Oleh: Kartiara Rizkina M S. Sosio, Aktivis Muslimah Aceh
_________
RADARI DONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pemilu dan uang tak bisa dipisahkan dalam sistem demokrasi. Sebab, penyelenggaraan Pemilu, Pilpres maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak lepas dari pembiayaan uang.
Berbagai jenis pemilihan tersebut membutuhkan dana yang besar baik dari sisi peserta Pemilu maupun dari sisi penyelenggara Pemilu. Dana penyelenggaraan Pemilu tersebut bersumber dari APBN maupun APBD. Sementara biaya yang dikeluarkan oleh peserta bisa berasal dari sumbangan, pribadi, maupun partai politik.
Adapun dana penyelenggaraan pemilu tahun 2025 memdatang seperti yang dikutip dari dpr.go.id (06/06/2022) bahwasanya Pimpinan DPR dan KPU sepakat Anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp76,6 Triliun. Akan tetapi baru-baru ini kemendagri menyampaikan usulan penambahan bantuan dana parpol sebesar Rp252 miliar yang masuk dalam usulan tambahan pagu anggaran 2023.
Mendagri sendiri ebagaimana ditulis dalam laman Media Indonesia (17/9/2022) mengungkapkan bahwa angka itu diajukan untuk mengakomodasi usulan anggota DPR yang menginginkan kenaikan subsidi dana dari Rp1.000 menjadi Rp3.000 per suara sah pada perolehan pemilu terakhir. Besaran Rp1.000 sendiri sebenarnya termuat dalam Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.
Namun sungguh ironi, di saat rakyat tercekik karena naiknya BBM dan bahan pokok, pemerintah malah mengeluarkan dana, bukan pada sesuatu yang urgent. Bisa dibayangkan, jika APBN harus kembali menambah anggaran, negara dikhawatirkan akan terjerat hutang lebih banyak. Kalaupun tidak demikian, negara akan mengambil jalan pintas memotong lagi dana subsidi rakyat. Dan anehnya jika subsidi untuk rakyat dianggap beban, tetapi dana subsidi parpol justru ditambah.
Padahal sumber keuangan parpol sendiri sudah tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 telah mengatur bahwa pendapatan atau sumber keuangan partai harus berasal dari tiga pos besar, yakni iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, serta bantuan keuangan (subsidi) dari APBN/APBD.
Namun, realitasnya, ongkos politik yang begitu mahal seringkali tidak bisa ditutup dari sumber-sumber sah sebagaimana yang tertulis. Oleh karena itu, dukungan dana yang terbatas, disertai sistem pengawasan dan sanksi yang tidak jelas, telah memberi ruang parpol untuk melakukan berbagai kecurangan dalam perilaku korup. Termasuk melakukan deal politik dengan berbagai kekuatan modal (oligarki) yang memiliki kepentingan untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik. Bisa jadi penambahan dana parpol ini dikarenakan kekuatan pihak pemilik modal.
Sampai sini kita mempertanyakan apa demikian fungsi adanya partai? Sebab aktivitas politik pun telanjur dimaknai sebagai ajang untuk memuluskan kepentingan segelintir pihak. Jika alasan penambahan dana parpol benar-benar terealisasi, hal itu juga tidak menghentikan parpol-parpol untuk menerima kucuran dana dari sponsor.
Maka usulan kenaikan dana parpol menunjukkan keberpihakan parpol. Mereka bekerja untuk rakyat atau semata kepentingan dan segelintir pihak?
Inilah wajah sistem politik demokrasi. Dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah fatamorgana.
Lalu apakah dalam Islam sendiri ada yang namanya partai politik dan bagaimana peran parpol itu? Dalam Islam, politik tidaklah sepisik demokrasi yang berasaskan manfaat dan kepentingan. Parpol dalam Islam dibebani hukum sesuai syariat, bukan dibebani dana. Dalam Islam tidak ada istilah kampanye atau bikin baliho-baliho, karena politik Islam itu adalah riayatul su’unil ummah (mengurusi urusan ummat), bukan beli suara apalagi beli kursi.
Orang-orang yang berkecimpung di dalamnya juga orang-orang yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Sementara aktivitas politiknya bersandar pada hukum syariat, yakni halal dan haram. Tidak ada koalisi partai demi kepentingan. Pergerakannya jelas, tidak ada pencampuradukan antara haq dan bathil.
Parpol-parpol tersebut ada ketika institusi yang menaunginya juga berasaskan Islam. Tidak ada perjodohan koalisi atau kepentingan oligarki yang ada hanyalah mengurusi urusan umat dan melakukan kontrol serta muhasabah. Wollohu’alam.[]
Comment