Penulis: Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar di Ma’had Pengkaderan Da’i
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Data terbaru terkait korban kekerasan seksual semakin hari semakin memprihatinkan. Sepanjang tahun 2022, pengaduan terbanyak ke Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan adalah kasus kekerasan seksual.
Dari 5.831 kasus kekerasan, sebanyak 2.228 kasus atau 38 persennya adalah kekerasan seksual, diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72 persen). Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat pengaduan di lembaga layanan.
Pengaduan di lembaga layanan didominasi oleh kekerasan terhadap perempuan paling tinggi dalam bentuk fisik (6.001 kasus/38, 8 persen), diikuti dengan kekerasan seksual (4.102 kasus/26.52 persen).
Situasi kekerasan yang dialami perempuan di Tanah Air tersebut terangkum dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, yang diluncurkan, Selasa (7/3/2023), di Hotel Santika Premier, Hayam Wuruk, Jakarta.
Dari Catahu 2023 telihat pengaduan di Komnas Perempuan, kasus di ranah personal mencapai 61 persen atau 2.098 kasus. Bentuk kekerasan di ranah personal tertinggi adalah kekerasan mantan pacar (KMP) sebanyak 713 kasus (34 persen), disusul kekerasan terhadap istri (KTI) sebanyak 622 kasus (30 persen), dan kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 422 kasus (20 persen).
Data kekerasan terhadap perempuan di ruang daring, khususnya kekerasan seksual, menunjukkan hampir setengahnya, yakni 48 persen atau 821 dari 1.697 pelaku, adalah orang yang memiliki hubungan personal dengan korban, terutama pacar dan mantan pacar. (Sumber : www.kompas.id)
Belum lagi data kekerasan seksual terhadap anak yang semakin mengerikan. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan di dalam negeri pada 2022. Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi.
Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Secara rinci, ada 9.588 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 4.162 anak menjadi korban kekerasan psikis sepanjang tahun lalu.
Kemudian, 3.746 anak menjadi korban kekerasan fisik. Ada pula 1.269 anak yang menjadi korban penelantaran. Anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia sebanyak 219 orang. Lalu, 216 anak menjadi korban eksploitasi pada 2022. Sementara, 2.041 anak menjadi korban kekerasan dalam bentuk lainnya sepanjang tahun lalu sebagaimana ditulis dataindonesia.id.
Selama 2023 ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima 2.739 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan 2022.
Ironisnya, justru sebagian besar pelakunya (52%) adalah orang terdekat dalam lingkup keluarga, seperti ayah kandung, ayah tiri, kakek, kakak korban, paman, dan teman dekat (Sumber : www.kompas.id).
Berbagai macam upaya terus dilakukan oleh pihak berwenang, dari mulai regulasi aturan di tingkat nasional seperti UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), di satuan pendidikan Permendikbud Ristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.
Masih banyak aturan lainnya hingga revitalisasi peran keluarga dalam upaya mencegah dan penanganan kasus kekerasan seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan pencegahan terjadinya kekerasan seksual dapat dimulai dari keluarga.
Keluarga juga harus menciptakan ruang aman untuk anak sehingga anak berani menceritakan jika terjadi kekerasan seksual dan berani melaporkannya. Keluarga yang sehat akan menghindarkan diri dari terjadinya kekerasan terhadap anak.
Keluarga memang dinilai sebagai benteng terakhir pertahanan dari berbagai serbuan kejahatan dan keburukan, apalagi bagi keluarga muslim. Karena kontrol masyarakat dan perlindungan negara belum maksimal melindungi dari terjadinya kejahatan seksual.
Tak dapat dipungkiri bahwa hari ini banyak keluarga yang tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Rumah yang seharusnya tempat pulang yang dirindukan, penuh keteduhan, kini tak lagi hangat bahkan bisa menjadi tempat yang sangat tidak nyaman dan tidak aman sehingga lingkungan di luar rumah menjadi pelarian.
Ayah yang seharusnya melindungi tidak berfungsi peran qowamahnya (kepemimpinannya), begitu pula ibu yang seharusnya menjadi madrasah pertama anak-anaknya, banyak yang justru melalaikan tugas dan fungsi utamanya. Terlalu sibuk bekerja entah itu karena tuntutan ekonomi yang memaksa harus bekerja atau hanya sekadar bentuk pemenuhan eksistensi diri.
Bahkan tidak sedikit merekalah pelaku kekerasan terhadap buah hatinya sendiri. Keluarga yang diandalkan sebagai tembok pertahanan terakhir kaum muslimin, kini banyak yang tumbang. Satu rumah tapi tak sejiwa, satu keluarga tapi tak punya rasa yang sama.
Sejatinya tak cukup hanya keluarga, namun butuh peran nyata negara dan masyarakat. Apalagi persoalan mendasar adalah adanya sistem kehidupan rusak yang membuka peluang terjadinya kejahatan seksual pada anak.
Selain itu lemahnya penegakan hukum juga mengakibatkan korban tidak mendapatkan keadilan yang sesuai. Paradigma hari ini – yang digunakan dalam upaya menggulangi kejahatan seksual baik itu pada orang dewasa atau pun anak-anak adalah paradigma yang diimpor dari peradaban Barat.
Nilai-nilai yang sebenarnya berbeda satu sama lain. Dari segi pemilihan kata saja, kekerasan sebenarnya kurang tepat, karena definisi kekerasan seksual yang dimaksud dalam berbagai peraturan yang kini diterapkan adalah aktifitas seksual yang tidak memenuhi persetujuan seksual (sexual consent). Ide ini begitu kental berasal dari faham feminisme yang sedang diaruskan dalam bentuk program pengarusutamaan gender.
Kejahatan dalam perspektif Islam sangat jelas dan tidak mengalami perubahan makna sejak zaman Rasulullah SAW sampai saat ini bila mengacu pada penafsiran ulama-ulama otoritatif.
Menurut Dr. Henri Sahahuddin, kejahatan seksual dalam Islam didefinisikan sebagai segala bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dilakukan secara tidak ma’ruf dan tidak legal.
Bentuk-bentuk kejahatan seksual dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu berdasarkan perbuatan dan objeknya. Dari sisi perbuatan, kategori kejahatan seksual meliputi : berhubungan seks di luar nikah, berhubungan seks menyimpang seperti sodomi yang dilakukan pada istri, berhubungan seksual dengan cara sadis dan disertai penyiksaan, berhubungan seksual saat istri sedang haid dan segala bentuk perbuatan dan perkataan yang bersifat melecehkan martabat dan harga diri seseorang baik perempuan maupun laki-laki.
Adapun dari kategori yang berkenaan dengan objek meliputi berhubungan seks dengan hewan, mayat, sesama jenis, pedofilia dan hubungan sedarah atau inses. (Sumber : Buku Delusi Kesetaraan Gender-Tinjauan Kritis Konsep Gender)
Islam melarang segala bentuk kemaksiatan baik itu yang dilakukan atas dasar suka sama suka (memenuhi sexual consent) ataupun tidak. Islam memiliki sistem sanksi yang tegas sehingga keadilan terwujud.
Tiga pilar tegaknya aturan akan menjadikan upaya pencegahan terwujud dan terjaminnya perlindungan bagi semua warga negara, yaitu keshalihan individu termasuk keluarga, berjalanya kontrol masyarakat dan penerapan aturan oleh negara sesuai konsep Islam yang berfungsi sebagai pencegah dan penebus.
Di mana diterapkan syariah (dengan penerapan yang benar) maka disana akan ada maslahat. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.[]
Comment