Deforestasi Hutan Solusi Atau Ancaman

Opini3 Views

 

Penulis: Lesy Ayunda, S.Tr.T | Komunitas Akademi Menulis Kreatif

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Alarm bahaya bagi komitmen iklim dan biodiversitas Indonesia. Rencana alih fungsi 20 juta hektare hutan menjadi lahan untuk pangan, energi, dan air oleh pemerintah, akankah membawa angin segar bagi terwujudnya swasembada di Indonesia atau malah menjadi pengantar maut bagi lingkungan dan rakyat?

Presiden Prabowo Subianto pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029, di Jakarta, Senin (30-12-2024), mengatakan, Indonesia harus menambah luasan perkebunan kelapa sawit karena kelapa sawit merupakan komoditas strategis dan dibutuhkan banyak negara. Oleh karena itu pemerintah akan melakukan alih fungsi hutan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit.

Beliau menegaskan bahwa Masyarakat tak perlu khawatir terhadap dampak perluasan lahan kelapa sawit meskipun harus melakukan Alih fungsi hutan (deforestasi), karena dalam pandangannya kelapa sawit merupakan tanaman yang memiliki daun sehingga memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida. Lahan kelapa sawit dinilai sebagai aset negara yang berharga oleh karenanya beliau akan mengerahkan anggota kepolisian dan TNI untuk menjaganya.

Orientasi pengembangan perkebunan kelapa sawit saat ini mengacu pada keuntungan secara cepat. Dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat tanpa menitik beratkan dampak lingkungan yang timbul oleh ekspansi lahan kelapa sawit yang sangat cepat.

Walaupun sejumlah upaya dilakukan untuk mengcounter isu negatif tentang kelapa sawit, faktanya ekspansi perkebunan kelapa sawit memberikan dampak perubahan ekosistem hutan menjadi kebun sawit. Beberapa dampak negatif terhadap lingkungan di antaranya adalah deforestasi dan kerusakan habitat di hutan, pencemaran tanah dan air, serta emisi gas rumah kaca (CO2).

Penggundulan hutan selama ini telah menyebabkan bencana banjir berulang pada musim penghujan, kekeringan pada musim kemarau karena daya serap air sedikit, tanah longsor, matinya sumber air, hilangnya kesuburan tanah, serta punahnya flora dan fauna. Selain itu, rakyat kehilangan sumber penghidupan dan ruang hidup. Konflik agraria juga mengiringi deforestasi dan rakyat selalu menjadi pihak yang kalah dan termarginalkan.

Apalagi pemerintah telah mengesahkan UU Cipta Kerja yang pasal-pasalnya memberikan ruang bagi deforestasi dan degradasi hutan, yaitu dihilangkannya kewajiban mempertahankan kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai. Selain itu, UU Ciptaker membolehkan badan usaha mendapatkan izin berusaha pada kawasan hutan lindung.

Deforestasi menyebabkan bahaya yang demikian besar bagi rakyat dan keragaman hayati, lantas deforestasi ini demi kepentingan dan keuntungan siapa?

Rencana deforestasi untuk perluasan lahan sawit ini dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menggemukkan kas negara, karena nilai jual komoditas sawit dalam sistem perdagangan internasional, mendatangkan margin keuntungan yang besar.

Dengan demikian untuk melejitkan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana desain pembangunan ekonomi kapitalisme yang diadopsi oleh Indonesia, maka pemerintah terangsang untuk membuka keran investasi besar-besaran baik dari investor asing ataupun lokal.

Tak menunggu lama hal tersebut disambut hangat oleh para investor atau pemilik modal untuk berkolaborasi dengan pemerintah Indonesia guna memudahkan regulasi ekspansi lahan sawit. Dari sini dapat bahwa deforestasi bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk para kapitalis.

Masifnya deforestasi merupakan akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem kapitalisme memisahkan aspek pembangunan dengan pelestarian lingkungan yang diperintahkan oleh agama. Seolah melesatnya pembangunan hanya bisa diperoleh dengan mengorbankan lingkungan.

Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi dinomorsatukan. Demi meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi, perluasan lahan harus dilakukan meski dengan merusak hutan.

