Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya
Novel
Karya Athfah Dewi
Bab 9. Benci
__________
Kubuka kedua mata dengan perlahan. Aku pun mengedarkan pandangan. Ruangan asing dan serba putih mengelilingiku.
Di mana ini?
“Indhira, sudah bangun, Sayang?” tanya seseorang.
Aku melirik ke asal suara. Suara yang tidak asing meski sudah lama tidak mendengarnya. Suara yang sangat aku rindukan. “Mama?”
“Iya, Nak. Ini mama.”
“Mama ….” Aku bangkit. Sambil terisak kupeluk perempuan yang sangat aku cintai ini dengan erat. Melepas rasa rindu yang sudah terpendam sekian lamanya.
“Aku kangen banget sama mama. Aku kehilangan sejak Mama pergi ….”
“Mama juga kangen banget sama kamu, Sayang ….” Mama mengusap punggungku.
“Sepeninggalan mama, semuanya berubah total. Papa bawa perempuan lain ke rumah. Aku gak rela, Ma. Aku tertekan selama ini. Karena mereka jahat sama aku. Papa juga berubah. Gak sayang lagi sama aku. Aku gak terima dengan semua itu, Ma.”
Mama merenggangkan pelukannya, tetapi dia tidak berkata sepatah kata pun. Mama hanya tersenyum sambil merapikan anak rambutku.
“Selain itu, Dhimas juga sudah menghancurkan hidupku, Ma. Dia menghkianati persahabatan kami. Dia menghinaku sampai aku harus mengalami semua ini …,” ucapku, lalu tertunduk.
“Kamu yang sabar. Akan ada pelangi setelah badai ini, Indhira ….”
“Aku gak mau pelangi. Aku hanya mau kehidupan kita yang dulu. Kita berkumpul dan saling menyayangi, saling mencintai. Aku bahagia saat itu,” ucapku. “Mama kembali lagi, ya?”
“Indhira … mama sayang sama kamu. Mama harap, kamu juga masih sayang sama mama.”
“Pasti, Ma. Aku akan selalu sayang sama Mama.” Kupeluk lagi tubuh Mama lebih erat. Mama pun melakukan hal yang sama.
Aku memejamkan mata, meresapi kebahagiaan ini dengan segenap perasaan. Aku akan terus mengingat momen ini. Kan kusimpan dengan baik, di sudut hati terindah. Pelukan Mama yang selalu terasa hangat dan menentramkan jiwa.
“Indhira ….” Seseorang memanggilku.
Aku tidak menghiraukannya.
“Indhira ….” Lagi-lagi, kudengar suara itu.
Siapa dia? Mengganggu saja!
Aku membuka mata. Tampak wajah cemas Papa yang pertama kulihat. Lalu, Mama kemana?
“Indhira ….” Papa mengusap keningku.
“Mama mana, Pa?” tanyaku sambil bangkit dan mengedarkan pandangan.
“Mama, mama siapa?”
“Mama, mama aku mana? Barusan ada di sini, meluk aku.”
“Yang di sini dari tadi, ya … papa. Mama Rossi dan Mbah Uti sedang pulang dulu ke rumah.”
Aku mengedarkan pandangan lagi. Ternyata, sekarang aku sedang berada di rumah sakit. Lalu, tadi ketika bertemu Mama, itu hanya mimpi?
Ya, sudah tentu itu hanya mimpi. Karena, mama sudah berpulang beberapa tahun yang lalu. Hanya saja, kenapa tadi itu terasa nyata sekali?
“Indhira, bagaimana keadaanmu, Nak?” tanya Papa.
“Aku gak apa-apa,” jawabku. Meski rasanya seluruh tubuh seperti tidak bersendi. Selain itu, perut pun terasa agak nyeri.
“Indhira … papa minta maaf kalau selama ini tidak mau mengerti kamu. Papa terlalu egois dengan menganggap kalau yang papa lakukan benar. Papa selalu mengabaikan kamu,” ucap Papa lembut.
