Demokrasi Liberal, Keadilan dan Ilusi

Opini179 Views

 

 

Penulis: Diana Nofalia, S.P | Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Keputusan Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur, terdakwa kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti mengundang reaksi berbagai pihak yang mempertanyakan keadilan di negeri ini.

Pengacara keluarga mendiang Dini Sera Afrianti, mengumumkan akan membuat laporan kepada Hakim Pengawas (Bawas) di Mahkamah Agung.

Ketidakpuasan Dimas dimulai ketika Gregorius Ronald Tannur, yang sebelumnya dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menjalani hukuman penjara selama 12 tahun, akhirnya dibebaskan dari tuduhan tersebut sebagaimana ditulis surabayapost.

Tidak Ada Sanksi Tegas

Sungguh di luar akal sehat, kasus penganiayaan yang berujung kematian bisa dibebaskan begitu saja. Wajar saja keadilan di negeri ini perlu kita pertanyakan. Tidak semestinya kasus yang menyeret Ronald Tannur mendapat vonis kebebasan dari pengadilan.

Kasus serupa sering juga terjadi di negeri ini. Ketika suatu kasus hukum melibatkan orang berpunya dan berpengaruh di kalangan aparat atau para penegak hukum maka keadilan sangat sulit untuk ditegakkan dan terkesan bertele-tele.

Sebaliknya, jika si tersangka adalah kalangan bawah, hukum begitu tajam dan menghujam. Inikah yang dikatakan hukum negeri ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah?

Banyak pertanyaan muncul dalam benak kita, apakah keadilan bagaikan barang langka bagi mereka yang tak berpunya? Kebenaran bisa diputarbalikkan sesuai pesanan yang punya uang dan kekuasaan. Pertanyaannya, di manakah naluri kemanusiaan?

Lemahnya Hukum Buatan Manusia

Tidak bisa dipungkiri sistem peradilan Demokrasi liberal ala kapitalisme telah merusak tatanan hukum yang seharusnya dapat memberikan keadilan bagi semua kalangan. Kasus Ronald Tannur hanya satu dari sederet kasus kejahatan yang sangat banyak.

Nyawa manusia bagaikan tak berharga, keadilan makin susah didapatkan, terutama bagi mereka yang tidak punya kekayaan dan kekuasaan. Maka dari itu wajar jika saat ini, kasus kriminal makin marak dan menjamur di negeri ini.

Adanya kasus-kasus serupa menegaskan betapa lemahnya hukum buatan manusia. Sistem demokrasi liberal ala kapitalisme ini telah menjadikan uang sebagai indikator menentukan arah timbangan peradilan. Akhirnya keputusan hukum berpihak bukan kepada kebenaran.

Sistem peradilan semacam ini tentunya akan cenderung merampas hak rakyat  mendapatkan keadilan. Sumber penetapan hukum yang berdasarkan akal manusia dalam sistem demokrasi liberal ala kapitalisme telah merusak sendi-sendi keadilan itu sendiri. Kejahatan demi kejahatan tak tertuntaskan dengan semestinya, dan ini sebuah kezaliman tersistematis yang luar biasa.

Sistem Peradilan dalam Islam

Sungguh berbeda dengan sistem islam. Islam menegakkan keadilan dengan berpedoman pada aturan Allah, Dzat yang mahamengetahui dan maha-adil. Hukum buatan manusia tidak akan pernah sebanding dengan hukum Allah. Hukum manusia yang serba terbatas dan syarat dengan faktor kepentingan tidak akan bisa memberikan keadilan seperti hukum Allah.

Maka, patutlah kita merenungkan peringatan dari Allah Taala di dalam ayat, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah [5]: 50).

Islam juga sangat menghargai nyawa manusia dan memiliki hukum yang jelas dan tegas. Ini sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam pembunuhan (kisas). Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS Al-Isra’ [17]: 33).

Islam memandang uqubat (sanksi hukum) tersebut sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (kuratif). Disebut pencegah (preventif) karena dengan diterapkannya sanksi, orang lain dicegah untuk melakukan hal yang sama. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan dalam hukuman kisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 179).

Adapun yang dimaksud dengan kuratif adalah agar orang yang melakukan kejahatan, kemaksiatan, atau pelanggaran tersebut bisa dipaksa untuk menyesali perbuatannya. Dengan begitu, akan terbentuk sebuah penyesalan yang mendalam atau tobat nasuhah.

Dalam penegakkan hukum, sistem Islam menempatkan orang-orang yang bertaqwa yang paham betul bahwa segala aktivitas kehidupannya adalah sesuatu yang harus dipertanggung-jawabkan kelak di hadapan Allah swt.

Dengan demikian sanksi yang tegas dalam sistem peradilan yang dijalankan berdasarkan ketaqwaan akan memberikan keadilan yang menyeluruh kepada masyarakat. Keadilan akan didapatkan, dan itu adalah nyata bukan sekedar ilusi semata. Wallahu a’lam.[]

Comment