Debat Capres, Lumayan Buat Hiburan Rakyat

Opini184 Views

 

 

Penulis: Dr. H. J. Faisal | Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Beberapa kawan meminta pendapat saya mengenai debat calon Presiden yang diselenggarakan KPU yang ke-2 Ahad, 7 Januari 2024 lalu. Terus terang saya merasa biasa saja dengan hasil debat calon Presiden tersebut.

Sebagai orang awam, bagi saya debat yang seharusnya melahirkan banyak ide dan gagasan tentang kondisi pertahanan dan keamanan negara sebesar Indonesia ini, ternyata hanya menjadi ajang saling ‘menguliti’ wilayah privat masing-masing calon Presiden tersebut, dan lagi-lagi masalah tentang ‘etika’ menjadi pemicunya.

Karena saling sindir tentang masalah ‘etika’ tersebut, terjadilah pergeseran inti debat yang seharusnya berisi tentang substansi permasalahan pertahanan dan keamanan negara, malah beralih menjadi ajang saling membongkar aib. ‘Kegaduhan’ yang ditimbulkan tersebut layaknya melihat emak-emak yang sedang mengantri membeli minyak goreng di sebuah warung yang  berteriak untuk mendapatkan perhatian agar dilayani terlebih dulu oleh si empunya warung tersebut.

Sejatinya rakyat Indonesia berhak mengetahui semua hal yang sifatnya ‘unconfidential’ tentang bagaimana sesungguhnya keadaan pertahanan bangsa ini dari proses debat tersebut, dikarenakan rakyat Indonesia telah membayar berbagai macam pajak kepada negara, yang salah satu kegunaan pajak tersebut adalah untuk membiayai pembelanjaan alat-alat pertahanan negara, penyempurnaan sistem pertahanan, dan peningkatan teknologi pertahanan negara.

Sejalan dengan kondisi pertahanan negara ini, sesungguhnya rakyat juga berhak mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi geopolitik Indonesia yang berada di antara ketegangan dua negara adidaya saat ini, yaitu antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan secara mendalam, juga bagaimana sesungguhnya keadaan negara-negara ASEAN dan negara-negara di benua Asia secara global dalam menghadapi dualisme hegemoni China dalam bidang ekonomi, dan hegemoni Amerika Serikat dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Alih-alih rakyat mendapat informasi data dan fakta tentang pertahanan negara yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia dan beberapa kawasan regional di kawasan Asia tersebut, malah mendapatkan suguhan ‘permainan emosi’ dan ‘tagihan-tagihan etika’ dari para calon Presiden yang menurut saya sangat kekanak-kanakan.

Dalam sebuah sistem demokrasi liberal (sistem demokrasi yang dibentuk oleh kaum kapitalisme Yahudi di awal tahun 1800-an), seperti sistem demokrasi yang dianut oleh negara di dunia saat ini, memang tidak perlu berbicara tentang etika, sebab etika sudah tidak diperlukan lagi. Namanya juga liberal, yang penting tujuannya tercapai, dan keuntungan yang direncanakan dapat terwujud, maka segala cara yang ditempuh oleh penguasa atau para pejabat pemegang kuasa dianggap sah-sah saja.

Mengapa demikian? Ya pastinya ketika mereka melakukan pelanggaran etika dalam bernegara demi kepentingan mereka, tidak akan merasa melanggarnya. Mereka merasa tidak melakukan pelanggaran apapun terhadap norma-norma hukum positif yang ada. Bermain ‘Playing Victim’ adalah keahlian mereka dalam hal ini.

Sedangkan etika dan moral adalah bagian dari nilai kemanusiaan yang paling mendasar dan berhubungan erat dengan rasa malu. Hanya mereka yang mempunyai rasa malu saja yang memiliki etika dan moral.

Artinya, bagi pihak yang menginginkan tegaknya etika dan moral bernegara dan bermasyarakat di negara yang menganut azas domokrasi liberal secara mutlak seperti ini, pastinya akan disingkirkan, dihambat, dilemahkan, dan dianggap sok beretika dan sok bermoral.

Maka sepertinya sangatlah ‘benar’ dengan apa yang dikatakan oleh calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang didukung oleh penguasa negara (baca: sang Presiden) serta para partai pendukungnya, bahwa jangan pernah berbicara soal etika.

Calon Presiden dan calon Waki Presiden yang didukung para partai pendukungnya tersebut lahir dari proses hukum yang tidak bermoral dan beretika.

Ironi memang, di mana rakyat mengatakan bahwa etika dan adab ketimuran masih dijunjung tinggi tetapi perilaku pemimpin dan para elit partai politiknya malah memperlihatkan sikap ketidaketisan mereka kepada rakyat tanpa rasa malu sedikitpun.

Percuma saja berbicara tentang etika dan moral kepada mereka yang sudah tidak mempunyai rasa malu. Padahal berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam bersabda: “Bahwa sesungguhnya malu adalah sebagian dari iman.”

Jika demikian, maka manusia-manusia yang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, sesungguhnya telah hilang sebagian keimanannya kepada Allah Ta’alla dan Rasul-Nya. Adakah bencana yang lebih besar daripada hilangnya keimanan kepada Allah Ta’alla dan Rasul-Nya?

Sepertinya rakyat Indonesia masih harus bersabar untuk mendapatkan sosok pemimpin yang benar-benar cerdas, beretika, dan bersifat negarawan. Mengapa demikian?

Siapapun yang terpilih sebagai Presiden dari ketiga calon Presiden yang sedang bertanding sekarang, – jika berkaca dari kualitas etika dan moral, kualitas pemikiran, kualitas penguasaan masalah-masalah yang sedang terjadi di negara ini, dan kualitas kepemimpinan, serta kualitas pengendalian emosi diri mereka yang masih jauh dari harapan rakyat, — Indonesia tidak akan mampu keluar dari segala macam kesulitan bangsa yang sedang dihadapi.

Siapapun pemenangnya, kemungkinan yang akan terjadi ke depan hanyalah kompromi-kompromi politik di antara mereka, dan pembagian ‘kue-kue’ kekuasaan, hanya demi ‘menjaga nama baik’ demokrasi yang ada di Indonesia.

Apakah ini hanya dugaan atau prasangka saya saja? Bisa jadi begitu. Tetapi dugaan tersebut didasarkan kepada alasan bahwa dari setiap pemilihan pergantian Presiden dan para wakil rakyat di Indonesia selama pasca reformasi 25 tahun terakhir ini, yang terjadi begitu-begitu saja, dikarenakan kualitas mereka yang keluar menjadi pemenang sebagai Presiden dan para wakil rakyat memiliki kapasitas yang juga begitu-begitu saja.

Bahkan kualitas kepemimpinan sangat jauh menurun tajam dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini karena tidak lagi memiliki etika, moral, dan rasa malu.

Tetapi di sisi lain, kita harus berterimakasih juga kepada KPU yang telah menampilkan acara debat calon Presiden dan calon Wakil Presiden tersebut. Lumayan, untuk menghibur rakyat yang bingung dengan kenaikan harga kebutuhan bahan pokok sehingga tidak tahu besok bisa makan atau tidak. Wallahu ’allam bisshowab.[]

Comment