“Sampai-sampai, kamu bilang yang sebenarnya saja, papa gak percaya. Papa selalu menganggap kamu itu salah. Dengan pemberontakan yang kamu lakukan, papa merasa kamu sudah berubah. Padahal, papa sendiri juga sudah berubah,” lanjutnya.
“Tapi, di lubuk hati papa. Papa tetep sayang sama kamu. Kamu adalah putri papa satu-satunya. Kesayangan papa ….” Setetes bulir bening tergelincir di pipi Papa. Dia langsung mengusapnya.
“Mulai sekarang, papa janji. Papa akan berubah. Tidak lagi egois. Papa akan dengerin apapun keluh-kesah kamu. Jadi, kamu gak perlu mencari tempat mengadu di luaran ….” Papa pun mulai terisak. “Kamu, mau maafin papa?” tanyanya.
Mendengar itu, aku langsung mengangguk. Tentu saja, sudah lama aku ingin memperbaiki hubungan dengan Papa. Karena, aku pun sudah sangat merindukannya. Rindu pelukan dan perhatiannya.
“Makasih, ya, Sayang?” Papa memelukku.
“Aku juga minta maaf sama Papa. Karena, selama ini selalu bersikap kasar.”
“Papa maafin kamu, Nak.”
“Aku juga janji, gak akan egois lagi.”
Papa mengusap punggungku. “Papa akan selalu ada buat kamu. Kamu, gak perlu khawatir lagi mulai saat ini.”
Aku mengangguk dengan wajah yang basah. Air mata bahagia sejak tadi berkejaran di pipi. Membasahi kemeja Papa juga.
Setelah puas mengeluarkan segala perasaan yang terpendam di antara kami, aku merenggangkan pelukan. “Pa … dia di mana sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa dia … mati?” tanyaku.
Teringat amarah yang begitu membara kepada Dhimas tadi. Juga permohonanku kepada Yang Maha Kuasa agar dia mati saja. Darahku terasa mulai menghangat.
“Dhimas?”
Aku mengangguk, dengan perasaan yang mulai bergejolak lagi. Amarahku kepadanya, sepertinya tidak akan pernah padam sampai maut menjemput.
“Dia ada di rumah sakit ini. Kondisinya, lumayan parah. Kedua tangannya patah.”
Aku terdiam. Rasa sakit kembali menyelinap ke sela-sela hati. Kenapa harus Dhimas? Kenapa harus dia, orang yang paling dekat denganku? Orang yang paling kupercaya.
“Pa … aku mau pulang.”
“Tapi, kondisi kamu belum benar-benar baik.”
“Aku gak mau ketemu b******n itu, Pa. Sebab, kalau ketemu lagi, aku pasti gak bakal bisa mengendalikan diri. Bukan hanya tangannya yang akan aku patahkan, tetapi lehernya juga!” geramku.
“Baik. Papa urus dulu semuanya. Kamu tunggu, ya?” Papa bangkit, lalu keluar ruangan ini.
Aku duduk di sisi ranjang rumah sakit. Memandang keluar jendela yang tampak sepi. Sepertinya, di sana hanya tanah kosong. Perlahan, aku turun dan melangkah. Meski tubuh masih terasa melayang.
Aku berdiri di sisi jendela. Ternyata, hari sudah sore, membuat tanah kosong yang ditumbuhi rumput dan beberapa pohon itu terlihat mulai gelap.
Di seberang, berjajar kamar-kamar. Sepertinya ruang rawat inap juga. Sebab di depan salah satunya ada seorang anak kecil duduk di kursi roda dengan selang infus terpasang di tangannya. Di depannya, tampak seorang ibu-ibu yang berjongkok.
Ibu-ibu itu terlihat merapikan rambut si anak yang terjatuh ke wajahnya. Mereka seperti sambil berbincang. Entah apa yang sedang mereka bahas. Namun, si anak beberapa kali menggeleng.
Apakah si ibu sedang membujuk anaknya itu? Sepertinya iya, dan si anak menolak. Dengan sabar, dia terus berkata-kata. Tidak terlihat gerak kesal atau marah darinya. Justru aku melihat, tangannya terus membelai si kecil.
