Oleh: Dr. H. J. Faisal | Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Saya memang bukan ahli dalam bidang teknologi informatika, khususnya dalam hal koding dan pendataan. Tetapi, ketika saya mendengar kabar bahwa data-data nasional negara saya tercinta ini berhasil dibobol oleh para hacker alias para pembajak data pada hari Kamis 20 Juni 2024 kemarin, saya merasa sedih, tetapi saya samasekali tidak merasa terkejut, mengapa hal ini dapat terjadi.
Pusat Data Nasional (PDN) Indonesia telah mengalami serangan siber sejak Kamis (20/6/2024) dan belum pulih sepenuhnya hingga artikel ini saya tuliskan (30/6/2024).
Tim dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri dan juga Telkom selaku pihak pengelola PDN, sudah berupaya mengembalikan data-data tersebut, tetapi tak berhasil.
Pemerintah akhirnya mengaku gagal memulihkan data-data yang tersimpan di PDN. Celakanya, ada hampir 300 instansi pemerintah ini yang datanya berhasil diretas dan dienskripsi (dikunci) oleh para hacker ransomware (meminta tebusan) tersebut.
Tentu saja saya merasa sedih. Saya merasa harga diri saya sebagai anak bangsa sangat jatuh. Bayangkan saja, dengan mudahnya para hacker ransomeware ini mencuri dan mengenkripsi data-data rakyat Indonesia yang berisi informasi yang sangat sensitif, untuk diperjualbelikan di pasar gelap data (Dark Web) dengan mudahnya.
Mengapa saya tidak terkejut? Karena di luar dari berbagai macam alasan yang dikeluarkan oleh para pemegang ortoritas tertinggi (Kemenkominfo, BSSN, TNI, Polri danTelkom) dalam hal peretasan informasi yang bersifat nasional ini, sedikit banyaknya saya mengetahui bahwa betapa rentannya sistem pertahanan Indonesia dalam hal pendataan nasional.
Sejatinya, ada empat hal yang dalam pandangan saya mengapa sistem pertahanan pendataan nasional kita, bahkan sekelas Pusat Data Nasional (PDN) sangatlah rentan untuk diretas.
Pertama, bangsa ini mungkin sudah cukup mumpuni dalam hal pengembangan software, tetapi sangat tidak mempunyai kekuatan dalam bidang hardware. Artinya, negara ini masih sangat tergantung dengan teknologi asing dalam hal perangkat keras teknologi yang digunakan di negara ini.
Dengan demikian, maka tidak heran jika kita sebagai pengguna teknologi sejatinya masih terus didikte oleh negara-negara penghasil hardware tersebut dalam hal penggunaan teknologi informasi. Dengat kata lain, kita mungkin berdaulat dalam permasalahan system teknologi informasi, tetapi kita masih tunduk dengan semua ketentuan yang ditetapkan oleh para produsen hardware yang membenamkan teknologi-teknologi canggih terbaru mereka.
Kedua, negeri ini memang sudah kebanjiran dengan sistem teknologi canggih, tetapi belum memiliki sumber daya manusia yang benar-benar paham dengan teknologi canggih di bidang data dan informasi ini (baca; siber), terutama sumber daya manusia yang berada di dalam instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang notabene sangat diperlukan dalam menjaga keamanan data-data negara.
Apalagi berkaca dari kenyataan yang ada, mayoritas rakyat di negara ini lebih senang menggunakan teknologi informasi yang canggih hanya sekedar untuk pamer dan bernarsis diri, ‘perang’ argumentasi pepesan kosong, atau hanya sekedar membuat keuntungan ekonomi, tanpa pernah berpikir lebih jauh tentang manfaat yang lebih besarkemajuan teknologi data dan informasi dan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat perang siber (Cyber War) yang sedang terjadi di seluruh dunia saat ini. Ini merupakan ‘penyakit klasik’ yang sepertinya terus diderita oleh negara ini.
Sekalipun ada sumber daya manusia yang mumpuni dalam hal teknologi komunikasi dan informatika ini, mereka sepertinya tidak diacuhkan oleh negara, dan tidak diberi kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pengembangan kemajuan dunia siber.
Sehingga tidaklah mengherankan pula, jika para ahli teknologi dan informatika bangsa ini, banyak diberdayakan oleh pihak-pihak asing dikarenakan kemampuan dan kecakapan mereka yang sangat baik dalam hal teknologi siber.