Menanam sawit tidaklah menjadi& permasalahan menanam sawit tetapi jumlahnya harus dibatasi sesuai dengan daya dukung alam. Kerusakan akan terjadi jika alam dieksploitasi melebihi daya dukungnya. Sementara untuk memperbaikinya bukanlah perkara mudah karena untuk menumbuhkan pohon hingga besar memakan waktu yang relative lama.

Pemerintah seharusnya melakukan peremajaan terhadap lahan yang sudah dibuka sebelumnya atau melakukan peremajaan terhadap lahan kritis. Selama ini, peremajaan lahan tidak dilakukan secara masif karena alasan ekonomi.

Memilih membuka hutan baru dinilai lebih menguntungkan karena bisa mendapatkan kayu yang tak kalah daya ekspornya dan lahan baru mudah ditanami kembali. Sedangkan melakukan peremajaan lahan butuh biaya besar. Demikianlah betapa mudahnya pemerintah melegalisasi penggundulan hutan.

Pemerintah dinilai telah abai dalam menjaga hutan yang menjadi amanah kekuasaan mereka. Sebaliknya, penguasa justru menyerahkan hutan beserta kekayaan di dalamnya pada korporasi kapitalis.

Sungguh hal ini memberi perbedaan yang jomplang dengan profil penguasa dalam sistem Islam. Secara personal, penguasa dalam Islam adalah orang yang bertakwa dan memiliki relasi yang baik dengan rakyat, mereka membuat kebijakan berdasarkan syariat.

Seorang penguasa yang bertakwa kepada Allah Taala, takut kepada-Nya, dan selalu merasa terawasi oleh-Nya dalam keadaan rahasia dan terang-terangan, semua itu akan mencegahnya bersikap tirani. Adapun tujuan setiap Pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk kemaslahatan rakyat sehingga dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab, bukan cara yang eksploitatif. Pembangunan dalam Islam membawa kebaikan dan keberkahan bagi manusia, hewan, maupun alam.

Allah berfirman, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (Q.S. Al-A’raf: 56)

Oleh karenanya, klasifikasi hutan harus dipenuhi dengan baik, mana hutan yang harus dilindungi dan mana hutan yang boleh diambil manfaatnya, bukan hanya sekadar formalitas dan mengedepankan keuntungan semata. Negara bisa memproteksi kawasan hutan dengan cara berikut :

1. Mengembalikan posisi hutan sesuai posisi kepemilikannya dan akan memetakan hutan yang terkategori kepemilikan umum, yaitu hutan produksi dan hutan wisata yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan ekonomi. Tentu dengan selalu memperhatikan kelestarian alam.

2. Sementara hutan lindung dan suaka alam termasuk kepemilikan negara yang terlarang bagi siapa pun untuk mengambil manfaat darinya. Justru, Negara akan melakukan upaya-upaya untuk melindungi tumbuhan, hewan, sumber air, dan ekosistem yang ada sehingga lestari.

3. Pembukaan lahan tidak akan dilakukan, jika terdapat potensi yang menimbulkan bahaya (dharar) bagi lingkungan dan rakyat.

4. Pengawasan yang serius terhadap kawasan hutan. Negara akan mendayagunakan semua sumber daya untuk pengawasan hutan, termasuk mengerahkan alat-alat yang canggih untuk mendeteksi pembalakan liar, pembakaran hutan, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya. Polisi hutan akan direkrut dalam jumlah yang mencukupi, fasilitas yang memadai, dan kesejahteraan yang layak sehingga bisa berfungsi optimal.

5. Menghukum pelaku kejahatan terkait hutan, baik pelaku pembalakan liar, pembakar hutan, pemburu satwa dilindungi, penadah, dan lain-lain. Termasuk menghukum aparat negara yang melakukan kongkalikong dengan para pelaku tindakan kriminal tersebut.

Demikianlah, yang dibutuhkan rakyat bukanlah negara ala kapitalisme yang mengabaikan kelestarian hutan dan justru menjalin kerjasama dengan para perusaknya. Melainkan membutuhkan negara dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dimana kepala negara (Khalifah) memiliki peran dan tanggung jawab terhadap rakyatnya dengan tanggung jawab umum secara keseluruhan. Termasuk serius dalam mengoptimalkan perannya menjaga dan melindungi apa yang menjadi wilayah pimpinannya.

Berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Ingatlah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” Wallahu ‘alam.-[]

Comment