, harapan itu selalu ada, dan untuk kesekian kalinya rakyat tetap menggantungkan harapan perubahan terjadi di kepemimpinan baru.
Perubahan Bisa Didapat dengan Solusi Islam
Kerusakan yang terjadi di setiap sektor kehidupan adalah sangat wajar mengingat sistem hari ini tegak atas dasar manfaat, bukan maslahat. Semua aturan yang diterapkan jauh dari prinsip halal dan haram, atau benar dan salah. Melainkan tegak berdasarkan kepentingan segelintir orang, yaitu para pemilik modal dan para pemangku kekuasaan.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang berlandaskan akidah Islam. Di dalam kepemimpinan Islam, sumber hukum diambil dari Al-Qur’an dan sunah dan arti dari kepemimpinannya adalah sebagai pengurus dan penjaga umat melalui penerapan syariat.
Maka dalam Islam tidak boleh ngotot mengajukan diri untuk jadi pemimpin, karena untuk menjadi seorang pemimpin harus memenuhi tujuh syarat; seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, mampu, dan adil. Maka ketika seseorang itu memiliki kriteria seperti disebutkan, baru boleh mengajukan atau diajukan untuk menjadi pemimpin.
Menjadi pemimpin itu bukan sesuatu yang mudah, memiliki konsekuensi berat serta pertanggung jawaban dunia dan akhirat. Jadi tidak sekadar mau, tetapi harus memiliki kemampuan serta kapabilitas tinggi serta mempunyai visi misi jelas.
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya.”
Pemilihan pemimpin dalam Islam memiliki mekanisme sangat simple, sederhana, efektif, efisien, dan hemat biaya. Para calon boleh mencalonkan diri selama memenuhi syarat-syarat in’iqad dan selanjutnya akan ditentukan oleh Majelis Umah untuk dipilih siapa mendapat suara terbanyak, maka dia lah yang terpilih. Setelah pemilihan selesai maka segera diumumkan ke seluruh penjuru hingga sampai kepada umat seluruhnya.
Dengan demikian, tata cara pemilihan pemimpin dalam Islam tidak memakan biaya banyak sekaligus para calon dipastikan terlebih dulu memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Alhasil saat menjabat benar-benar totalitas mengabdi untuk kemaslahatan rakyat serta menjalankan perintah syariat. Wallahu a’lam bishawwab.[]
Comment