Para pemegang otoritas atau para pejabat yang memiliki kewenangan dalam bidang komunikasi dan informatika di negara ini, justru lebih mementingkan mengambil keuntungan dari berbagai macam proyek pengadaan fasilitas pengadaan internet dalam kementrian komunikasi dan informatika, daripada melindungi dan meningkatkan pertahanan data-data sensitif negara dan rakyatnya, di tengan perang siber yang sangat massif di dunia saat ini.
Ketiga, sampai saat ini, dari seluruh oraganisasi negara-negara dunia divmana Indonesia menjadi salasatu anggotanya, mungkin hanya negara Indonesia yang tidak mempunyai undang-undang tentang keamanan siber. Padahal undang-undang tentang keamanan siber ini sangat diperlukan oleh sebuah negara, agar negara tersebut dapat mengatur dan melindungi kepentingan data-data sensistif rakyatnya, sehingga tidak dengan mudah dibajak atau diacak-acak oleh pihak lain, baik itu pihak yang berasal dari luar negeri, atau bahkan pihak yang berasal dari dalam negeri sendiri.
Sebagai contoh, dalam indeks pertahanan siber di tahun 2022-2023, hasil studi dari MIT Technology Review Insight (2022), di mana peringkat Indonesia di G20 ini ada di nomor 20. Sehingga, berdasarkan riset tersebut, Indonesia masuk ke dalam klasifikasi ‘5 negara yang komitmen dalam menciptakan lingkungan pertahanan sibernya lambat dan tidak merata’. Jika dibandingkan dengan Australia, Belanda Korsel, AS, Kanada, dan berikutnya (di atas), kita berada di level terbawah dengan Meksiko, Brasil, India, Turki, dan Indonesia.
Tentu saja, jika negara sebesar Indonesia masih belum memiliki peraturan dan sistem yang termaktub dalam undang-undang sibernya, itu artinya negara ini masih menjadi negara ‘liar’ dalam hal dunia siber dan teknologi informatika.
Sehingga tidaklah mengherankan jika para hacker atau pembajak data dapat dengan mudah mengacak-acak data nasional, karena menreka merasa tidak akan terjerat hukum dan sanksi, sehingga dunia data nasional Indonesia hanya dianggap sebagai ajang ‘bermain’ mereka saja.
Keempat, ini mungkin adalah penyebab kerentanan dan kelemahan yang paling konyol. Yaitu, hanya karena memiliki kekuasaan dan merasa memiliki otoritas yang ‘tanpa batas’, dengan seenaknya saja seorang pemimpin atau presiden negara ini memilih seorang pemimpin kementrian komunikasi dan informatika yang bukan ahlinya.
Sungguh sebuah kebijakan politik yang bersifat sangat liar pula. Begitupun dengan liarnya keputusan politik dalam memilih menteri-menteri pendahulunya.
Padahal sejatinya, sebuah instansi sekelas kementrian yang mengurusi masalah komunikasi dan informatika sebuah negara, adalah sebuah instansi yang memiliki peran yang sangat vital dalam upaya menjaga keamanan dan kedaulatan sebuah negara. Karena di dalam kementrian tersebut, semua data-data sensistif baik dari data sipil maupun data militer disimpan dalam sebuah pusat data yang tersentralisasi, yang disimpan dalam sebuah pusat data.
Jika kementrian yang memegang peranan vital tersebut dipimpin oleh seorang menteri yang memang tidak mempunyai kapasitas dan kapabilitas dalam hal teknologi informatika dan data, maka tidaklah mengherankan jika Indonesia mengalami kebobolan data nasional seperti yang sekarang terjadi. Sungguh sangat menyedihkan dan memalukan.
Sangatlah benar apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah Salallahu ‘Alaihiwassalam dalam kedua haditsnya, yaitu:
“Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari).
“Barangsiapa yang memegang kuasa tentang sesuatu urusan kaum muslimin, lalu dia memberikan suatu tugas kepada seseorang, sedangkan dia mengetahui bahwa ada orang yang lebih baik daripada orang itu, dia telah mengkhianati Allah, RasulNya dan kaum muslimin.” (Hadis Riwayat Al-Hakim). Wallahu ’allam bisshowab.[]
Comment