Oleh: Marsih, S.Pd, Guru SD Smart Cibinong
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kekerasan seksual pada anak makin menjadi, perlindungan dan kenyamanan tumbuh kembang ternodai. CNN melansir dalam rentang waktu 2019-2021, jenis kekerasan seksual dan eksploitasi pada anak terlihat mengalami peningkatan di masa pandemi Covid 19.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar meyebut selama pandemi mencatat ada lebih dari 6.000 laporan kekerasan pada anak. Jumlah kekerasan terhadap anak pada 2019 sebanyak 11.057. Tahun 2020 meningkat jadi 11.278 anak 2021 sebanyak 9.428 kasus (data Januari-September 2021).
Kekerasan yang dilaporkan berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang ), dan kasus kekerasan lainnya. (Jakarta, CNN, Indonesia).
Contoh kasus yang mengemuka adalah kasus anak SD korban kekerasan pencabulan di Malang alami trauma berat. (liputan 6). Kasus serupa juga terjadi di beberapa daerah lainnya. Di kota Tangsel misalnya, laporan kasus kekerasan anak dan perempuan selama PPKM cukup tinggi, yakni mencapai 70 kasus. Mirisnya, dari jumlah itu kasus mendominasi adalah persetubuhan anak. (Sindonews.com).
Banyak hal yang dapat memicu terjadinya kekerasan pada anak.Faktor internal seperti kelemahan korban, sedang faktor eksternal berupa kurangnya pengetahuan orang dewasa, pengaruh lingkungan dan tekhnologi, juga faktor ekonomi.
Kasus kekerasan pada anak bagai gunung es, data yang nampak didapat dari laporan, dan tidak menutup kemungkinan masih banyak terjadi kasus namun takut untuk melapor. Hal ini tidak dapat diabaikan.
Berbagai langkah dilakukan baik dari pemerintah pusat maupun daerah untuk melindungi anak-anak di negeri ini. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan keputusan Presiden No.36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan hak anak telah dijamin oleh UU.
Beberapa Lembaga perlindungan anak dibentuk oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan seperti Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), Lembaga Perlindungan Anak (LPA), LSM, organisasi sosial dan sektor terkait di tingkat pusat untuk memprakondisikan rencana pengembangan RPSA di berbagai propinsi.
Ada juga KPAI yang dibentuk di bawah pemerintah khusus menangani berbagai kasus kekerasan terhadap anak. Di dunia pendidikanpun diluncurkan program SRA ( Sekolah Ramah Anak ).
Namun, upaya – upaya tersebut belum dilakukan dari hulu ke hilir. Aturan maupun lembaga yang dibentuk belum menyentuh masyarakat grassroot.
Hal ini terjadi karena pemerintah belum maksimal melakukan langkah preventif. Upaya preventif dapat dilakukan mulai dari individu atau keluarga, masyarakat dan negara.
Orang tua sebagai individu dan keluarga dituntut agar memiliki ilmu agama dan pemahaman tentang anak sehingga dapat mengedukasi anak- anaknya. Misal anak – anak harus waspada bila ada orang dewasa yang tak dikenal berusaha menyentuhnya, juga mengedukasi ilmu – ilmu agama agar menghidari pergaulan bebas.
Adapun masyarakat dapat menjadi kontrol sosial, dan memiliki kepekaan untuk mencegah tindak kekerasan pada anak. Konsep ini sejalan dengan ajaran islam amar ma’ruf nahi munkar.
Sedangkan negara yang memiliki power atau kekuatan dapat membuat kebijakan dengan membuat sanksi yang membuat jera pada pelaku kekerasan anak , misal pada pedopil. Negara juga menjamin kesejahteraan ekonomi rakyat, hingga setiap ayah mampu menafkahi keluarga dan ibu bisa fokus merawat anak.
Adapun pendidikan diharapkan dapat melahirkan individu yang bertakwa, tidak hanya fokus pada capaian akademik, namun mampu membentuk karakter mulia. Demikian pula kontrol pada media massa diupayakan pengaturan konten – konten edukasi , dan melarang konten yang berbau kekerasan maupun pornografi.
Kekerasan pada anak akan tetap berlanjut, selama tak ada kepedulian diantara kita. Keluarga dan masyarakat menjadi benteng awal perlindungan anak terhadap kekerasan. Dan yang paling penting adalah peran negara dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan pada anak dengan melaksanakan langkah – langkah preventif.
Selain langkah preventif, sistem sanksi dalam mengadili pelaku kekerasan seksual harus tegas. Sanksi itu bisa dijatuhkan seberat-beratnya jika sampai melakukan tindak perkosaan, seperti hukuman mati.
Sedangkan pelaku pelecehan ringan bisa dihukum ta’zir seperti penjara, diasingkan dan diumumkan di khalayak umum. Dengan begitu, orang akan berpikir seribu kali jika hendak melakukan aksi tak terpuji itu.
Negara adalah pihak yang memiliki power kuat dalam memaksa warganya untuk melaksanakan aturan. Dengan demikian diharapkan kekerasan pada anak dapat teratasi.[]
Comment