Penulis: Adzkia Tharra | Mahasiswi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Degradasi moral di Indonesia semakin tampak belakangan ini. Tindak kriminalitas sudah tidak memandang usia. Anak-anak atau generasi muda tanpa diduga juga bisa menjadi pelaku kriminal.
Di usianya yang masih muda, sejatinya mereka sibuk menuntut ilmu dan bermain dengan teman sebaya, kini seperti menjadi hal yang langka. Beberapa anak justru menjadi pelaku kriminal yang berujung menghilangkan nyawa orang lain.
Beberapa pekan muncul sebuah berita bahwa seorang anak laki-laki berinisal MA (6) asal Sukabumi, Jawa Barat, menjadi korban pembunuhan dan kekerasan seksual sodomi. Dari hasil penyelidikan, diketahui pelaku pembunuhan dan kekerasan seksual sodomi adalah seorang pelajar SMP berusia 14 tahun.
Menurut keterangan pihak berwajib, seperti ditulis sukabumiku.id (2/5/2024), pelaku melakukan aksinya seorang diri dan sebelum melakukan aksi bejatnya, pelaku mengaku pernah menjadi korban pencabulan atau sodomi.
Di Provinsi Jambi, seorang santri (13 tahun) sebuah pondok pesantren menjadi korban pembunuhan. oleh senior korban sendiri. Pihak kepolisian menemukan fakta baru dalam persidangan dua tersangka atas kematian AH (13), santri Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
Terdakwa AR (15) sebagaimana diungkap metrojambi.com (9/5/24) divonis dengan hukuman 7 tahun 6 bulan penjara, sedangkan RD (14) divonis lebih ringan dengan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara. Mereka merupakan senior Airul Harahap di Ponpes tersebut.
Dua kasus itu hanya sebagian kecil dari kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak di negeri ini. Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020—2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sedangkan 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.
Jika kita bandingkan dengan data tiga tahun lalu, jumlah anak yang terjerat hukum belum pernah menembus angka 2.000. Mencermati data pada 2020 dan 2021, angka anak tersandung kasus hukum 1.700-an orang. Lalu meningkat di tahun berikutnya menjadi 1800-an anak.
Merujuk data KPAI, terdapat dua jenis tindak kriminal yang paling banyak dilakukan oleh anak, yaitu tindak kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Pada 2020, proporsi tindak kekerasan fisik mencakup 29,2% dari total tindak pidana, sedangkan kekerasan seksual berada di angka 22,1%.
Ragam tindak kriminal lain yang juga dicatat oleh KPAI pada periode 2020 antara lain tindak pencurian (11,1%), kasus kecelakaan lalu lintas (10,6%), kekerasan psikis seperti ancaman dan intimidasi (5,5%), tindak sodomi atau pedofilia (5,5%), pemilikan senjata tajam (5,5%), terjerat kasus aborsi (5%), serta kasus pembunuhan (4%). (Kompas Id, 29-8-2023).
Data tersebut menjadi dasar kuat bahwa kita semua terutama keluarga memiliki PR besar untuk mendidik generasi agar mereka tetap berada pada jalur yang benar.
Pendidikan keluarga dalam sistem sekularisme mengakibatkan semakin terdegradasi moral dan kepribadian generasi. Anak tidak terdidik dengan benar lantaran kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan mereka.
Apa saja faktor yang memengaruhi kurangnya perhatian dan peran orang tua dalam mendidik anak mereka?
Pertama, orang tua hari ini terlalu sibuk bekerja. Anggapan Ayah yang berperan sebagai pencari nakfah, sedangkan ibu berperan mengasuh anak.
Anggapan ini bisa diwujudkan jika tidak berlandaskan paradigma kapitalisme, namun hari ini paradigma kapitalisme mendominasi sehingga orang tua hanya memenuhi kebutuhan materi anak.
Alhasil, masing-masing peran ayah dan ibu terabaikan hanya untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan materi anak sebanyak-banyaknya tanpa diimbangi pendidikan agama sejak dini.