Seperti itu juga yang selalu Mama lakukan dulu kepadaku. Menyayangi dan mencintai dengan tulus. Tidak sekali pun dia terlihat marah, meski sering kali aku merajuk tidak keruan.
Kenangan itu akan selalu berbekas dalam ingatan. Meski sekarang, semuanya tak jarang malah melukai hati ini juga. Ya, rasa rindu yang terus menumpuk akan kenangan itu selalu menggores luka baru hatiku.
Andai Mama tahu bagaimana hidupku sekarang. Andai Mama tahu kalau hal ini berawal dari Papa yang menikah lagi. Dia pasti akan merasakan luka yang sama denganku. Bahkan, mungkin lebih.
Karena katanya, seorang ibu akan merasa sakit berkali-kali lipat ketika melihat anaknya menderita. Benarkah seperti itu? Cinta kasihnya tulus untuk anak-anak mereka, melebihi untuk dirinya sendiri.
Lalu, apa aku akan bisa mencintai anak ini juga? Kuusap perutku pelan. Aku meringis, karena lagi-lagi rasa nyeri itu kembali terasa.
Sepertinya, jika kelak aku melihat anak ini, pasti bakal terlintas juga si b******n itu. Sekarang saja, aku mulai tidak menginginkannya.
Awalnya, aku tidak terlalu peduli dengan anak ini. Lahir atau tidak, tidak akan mengubah apapun di hidupku. Aku, tetap hancur.
Namun, sekarang semuanya hanya akan mengingatkanku kepada manusia b******n itu. Seseorang yang mengaku sahabat, tetapi justru membuat hidupku semakin tak berantakan.
Aah! Teringat kepadanya, hanya membuat darah ini kembali mendidih.
Aku berjalan perlahan ke tempat tidur. Lalu, terduduk di sisinya. Bagaimana caranya supaya bisa lupa? Atau, aku mati saja?
“Dhira ….” Papa masuk dan berdiri di depanku. “Sekarang kamu belum diizinkan pulang. Kata dokter, semalam aja kamu istirahat di sini, ya?”
“Tapi, Pa ….”
“Kamu nurut, ya, sama dokter? Papa temenin di sini,” ucap Papa sambil menatapku penuh harap.
Akhirnya, aku mengangguk.
Benar saja, malam itu Papa menemaniku. Istrinya dan Mbah Uti juga sempat datang, tetapi kemudian disuruh pulang lagi oleh Papa.
Sejujurnya, aku juga belum merasa benar-benar kuat. Malam ini pun, aku tidak bisa tidur dengan tenang. Sebentar-sebentar terbangun. Entah kenapa, kali ini wajah Dhimas selalu menggangguku.
“Dhira …,” panggil Papa.
Aku membuka mata dengan napas yang terengah-engah.
“Kamu mimpi buruk? Dari tadi tidurnya gak tenang.”
Aku mengangguk.
“Mimpi apa, Sayang?” Papa mengusap kepalaku lembut.
“Gimana biar dia pergi, Pa? Aku gak mau dia datang lagi.”
“Siapa?”
“B******n itu, Pa ….”
“Kamu yang tenang, dia gak ada di sini. Tadi, sudah dibawa ke Bekasi sama ayahnya.”
“Pa … aku benci banget sama dia …,” ucapku dengan gemetar.
“Iya, Sayang. Kamu yang sabar. Sekarang dia gak bakal deketin kamu lagi. Papa akan jagain kamu. Mulai sekarang, papa akan terus bersama kamu.” Papa memelukku.
Aku membalas pelukannya. Namun, tubuhku masih saja gemetar. Selain itu, perut pun semakin terasa nyeri. Seperti diputar-putar lalu ditarik.
“Indhira, kamu kenapa?” Papa merenggangkan pelukannya.
Aku menggeleng sambil menggigit bibir.
“Papa panggil dokter dulu.” Papa langsung berlari keluar ruangan.
Sedangkan aku, membaringkan tubuh di kasur sambil memegang perut. Kenapa ini? Kenapa terasa semakin sakit? Bahkan, sampai ke punggung.
Aku terus meringis.
Bersambung (Insya Allah)
Comment