Ina Agustiani, S.Pd, Praktisi Pendidikan
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sang Pencipta memberikan kemudahan manusia untuk bertahan hidup dengan sumber daya alam melimpah dari laut, darat, udara. Hanya saja tak banyak yang mengerti, bahwa bumi sebagai sumber kehidupan tersebut harus ada timbal balik sepadan dengan apa yang dikeluarkan. Saatnya berterima kasih pada bumi dan menjaganya lebih baik lagi.
Baru-baru ini Konferensi Internasional PBB menggelar KTT Perubahan Iklim, yang bertajuk Conference Of The Parties (COP) kke-26. Perhelatan akbar yang menjadi ajang bertemunya lebih dari 190 para pemimpin dunia di Glasgow Inggris pada tanggal 31 Oktober-12 November lalu itu bertekad dan berkomitmen membangun kembali bumi agar menjadi lebih hijau dengan teknologi. Selain pemimpin negara, acara ini dihadiri negosiator, perwakilan pemerintah, institusi pendidikan, pengusaha, serta pelaku bisnis.
Dilansir tempo.com, Jokowi hadir dan memberikan pidato berisi komitmen Indonesia dalam perubahan iklim dunia. Dalam kesempatan tersebut Jokowi menyebut bahwa deforestasi menurun dalam dua puluh tahun terakhir, karhutla turun sebesar 82% tahun 2020. Selain itu hutan mangrove terluas yaitu 600 ribu hektar, bisa direhabilitasi. Pengembangan industri “clean energy” dengan kawasan industri hijau, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan laut dan lahan luas membutuhkan dukungan internasional dari negara maju.
Jokowi berdiri mewakili Forum Negara Kepulauan dan Pulau Kecil (AIS), untuk memajukan kerja sama kelautan.
Pidato tersebut dikritisi oleh
juru kampanye Greenpeace Indonesia (1/11), M. Ikbal Damanik yang masih meragukan klaim Jokowi.
Pernyataan RI 1 di Glasgow tentang mengurai transisi energi dengan bertarget sampai 2024, merehab 600 hektar hutan mangrove dan bakau juga keberhasilan menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Menurut juru bicara Green Peace penurunan karhutla bukan prestasi, karena lebih banyak faktor alam dalam mencegahnya dan didominasi musim hujan yang basah dengan curah hujan tinggi.
Di samping itu menurut Damanik, pemerintah belum serius dalam transisi energi. Kementerian ESDM dan PLN berencana membangun 13,8 giga bahan bakar listrik yang bahan baku nya dari batu bara. Pertanda Indonesia belum akan beralih ke industri hijau, berbanding terbalik dengan komitmen untuk menangani krisis iklim.
Kapitalisme Memperkuat Pemborosan Energi
Krisis energi terjadi bukan hanya oleh faktor alam, tetapi juga akibat kebijakan yang memiliki andil dan berpengaruh besar. Emisi Karbon dan Gas Rumah Kaca jika dikaji secara ilmiah adalah hasil dari kegiatan manusia sehari-hari. Namun sejak 1950-an semakin majunya industri, CO2 meningkat dengan konsumsi energi. Penghasil gas rumah kaca misalnya dari penggunaan energi listrik, kendaraan bermotor, bakar sampah, dari hasil membuang nasi, sayuran yang ada pestisida, gas metana yang dihasilkan dari peternakan dan sisa makanan busuk. Efek ini membuat bumi lebih hangat.
Emisi karbon dari kendaraan bermotor berbahaya untuk lingkungan. Jika tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan pemanasan global, suhu dunia naik, mencairnya es di kutub utara dan selatan, permukaan air laut naik.
Lebih mencengangkan bahwa 1 persen orang terkaya di dunia dua kali lebih besar dari gabungan 50% populasi global miskin ekstrim. Artinya tetap kaum “the have” yang punya andil besar melepas polusi dan diberi izin legal melalukan pencemaran. Orang miskin memang ada andil tapi mereka pelaku terdampak dari perubahan iklim.
Islam Beri Solusi
Keserakahan manusia telah menyengsarakan bumi ini, dengan UU yang digolkan, para pemilik modal membuat tempat bernaung ini menjadi sakit. Penyalahgunaan lingkungan buah dari sistem kapitalisme. Masih banyak negara yang ingin berinovasi tapi terkait kepentingan yang harus diselesaikan. Di antaranya biaya riset yang tidak murah. Perpindahan bahan fosil ke hijau membutuhkan waktu yang tak sebentar, sementara pemenuhan kebutuhan rakyat menuntut disegerakan. Ditambah tak ada dukungan berarti dari negara.
Islam juga membagi konsep kepemilikan menjadi tiga, individu, umum, negara. Sehingga penguasa tak bisa seenaknya menyerahkan pengelolaan umum pada individu, seperti pengelolaan hutan. Ini adalah tindakan pencegahan agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan.
Islam hadir menggantikan warisan ideologi rusak. Melindungi planet ini dengan ketentuan syariat Allah, mengeruk isi bumi berarti harus bertanggung jawab dengan lingkungan sekitar yang sudah tereksploitasi.
Memanfaatkan putra putri bangsa untuk terus berinovasi demi mewujudkan “teknologi hijau” dalam riset yang dibiayai negara gratis. Menanamkan akidah dan akhlak kepada setiap warga negara akan kebaikan menjaga bumi dengan menciptakan sesuatu yang bermanfaat tanpa merusak alam ciptaanNya adalah bagian dari pertanggung -jawaban di akhirat kelak. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) sesuai syariah. Dengan begitu, melindungi planet dari kehancuran dapat tertangani.
Teringat firman Allah berbunyi “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar- Ruum: 41). Wallahu a’lam bishawwab.[]
Referensi:
muslimahnews.com, kompas.com, bbc.com, rmol.com
Comment