Keluarga akan dihadapkan pada masalah ketika kedua orang tua sama-sama berkerja. Jika ayah dan ibu sibuk dalam pekerjaannya, saat itu anak akan cenderung hidup dan dididik oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan tempat anak tumbuh akan berpengaruh besar pada pertumbuhan sikap dan kepribadiannya.
Kedua, keluarga broken home. Memang, tidak semua anak yang berada dalam kondisi kedua orang tua bercerai memiliki perangai buruk. Akan tetapi, jika kita telusuri, kebanyakan anak-anak yang bermasalah dengan hukum berasal dari keluarga yang tidak utuh. Mereka cenderung berulah dan bertingkah untuk menarik perhatian kedua orang tuanya yang telah berpisah. Biasanya, anak-anak dalam kondisi ini sangat haus kasih sayang dan perhatian orang tua.
Ketiga, keterbatasan ekonomi menjadi salah satu faktor orang tua kurang memperhatikan pola asuh dan pendidikan anak. Keterbatasan ekonomi juga kerap menjadi alasan kesibukan orang tua mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Imbasnya, anak telantar dan tidak terdidik dengan benar.
Keempat, kurangnya kesadaran orang tua dalam pendidikan. Minimnya literasi dan pengetahuan seputar pola asuh dalam mendidik anak menjadi salah satu faktor mengapa pendidikan keluarga mandul. Mengapa orang tua kurang memiliki kesadaran? Bisa jadi karena kurangnya pendidikan orang tua dalam memahami Islam dengan benar. Orang tua pun minim ilmu dalam mendidik anak.
Pendidikan keluarga memang memiliki peran vital dalam upaya melahirkan generasi berkualitas. Bagaimanapun, penerapan sistem kapitalisme memberi dampak dan pengaruh bagi berjalannya pendidikan hari ini. Sistem ini secara tidak langsung membentuk keluarga berfokus pada pemenuhan materi semata. Kebutuhan anak terpenuhi, tetapi pemahaman ilmu agamanya minim.
Pada akhirnya, anak mudah terpengaruh hal-hal negatif di sekitarnya karena hilangnya perisai agama (Islam) dalam kehidupan mereka.
Mendidik generasi ibarat kita sedang mempersiapkan lahirnya peradaban mulia. Generasi emas tidak lahir dari pendidikan yang sarat capaian-capaian duniawi semata, apalagi yang terlibat perbuatan kriminal. Generasi emas hanya lahir dalam sistem pendidikan yang bervisi membentuk kepribadian mulia.
Sistem yang mampu menciptakan generasi semacam ini hanyalah sistem pendidikan berbasis islam. Hal ini telah terbukti saat peradaban islam mengalami masa keemasan selama lebih dari 13 abad mewujudkan generasi brilian, beriman, dan bertakwa.
Apa rahasia kesuksesan tersebut?
Pertama, sistem pendidikan islam berbasis akidah diselenggarakan oleh negara dan menjadi kurikulum inti di sekolah-sekolah. Tujuan kurikulum berbasis akidah adalah membentuk generasi yang memiliki pola pikir dan sikap yang sesuai dengan Islam. Negara menjadikan pendidikan sebagai layanan gratis yang dapat dinikmati seluruh anak di pelosok negeri.
Dengan pendidikan gratis, fasilitas yang memadai, tenaga guru profesional, dan kurikulum berasas akidah, tentu menjadi perpaduan apik dalam upaya menciptakan generasi unggul di bidang imtak (iman dan takwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Kedua, menerapkan sistem sosial dan pergaulan islam. Di antara ketentuan islam menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat ialah: (1) kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i; (2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan); (3) larangan mengeksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja; (4) larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa disertai mahram.
Ketiga, optimalisasi lembaga media dan informasi dengan menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung bagi perkembangan generasi, seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam. Wallahu ‘alam.[]
Comment