Cukupkah Speak Up Hentikan Fenomena KDRT?

Opini371 Views

 

 

Oleh: Salamatul Fitri, Aktivis Muslimah

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Baru-baru ini marak pemberitaan media tentang kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tindakan KDRT yang dialami salah seorang publik figur yang diduga dilakukan suaminya menjadi perbincangan hangat di sosial media.

Selain itu, viral di media sosial, tewasnya SN akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya sendiri. (manadoline.com, 29/09/2022). Kasus tersebut semakin menambah fenomena KDRT yang dialami oleh perempuan Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus.

Adapun sepanjang tahun 2021 terdapat 10.427 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.368 orang. Maraknya pemberitaan kasus KDRT tidak terkecuali berujung pada hilangnya nyawa. Seharusnya menjadi pengingat berharga bahwa kekerasan dalam pernikahan bukanlah hal sepele.

Beberapa pakar mengatakan bahwa perselingkuhan dan kemiskinan menjadi pemicu utama kasus KDRT. Dikutip dari megapolitan.antaranews.com, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengajak masyarakat berani melaporkan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, hal ini agar memberikan keadilan dan efek jera kepada pelaku.

Speak Up atas kekerasan adalah suatu keharusan. Namun, speak up saja tidak akan mampu menuntaskan masalah KDRT. Apalagi, sudah banyak regulasi yang disahkan di negeri ini. Akan tetapi, regulasi tidak berdaya dan negara tidak memberikan dukungan sistem kehidupan yang mendorong terbentuknya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Faktanya, marak KDRT dipicu oleh kemiskinan dan perselingkuhan menjadi bukti tidaknya adanya dukungan sistem dari negara. Inilah efek penerapan sistem kehidupan sekuler-kapitalistik yang menjadikan laki-laki dan perempuan hidup tanpa aturan yang jelas. Sistem ini melahirkan kehidupan sekuler yang sangat bebas dari aturan agama. Agama hanya diletakkan di ranah privat semata dan tidak boleh mengatur kehidupan termasuk soal  pernikahan.

Kehidupan sekuler menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, hidup tanpa aturan Allah. Akhirnya, tercipta pergaulan laki-laki dan perempuan serba bebas dan bablas. Wajar, perselingkuhan marak terjadi karena tidak adanya batasan pergaulan laki-laki dan perempuan walaupun sudah berstatus suami-istri.

Sistem ini juga telah melahirkan kemiskinan yang merajalela. Menurut pakar Ekonomi Islam dari Lembaga Pengembangan dan Perbankan Indonesia (LPPI) alm Arie Mooduto mengatakan, banyak perusahaan besar di dunia, pelaku ekonomi kapitalus yang akhirnya kolaps setelah memiliki banyak aset, karena tujuannya hanya memperkaya pemodal semata tanpa mempedulikan kemaslahatan umat. Akhirnya, kesenjangan antara kaya dan miskin kian kentara. Sistem kapitalisme melahirkan kehidupan yang sempit karena hanya mementingkan urusan para kapital (pemilik modal).

Sangat berbeda dengan islam. Sebagai aturan kehidupan, Islam bukan hanya sebatas agama ritual tetapi agama siyasi yakni mengatur berbagai macam aturan dalam kehidupan. Islam memberikan seperangkat aturan dalam kaitan  memuliakan perempuan sekaligus sebagai bentuk larangan melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Dalam islam, perempuan benar-benar terjaga dan terjamin kemuliaannya. Penghargaan dan kemuliaan terwujud dalam pengaturan hak dan kewajiban bagi perempuan sehingga seorang laki-laki tidak dibenarkan mengklaim dirinya memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan perempuan terkecuali ketakwaan.

Adanya perbedaan peran dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga adalah wujud harmonisasi dan sinergi laki-laki dan perempuan dalam peran masing-masing sesuai fitrah yang Allah tetapkan. Aturan beserta potensi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sudah tepat dan tidak perlu dikacaukan lagi denga ide kesetaraan gender yang digaungkan kaum feminis.

Islam memerintahkan kepada pasangan suami-istri agar saling menghargai dan menghormati. Istri menaati suaminya karena suami merupakan qowwam (pemimpin) rumah tangga.

Sedangkan suami mencintai dan menggauli istrinya dengan kasih sayang dan kelembutan. Maka, akan tercipta rumah tangga yang harmonis dan bervisi akhirat.

Selain membina rumah tangga dengan syariat islam, upaya mencegah konflik dalam rumah tangga juga membutuhkan dukungan sistem. Sebab, faktor eksternal seperti himpitan ekonomi, godaan laki-laki/perempuan lain dan sejenisnya juga bisa memicu konflik terjadi.

Islam hadir untuk menuntaskan pemicu eksternal konflik rumah tangga secara komprehensif (menyeluruh). Ada upaya pencegahan dan penindakan.

Pencegahan dilakukan dengan penegakan sistem pergaulan islam yang meliputi kewajiban menutup aurat dengan pakaian syar’i yakni jilbab dan kerudung di kehidupan umum, kewajiban menjaga kemaluan bagi laki-laki dan perempuan, larangan khalwat (berduaan) laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tabaruj, ikhtilat (campur baur) laki-laki dan perempuan di suatu tempat, kebolehan interaksi laki-laki dan perempuan dalam perkara muamalah yang dibenarkan syariat islam, larangan berzina, dan laln-lain.

Negara menutup pintu pintu yang memicu naluri seksual seperti konten-konten porno, tayangan yang membangkitkan naluri seksual. Jika masih ada pelanggaran, negara  menegakkan sistem sanksi sesuai syariat islam.

Penerapan sistem ekonomi islam juga dipastikan akan menjamin kesejahteraan orang per orang karena sistem ini berangkat dari paradigma yang shahih tentang apa makna kebutuhan, konsep kepemilikan hakiki dan bagaimana mengelola seluruh sumberdaya alam yang Allah berikan sebagai jaminan rezeki bagi seluruh umat manusia.

Hanya penerapan islam yang mampu melindungi perempuang dari tindak kekerasan melalui penerapan islam kaffah. Wallahu’alam bisshawab.[]

 

Comment